Quantcast
Come and See Review: Perang Dilihat Lewat Mata Anak dan Jiwa yang Remuk - Cultura
Connect with us
Come and See

Film

Come and See Review: Perang Dilihat Lewat Mata Anak dan Jiwa yang Remuk

Film anti-perang paling menghantui sepanjang masa yang tidak menampilkan heroisme, tapi kehancuran manusia yang tak bisa dihapus.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

‘Come and See’ adalah film perang produksi Uni Soviet yang dirilis tahun 1985, disutradarai oleh Elem Klimov dan ditulis bersama Ales Adamovich, penulis Belarus yang menyaksikan sendiri kengerian Perang Dunia II.

Berdasarkan pengalaman nyata, film ini menggambarkan pendudukan Nazi di Belarus pada tahun 1943, melalui mata seorang anak laki-laki bernama Florya. Tapi jangan berharap narasi konvensional dengan alur heroik atau klimaks patriotik. Sebaliknya, ‘Come and See’ adalah perjalanan ke dalam mimpi buruk perang yang mentah, brutal, dan mengguncang secara psikologis.

Film ini telah diakui secara luas sebagai salah satu film anti-perang terbaik dalam sejarah, bukan karena adegan perangnya yang megah, tapi karena kemampuannya menggambarkan horor tanpa sensor dan kekacauan batin korban perang, terutama anak-anak.

Come and See

Kisahnya berpusat pada Florya (diperankan oleh Aleksei Kravchenko), bocah 14 tahun yang bersemangat bergabung dengan partisan Soviet melawan pendudukan Nazi. Namun, antusiasme mudanya segera hancur seiring ia menyaksikan kehancuran sistematis, pembantaian, dan kengerian manusia terhadap sesama manusia. Alih-alih menjadi pahlawan, ia menjadi saksi hidup dari kebengisan perang yang menghancurkan segalanya: tubuh, keluarga, dan jiwa.

Narasi film berkembang secara non-linear, seperti serpihan kenangan yang traumatis. Klimov mengaburkan batas antara realita, halusinasi, dan ketakutan murni, membuat penonton merasakan kekacauan batin Florya seiring perjalanan hidupnya berubah dari remaja polos menjadi sosok hampa yang kehilangan masa depan.

Naskah film ini sangat minimalis dalam dialog, tapi kaya akan visual dan atmosfer. Tidak ada eksposisi yang menjelaskan latar sejarah secara rinci; semuanya disampaikan lewat tatapan, suara latar, dan kekosongan yang menghantui. Kekuatan screenplay-nya justru terletak pada kemampuannya mengungkap trauma tanpa harus mengatakannya.

Ales Adamovich, yang ikut menulis naskah berdasarkan pengalamannya sebagai partisan muda, memastikan bahwa setiap adegan punya bobot emosional dan tidak ada satupun kekerasan yang ditampilkan tanpa konsekuensi.

Sinematografi oleh Aleksei Rodionov adalah salah satu aspek paling kuat dari film ini. Kamera handheld sering diposisikan sangat dekat dengan wajah Florya, menangkap detail ekspresi dan ketakutan yang tak terucapkan. Pencahayaan alami, efek suara yang mentah, serta pengambilan gambar dengan lensa lebar menambah rasa tidak nyaman—penonton bukan hanya menonton, tapi seolah diseret masuk ke dalam peristiwa.

Salah satu adegan paling mengerikan adalah pembakaran massal penduduk desa oleh tentara Nazi—diperlihatkan tanpa efek dramatisasi, tapi justru dengan keheningan yang membuatnya semakin menyakitkan.

Aleksei Kravchenko memberikan performa luar biasa sebagai Florya. Dalam usia yang sangat muda, ia menampilkan transformasi emosional dan fisik yang mengerikan—dari bocah polos menjadi sosok yang terlihat 30 tahun lebih tua dalam akhir film. Pengambilan gambar akhir, saat ia menatap langsung ke kamera sambil menangis dan tertawa sekaligus, adalah salah satu momen paling kuat dan ikonik dalam sejarah sinema.

Karakter pendukung seperti Glasha (Olga Mironova), gadis yang menyertainya dalam sebagian perjalanan, menambah dimensi emosional, meski tak banyak bicara. Semua karakter tampak nyata, bukan tokoh film, melainkan manusia biasa yang dilempar ke neraka perang.

‘Come and See’ tidak berusaha menjadi film sejarah atau pengingat heroisme. Ini adalah meditasi kelam tentang kekejaman perang dan dampaknya yang abadi pada jiwa manusia. Judulnya sendiri mengandung sarkasme: “Datang dan Lihat” bukan untuk menikmati, tapi untuk menyaksikan penderitaan yang tak terbayangkan.

Tanpa efek dramatisasi khas Hollywood, film ini menunjukkan bahwa perang tidak menyelamatkan siapa pun. Ia hanya menghancurkan. Tidak ada musik latar megah, tidak ada penyelamatan di menit terakhir. Hanya kehancuran, luka, dan wajah anak yang kehilangan masa kecilnya.

‘Come and See’ bukan film untuk ditonton demi hiburan. Ini adalah pengalaman sinematik yang menyakitkan, namun perlu. Elem Klimov menciptakan karya yang tidak mudah dilupakan, bahkan bertahun-tahun setelah ditonton. Visualnya menghantui, temanya menggugah, dan aktingnya begitu nyata hingga terasa seperti dokumenter kehidupan yang disayat dari sejarah.

Sebuah mahakarya sinema anti-perang yang tak tertandingi—’Come and See’ adalah mimpi buruk yang harus kita lihat, karena itulah wajah asli perang.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Cultura Magazine (@culturamagz)

Everest Review Everest Review

Everest Review: Ketegangan Nyata di Puncak Dunia yang Mematikan

Film

Fires on the Plain (1959) Fires on the Plain (1959)

Film Anti-War Terbaik: Potret Jujur Kekejaman dan Kemanusiaan dalam Lensa Sinema

Cultura Lists

Echo Valley Echo Valley

Echo Valley Review: Resonansi Misteri yang Menghanyutkan

Film

Ballerina Review Ballerina Review

Ballerina Review: Vengeance Berbalut Elegansi Aksi ala John Wick

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect