Menjadi seniman bukanlah niatan awal Uji Hahan, ia mengaku tidak mendesain dirinya sebagai seniman. Bermula dari kesukaannya pada aktivitas menggambar, minatnya pada dunia visual semakin membesar ketika melihat banyak rekan satu era-nya memulai bisnis seperti membuat brand atau clothing line.
Ia membayangkan hal itu sebagai masa depannya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memfokuskan diri untuk menggambar. Profesi seniman sendiri baru Hahan ketahui setelah ia mulai mendalami dunia seni rupa—“Baru tahu ada profesi seniman tuh ya ketika udah belajar seni… dulu misalnya kalo ngeliat seniman tuh ya ngelukis, gak tahu istilah-istilah lainnya,” ujar Hahan.
Tumbuh dan berkembang di kota Jogja, ia merasa penting untuk bersinggungan dengan iklim seni yang kaya di kota itu. Ia melihat Jogja sebagai laboratorium yang berbentuk kota—banyak kemungkinan eksperimen yang ada serta kultur kolaborasi yang cair antar komunitas dan disiplin seni.
Kondisi tersebut membuatnya berkenalan dengan banyak komunitas seni di Jogja—termasuk juga komunitas-komunitas terkait street culture atau skena musik elektronik dan eksperimental yang banyak menyumbang gagasan yang kemudian ia gunakan dalam karya-karyanya. Selain itu, kondisi itu juga mendorong Hahan untuk terus bereksperimen dengan berbagai medium dalam berkarya.
Berbicara tentang pandangan dan prosesnya sebagai seniman, berikut adalah sedikit tentang Uji Hahan.
Karya-karyamu banyak dikenal menggunakan unsur street culture, bagaimana awal ketertarikanmu dengan hal itu?
Kebetulan aku berkembang di kota kecil, yang kebetulan saat itu arus informasinya terbuka. Awalnya sih, mulainya dari musik. Musik alternatif lagi kenceng-kencengnya, punk movement juga lagi kenceng-kencengnya, underground movement juga. Dari situ aku ketemu pondasi visualku. Ketertarikan visualku sama hal-hal yang kayak gimana. Ketemu kultur skateboard juga dari situ. Berbekal itu, kemudian di Jogja aku ketemu sama temen-temen yang ternyata punya selera yang sama dan jadi bertukar informasi dan referensi.
Dulu kita bikin pameran-pameran yang gak menggunakan ruang-ruang pamer pada umumnya. Karena kita waktu itu gak mungkin tiba-tiba bisa pameran di suatu galeri. Kita sadar akan hal itu. Jadi kalo kita gak bisa pameran di suatu galeri, kenapa gak bikin di tempat-tempat lain yang bisa kita rubah jadi ruang pamer?
Baru setelah itu banyak banget referensi di Jogja yang aku dapet. Tentang street culture, tentang street fashion, dan semacamnya. Tertariknya karena itu sih—waktu berkembang ketemu hal-hal kayak gitu terus aku jadi tertarik. Hal-hal yang aku dapet tadi, aku mix. Melihat itu aku jadi sadar kalo aku cocok dan seneng dengan bahasa seni yang seperti ini.
Keliatannya ketertarikan itu datang dengan natural dalam perkembanganmu sebagai seniman, tapi kenapa sih kamu memilih mengangkat street culture ke dalam karya-karyamu? Gimana caramu mengambil inspirasi dari situ?
Kalo aku sih ngeliat street culture itu hacking terhadap budaya yang menurutku udah cukup umum. Aku gak ngomongin budaya tinggi dan budaya rendah, maksudnya bukan itu. Tapi lebih ke misalnya soal kemunculan hoodie yang harusnya digunakan untuk menutupi identitas kita, tapi akhirnya dimaknai sebagai bentuk fashion. Ada hal-hal kayak gitu kan? Apa yang udah ada, kemudian diamati dan dimodifikasi untuk kepentingan dan untuk ngomongin sesuatu yang baru—dengan relevansi waktu tertentu.
Hal itu kan sebenernya sekarang udah dimaklumi. Kalo kita ngomongin pengaruh street culture di high fashion kan mereka sekarang udah memaklumi itu. Tapi butuh berapa puluh tahun untuk sampai titik itu? Berarti kan sebenernya tadinya semua itu eksis, tapi selama ini gak diruangkan aja. Karena gak ada ruangnya, gak ada institusinya, ya akhirnya bikin institusi dan ruangnya sendiri. Agak sedikit outsider tadinya, tapi jadi ditarik ke dalem.
Sebenernya kalo aku ngomongin dengan rinci gimana secara sistematis itu ditarik ke karya-karyaku, itu agak sulit. Maksudnya aku gak bisa ngomong “Oh aku seneng warnanya.” Tapi apa iya warnanya dari situ? Gak juga kan. Mungkin lebih menarik soal spiritnya—spirit untuk mocking, spirit untuk mengkritik yang udah mapan dipertanyakan ulang, itu yang menarik dari street culture sebenernya.
Dengan pengalaman beberapa kali pameran di luar negeri, menurutmu apa sih bedanya street culture barat sama street culture lokal itu?
Yang menarik di sini itu sebenernya dari kebutuhannya. Kalo ngeliat street culture atau kultur-kultur yang diadopsi di sini itu kan berdasarkan kebutuhan. Karena di sini kita ada proses akulturasi. Maksudnya gimana kita ngeliat referensi dari luar, kita modifikasi dan gunakan yang cocok di sini kayak gimana. Nah, tetapi memang hal-hal seperti itu yang terlewatkan—gak tertulis, gak terekspos dengan baik. Jadi cuma diliat sebagai distorsi aja—distorsi terhadap bagaimana kultur itu di sini.
Gak beda kalo kita ngomongin musik elektronik dengan funkot. Itu kan basic-nya dari berbagai macam referensi musik elektronik di luar, tapi di sini ada kebutuhan untuk dijadikan seperti funkot, dengan audiens tertentu. Aku enggak bisa bilang itu melahirkan budaya baru, tapi mungkin bentuk yang baru. Tapi mungkin itu juga bisa jadi budaya baru kalo udah cukup lama. Itu yang menarik sebenernya.
Kamu sering menggunakan bermacam medium dalam sebuah karya. Dalam konteks itu, gimana sih proses artistikmu dalam mengolah ide mentah hingga akhirnya menjadi sebuah karya?
Kalo aku sih bisa ngomong basic karyaku itu sebenernya drawing. Jadi drawing itu bahasa pertamaku dari gagasan yang aku dapet. Biasanya bisa mulai dari quote atau gagasan tekstual; ide-ide yang bentuknya masih abstrak dan tanpa ada visual; atau bisa mulai dari bayangan visual; yang kemudian akhirnya aku tarik untuk melihat isu-nya apa.
Mulainya sih memang dari drawing, hampir semua pada dasarnya ada drawing-nya. Tetapi melihat kebutuhan audiens dan melihat gimana suatu karya akan dipresentasikan kepada audiens serta impact-nya akan seperti apa—itu kan berarti ada kebutuhan untuk memahami medium-medium lain yang cocok untuk membahasakan ini. Lalu otomatis itu akan terpaku pada konsep dasarnya—konsepnya mau sejauh apa. Membayangkan bahwa ini bisa dirasakan dan enggak cuma dilihat. Berarti kan enggak cuma sekedar dua dimensional—bisa aja ada unsur performatifnya; ada unsur 3D-nya; ambience-nya; sound-nya; atau baunya. Dari situ sebenernya.
Melihat kedekatanmu dengan skena musik khususnya musik elektronik dan eksperimental, seberapa besar sih peran musik dalam dirimu sebagai seniman? Apakah kedekatan itu mempengaruhi karya-karyamu?
Iya lah kalo itu. Otomatis ketika kamu bisa menikmati dua hal yang berbeda, itu akan membuatmu mempunyai bayangan yang berbeda dalam mengeksekusi basic-basic yang kamu sukai. Sebenernya musik eksperimental itu membuatku merasakan hal yang sama terkait dengan prosesku membuat karya seni visual. Waktu awal-awal aku punya project yang coba gabungin performance art sama sound dengan konsep yang ‘mengganggu’. Menuruktu eksperimen itu menarik karena dalam praktek kesenianku di visual, aku jadi ngerasa “Kenapa sih kita harus melukis di atas kanvas? Di medium lain kan juga bisa?”
Hal-hal kayak gitu yang menarik. Menurutku, proses berpikir atau proses membayangkan karya itu menjadi oke ketika kita punya dua hal yang berbeda dalam bentuk ekspresi kesenian kita. Pemaknaan yang sama tapi dengan medium yang berbeda. Itu recreational aesthetic. Berekreasi karena ketika kita ngerasa bosen bikin karya visual untuk dipamerin, kita punya kanal lain. Kanal di mana kadang kita bisa ketemu gagasan-gagasan yang gak ada dalam format visual. Walaupun secara spirit, cara kita merepresentasikan karya itu hampir sama.