“The Crown” akhirnya benar-benar tiba di penghujung musimnya dengan perilisan Season 6 Part 2 di penghujung 2023 ini. Ada perasaan sentimental mengingat mendiang Ratu Elizabeth II juga telah meninggal kita pada akhir tahun 2022 lalu, masih terasa seperti kemarin.
Setelah 7 tahun mengudara, serial biopik keluarga monarki Inggris ini berakhir memasuki era 2000an awal. Ini menjadi pemberhentian yang tepat mengingat masa-masa tersebut adalah masa tersulit selama Elizabeth II berkuasa di puncak monarki.
Mulai dari kematian tragis Putri Diana, transisi menuju era modern, kehadiran Perdana Menteri Tony Blair yang ikonik, serta krisis citra dan rasa percaya diri dari Ratu Elizabeth II. Namun kita semua tahu, bagaimana Ratu Elizabeth II berhasil melalu masa-masa tersebut dan masih menjadi pimpinan mornaki termasyhur hingga akhir hayatnya.
“The Crown” Season 6 menjadi agenda yang menunjukan bagaimana Ratu Elizabeth II memiliki masa kejayaan, menghadapi kesulitan, namun selalu berhasil bangkit dari keterpurukan reputasi keluarganya sebagai mornaki.
Pangeran William, Pernikahan Charles, dan Tony Blair
Setelah Putri Diana meninggal, pusat perhatian diturunkan ke putra pertamanya, putra mahkota kerjaan, Pangeran Willliam. “The Crown” kembali menyelipkan drama dan skandal anggota keluarga kerajaan mudanya. Mengingatkan kita kembali pada season-season pertama dengan dramatisir kehidupan romansa Putri Margaret. Beberapa episode dalam season ini mengangkat kisah awal mula hubungan antara Pangeran William dan Kate Middleton di St. Andrews. Serta bagaimana William mengalami depresi pasca meninggalnya Putri Diana.
Kita juga akan melihat hubungan antara Pangeran William dan Pangeran Harry di masa remaja mereka. Serta hubungannya dengan ayahnya, Pangeran Charles, yang mengalami naik turun. Ini juga menjadi babak awal dari hubungan resmi antara Charles dan Camilla.
Kembali mengangkat kisah perdana menteri Inggris, memasuki era modern Ratu Elizabeth II berhadapan dengan Tony Blair yang terkenal karena pandangan politiknya yang modern dan radikal. Interaksi keduanya cukup underrated pada season ini karena semenjak season 4, elemen drama keluarga dengan skandal dan romansanya ‘lah yang lebih mencuri hari para penonton umum dari “The Crown”.
Konsep Visualisasi dan Arahan yang Penuh Kejutan Sejak Part I
“The Crown” Season 6 memiliki elemen konsep visualisasi yang baru dari season-season sebelumnya. Jika season-season sebelumnya lebih banyak dramatisir realita, season ini penuh asumsi dan spekulasi yang di dramatisir dengan adegan yang simbolis.
Dari Part I, kita melihat adegan simbolis dengan munculnya “hantu” Putri Diana. Ini menjadi aplikasi elemen baru yang sangat mengejutkan, cukup kontroversial untuk beberapa penonton yang tidak mengindahkannya.
Arahan yang sama kembali ditampilkan pada beberapa adegan di Part 2 ini. Seperti ketika seorang pelayan tiba-tiba menyanyikan ‘Sleep Dearie Sleep’, lagu yang dikumandangan saat meninggalnya Ratu Elizabeth II, hingga kali ini kemunculan Claire Foy dan Olivia Colman sebagai Elizabeth muda.
Setiap aktris yang berbagi peran ini ditampilkan melakukan perbincangan batin yang didramatisir melalui beberapa adegan. Penambahan elemen ini memang baru, namun tidak terlalu mengakselerasi atau menurunkan kualitas arahan seni serialnya.
Penampilan Berkesan Imelda Staunton Menutup Kisah Ratu Elizabeth II
Semenjak debut sebagai Ratu Elizabeth II pada Season 5, naskah terlihat tidak memihak pada Imelda Staunton. Penulis naskah terlalu bias pada Putri Diana yang diperankan dengan indah juga oleh Elizabeth Debicki. Baru akhirnya pada “The Crown” Season 6 Part 2 ini, Staunton mendapatkan panggung yang sebagaimana mestinya. Kita kembali melihat interaksinya dengan Pangeran Philip (Jonathan Pryce) dan adiknya, Putri Margaret (Lesley Manville).
Lahirnya Ratu Elizabeth II dalam serial ini dihasilkan oleh arahan penampilan yang konsisten dari ketiga aktris utamanya; Claire Foy, Olivia Colman, dan Imelda Staunton. Kita bisa melihat penampilan mereka seperti tongkat estafet yang diberikan dari satu aktris ke aktris berikutnya.
Olivia Colman dan Imelda Staunton tidak berusaha menciptakan karakter ratu mereka sendiri, namun meneruskan dari Claire Foy. Ketiganya jelas tidak serupa secara penampilan, namun yang paling mencolok adalah aksen dan cara bicara mereka yang sangat serupa dan konsisten.
Setelah penampilannya ditandingi oleh karakter-karakter yang lebih muda, untung saja “The Crown” masih memberikan episode penutup yang kembali mengangkat Ratu Elizabeth II sebagai bintang utamanya. Episode terakhir, ‘Sleep Dearie Sleep’ menjadi episode yang cukup menyentuh dan meninggalkan sentimen bagi penonton yang mengidolakan sosok Ratu Elizabeth II.