Connect with us
Wet Let
Photo via NME.com

Music

Wet Leg: Self-Titled Album Review

Rhian Teasdale dan Hester Chambers debut dengan catchy rock anthem, menari di tengah problematika quarter-life crisis. 

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Wet Leg merupakan unit indie rock beranggotakan dua wanita berbakat, Rhian Teasdale and Hester Chambers. Wet Leg sudah menjadi bagian dari Domino Records (Arctics Monkey, Superorganism) sejak 2019.

Duo asal Isle of Wight, Inggris ini viral melalui debut single mereka ‘Chaise Longue’ pada 2021 kemarin. Hingga akhirnya merilis album perdana self-titled mereka pada April, 2022 lalu. Keduanya mengklaim bermusik hanya untuk bersenang-senang. Secara spontan memutuskan untuk terjun ke industri musik saat sedang berada di atas bianglala di festival musik. 

Namun Wet Leg memberikan sesuatu yang sudah jarang kita temukan di skena musik 2020-an, didominasi dengan Genz yang galau dengan alunan musik yang lagi-lagi bedroom pop. Hingga musisi baru yang hanya menggunakan label pop punk sebagai ‘chasing’, namun isinya lagi-lagi hip hop pop mainstream. Rhian dan Hester yang sudah berada di ujung usia 20-an mereka memilih untuk bersenang-senang dengan alunan indie rock catchy ala Franz Ferdinand. 

The Gist: Debut dengan self-titled album, Wet Leg melebihi ekspektasi pendengarnya sebagai dua rocker wanita yang mengklaim hanya sekadar bersenang-senang dengan musiknya. Dimana industri musik ini mulai lupa bahwa lagu rock yang catchy; dengan lirik yang nge-pop dan repetitif, tanpa makna yang mendalam sempat menjadi karya ikonik dalam skena musik ini. Mulai dari Franz Ferdinand dengan ‘Take Me Out’, ‘Tick Tick Boom’ dari The Hives yang ikonik, hingga ‘Song 2’, lagu paling populer dari ‘Blur’.  

Dengan energi ‘masa bodoh’ dan sikap acuh tak acuh dari Rhian dan Hester, keduanya jelas memiliki bakat dalam mengkomposisi musik secara serius. Dewasa ini banyak lagu-lagu baru yang mengadaptasi vibes garage hingga estetika alternative rock 2000-an, namun banyak yang hasilnya terasa kopong dan membosankan. Curhat tentang percintaan yang payah, krisis menuju usia 30, hingga tersiksa di pesta yang tidak kita benci, kia bisa membayangkan gaya hidup yang dijalani oleh kedua wanita ini sebagai rocker wanita di tengah masyarakat. Relevan dengan kita para generasi milenial yang masih merasa muda di tengah era-nya Genz. 

Sound Vibes: Wet Leg memperdengarkan alunan musik yang memenuhi ekspektasi kita jika sudah addicted dengan ‘Chaise Lounge’. Jika skena musik mainstream sedang berlomba menghadirkan warna musik dan aransemen variatif dalam satu album, Wet Leg memilih untuk bersenang-senang di zona aman mereka secara maksimal.

Terkadang, kita hanya ingin mendengar satu vibes yang konsisten dalam satu album. Warna musik yang sama, lirik dengan cerita di satu momen yang sama. Karena dalam skenario ini, diujung usia 20an ada berbagai situasi dan suasana hati yang bisa dieksplorasi menjadi lagu. Buat yang masih addicted dengan ‘Chaise Lounge’ namun membutuhkan lagu yang baru, ada lagu dengan hook yang tak kalah catchy seperti ‘Being in Love’, ‘Wet Dream’, hingga ‘Ur Mum’.

Album ini benar-benar memiliki banyak track indie rock dengan hook yang catchy. Sekilas terdengar sederhana dan bukan warna musik yang baru lagi. Namun berapa banyak lagu-lagu masa kini yang mampu mengingatkan kita bahwa musik rock dengan konten yang ringan dan humoris juga bisa menyenangkan. 

Best Tracks: ‘Chaise Lounge’ terinspirasi dari sofa warisan kakek Hester Chamber di rumahnya. Sofa tersebut juga menjadi kasur Rhian Teasdale ketika sedang menginap di tempat Hester. Secara harfiah, makna lagu ini tak lebih dari Wet Leg yang menghabiskan waktu seharian di sofa sepanjang hari. Dengan berbagai rampalan random yang juga kita pikirkan ketika sedang bermalas-malasan di sofa. Reff ‘on the chaise lounge all day long’ yang repetitif menjadi hook yang tak bisa ditolak untuk hinggap di memori pendengarnya seperti cancer song.

‘Oh No’ juga bisa menjadi track yang menyenangkan untuk didengarkan jika menyukai ‘Chaise Lounge’. Sementara ‘Angelica’ merupakan party anthem bagi kita yang tidak menyukai pesta. Tak kalah catchy dengan ‘Chaise Lounge’ namun lebih kental dengan nuansa gitar yang psychedelic. ‘Wet Leg’ menjadi catchy indie rock song dengan lirik yang nakal dan menyenangkan. Memiliki energi yang serupa juga dengan ‘Ur Mum’, tipikal lagu mengejek yang cheeky untuk mantan yang payah setelah putus. 

Sebagai album self-titled debut, Wet Leg berhasil menunjukan jati diri mereka sebagai rocker wanita milenial yang masih bersenang-senang layaknya Genz. Sarkastik, memiliki selera humor dalam menanggapi kehidupan, suka bermalas-malasan, namun juga berbakat dan memiliki banyak ide yang akhirnya dicurahkan melalui musik yang jujur dan catchy.

Dengan tracklist dalam album ini, kita bisa mendengar Wet Leg juga bisa bersenang-senang di atas panggung. Hampir semua lagu yang mereka tulis memiliki hook yang akan seru untuk dinyanyikan bersama oleh penonton mereka di konser atau musik festival. Bahkan untuk penonton yang baru saja mengenal Wet Leg.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect