Connect with us
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
Photo via tiff.net

Culture

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas: Dari Novel Stensilan Hingga Tulisan di Belakang Truk

Film “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” mengajak penonton untuk melihat kembali jiwa zaman tahun 80-90an.

“Saya sangat berharap “Dendam” ini ditonton oleh teman-teman yang di bangku kuliah. Karena menurut saya, “Dendam” ini mengajak kita untuk melihat masa lalu Indonesia, karena ini di akhir 80-an, early 90-an. “Dendam” ini mengajak kita untuk sedikit menikmati, dalam arti melihat dan memikirkan kembali gimana Indonesia saat ini kalau kita ngelihat Indonesia di zaman itu.” Meiske Taurisia, Produser Film “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas”.

Pada penghujung bulan Juli lalu, Palari Films mengumumkan bahwa film “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” akan tayang di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021 pada kategori Contemporary World Cinema. Saking membawa angin segar kepada perfilman Indonesia di masa pandemi ini, Reza Rahadian, yang berperan sebagai “Budi Baik” di film tersebut, menyamakan partisipasi di ajang internasional ini dengan para atlet yang sedang bertanding di Olimpiade 2020 di Tokyo.

Sebelumnya, telah ada beberapa film Indonesia yang berhasil menembus TIFF, seperti Gundala (2019), Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018), Sekala Niskala (2017), hingga Headshoot dan Interchange (2016).

Melihat kualitas film-film tersebut, sudah dapat dipastikan film “Seperti Dendam” memiliki kualitas yang tak kalah kerennya. Bahkan, selain eksis di TIFF, film ini juga akan tayang di Locarno International Film Festival dan berkompetisi untuk memperebutkan hadiah utamanya, Golden Leopard.

Naskah film “Seperti Dendam” ini dikerjakan baik oleh Edwin sebagai sutradara dan juga Eka Kurniawan sebagai pemilik ide cerita. Dalam novelnya, Eka Kurniawan bercerita tentang Ajo Kawir, seorang pemuda yang mengalami impoten akibat peristiwa traumatis yang dialaminya saat kecil. Bersama sahabatnya, Tokek, Ajo Kawir mencoba berbagai cara untuk mengobati impoten tersebut, tapi tidak berhasil juga.

Untuk menutupi harga dirinya yang terluka, Ajo Kawir tumbuh menjadi pria yang suka berkelahi. Dia berkelahi dengan siapa saja tanpa takut mati, hingga akhirnya ia jatuh cinta kepada Iteung dan menikah dengannya. Namun, tabiat Ajo Kawir kemudian berubah 180° setelah mengetahui bahwa Iteung hamil.

Kisah ini merupakan kisah perjalanan Ajo Kawir, yang sarat akan nilai-nilai sosial yang terjadi di sekelilingnya. Kondisi sosial masyarakat telah merubah pribadi Ajo Kawir. Cerita dalam kisah ini adalah cerita yang membuka pintu pada berbagai tafsir. Ditambah dengan alur yang tidak linear, sangat tepat bila dalam film ini Edwin dan Eka memutuskan untuk bekerjasama.

Keterlibatan Eka dalam penulisan naskah merupakan hal yang baru bagi Edwin. Sebelumnya, Edwin pernah menyutradarai film adaptasi novel Laksmi Pamuntjak “Aruna dan Lidahnya”, namun Laksmi tidak terlibat langsung dalam penulisan naskah tersebut.

Ada berbagai alasan mengapa film ini dapat masuk ke ajang internasional bergengsi seperti TIFF dan Locarno Film Festival. Tapi yang terpenting, film ini pastilah memiliki impact. Melalui ungkapannya, produser film “Seperti Dendam” Meiske Taurisia berpendapat bahwa film ini memiliki peran sebagai gambaran akan realitas masyarakat Indonesia tahun 80-90an. Selagi menunggu momen dimana kita dapat menonton film tersebut, novel Eka Kurniawan telah menjelaskan mengapa pernyataan Meiske tersebut beralasan.

Budaya, Politik, dan Novel Stensilan Tahun 80-90an

Jika para sastrawan di sekitar angkatan 45 seringkali menunjukkan kecenderungan visioner dan menyuarakan modernitas di atas tradisionalisme yang keliru, Eka Kurniawan justru berbuat sebaliknya dalam novel “Seperti Dendam”. Ia kembali ke masa lalu dan berbicara tentang budaya dan realita yang terjadi di masyarakat dari apa yang terlihat pada zamannya. Karena dibalut dengan humor yang menyebabkan karya ini sekilas tidak terkesan serius, pesan-pesan yang disampaikan Eka tidak muncul terang-terangan atau melalui grand gesture dalam dialog para tokohnya maupun narasi cerita.

Bahkan, ada yang berpendapat bahwa karya Eka yang satu ini mirip dengan novel stensilan tahun 80-90an. Eka sendiri menganggap hal ini sebagai sebuah pujian, karena berarti novelnya menghibur, dan begitulah ciri khas roman picisan di zaman itu. Cukup menghibur saja, tanpa memiliki gagasan-gagasan yang besar untuk menjadi berpengaruh.

Meskipun begitu, nilai-nilainya tersembunyi dalam jiwa zaman yang terpancar dari cerita yang ditampilkan. Contohnya, perempuan yang diselingkuhi atau dimadu, adegan kekerasan yang terlalu sering terjadi, bumbu-bumbu seksual yang terlalu ekspoloitatif. Jika diperhatikan, tema-tema ini mengangkat suatu permasalahan yang lebih besar dari kelihatannya.

Novel stensilan Enny Arrow

Novel stensilan Enny Arrow (Photo via naviri.org)

Novel stensilan sangat populer pada tahun 80-90an. Jika membicarakan pembabakan sastra Indonesia, bagian ini sering tidak diceritakan. Namun kenyataannya, penulis-penulis novel stensilan seperti Abdullah Harahap dan Enny Arrow telah mewarnai sejarah sastra Indonesia dengan roman picisannya.

Mengapa novel stensilan sangat populer pada waktu itu? Jawabannya, karena hanya itulah bentuk hiburan yang dapat diberikan kepada masyarakat. Tidak sulit untuk menjadikan novel-novel ini digandrungi anak muda, karena cerita-cerita erotis yang dimuat adalah cerita-cerita yang disampaikan di pertongkrongan dari mulut ke mulut. Tidak heran semakin banyak orang yang ikut membeli dan menikmati novel tersebut.

Kebebasan bereskpresi yang direpresi pada masa orde baru berdampak kepada seniman. Karya-karya yang bersifat ideologis dan politis dilarang terbit, sehingga pemerintah justru memperbolehkan penggunaan tema-tema yang menjual seperti seks dan kekerasan. Dengan begitu, rakyat akan dijauhkan dari kesadaran berpolitik dan mengkritik pemerintah. Karena itu juga, seniman pada zaman orba memiliki gaya serupa, dengan menonjolkan aspek-aspek yang tidak mendidik maupun inspiratif bagi masayrakat, tetapi menghibur.

Karya Eka, seperti hal nya novel-novel stensilan, menampilkan kembali maskulinitas dan relasi kuasa yang timpang pada masa orde baru. Ajo Kawir sendiri adalah hasil dari konstruksi sosial lingkungannya terhadap maskulinitas. Sebab ia impoten, ia merasa harus membuktikan kejantanannya dengan cara lain, yaitu berkelahi. Cara yang dipilihnya ini terbukti merupakan cara yang destruktif, karena akhirnya melukai orang lain.

Sementara itu, beberapa adegan pelecehan seksual termuat dalam novel ini. Kalau dalam novel stensilan, perempuan selalu digambarkan sebagai pihak yang lemah dan menjadi korban, bedanya di sini Eka memunculkan tokoh perempuan kuat seperti Iteung.

Akibat dari pelecehan yang dialaminya semasa kecil, Iteung tumbuh dengan belajar bela diri. Melalui karya-karyanya, Eka tidak menciptakan tokoh perempuan yang menginspirasi dan sebagainya, tetapi ia masih berkaca pada realita, bahwa perempuan masih rentan mengalami kekerasan. Ia juga menyoroti kenyataan pahit bahwa perempuan harus belajar menangani situasi tersebut dengan sebaik-baiknya, karena masyarakat tidak bisa diharapkan untuk berubah dengan cepat.

Pola hubungan patriarki ini dapat dihubungkan dengan sistem patron klien yang menjadi ciri khas pemerintahan orde baru, seperti dijelaskan akademisi David Brown dalam The State and Ethnic Politics in Southeast Asia. Sistem patron klien adalah hubungan antara dua individu dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi menggunakan pengaruhnya kepada individu yang membutuhkan perlindungan darinya.

Sistem patron klien kemudian merasuk ke dalam segala lini sosial, ditunjang oleh budaya bapakisme, dimana ada bapak sebagai atasan (patron) dan anak sebagai bawahan (klien). Perbedaan kekuasaan dan kekayaan, dibanding menimbulkan ketidakpuasan, malah akan menimbulkan hormat, selama sang Bapak masih menjalankan perannya sebagai atasan.

Dengan pola tersebut, terciptalah peran-peran ideal yang harus dimainkan oleh laki-laki dan perempuan. Peran-peran tersebut terekam jelas dalam jejak roman picisan lawas. Selain novel stensilan, roman picisan juga merajai dunia perfilman Indonesia. Berbagai judul nya yang fenomenal menjadi bukti, contohnya “Midah Perawan Buronan” (1983) dan “Suami, Istri dan Kekasih” (1994).

Refleksi Historis akan Keadaan Saat Ini dari Belakang Truk

Setelah dikhianati oleh Iteung, Ajo Kawir memutuskan untuk menjadi supir truk purna waktu. Bagian cerita yang ini membawa kita untuk merasakan lingkungan pergaulan para supir di era 80-90an. Salah satu hal yang menarik dari film “Seperti Dendam” adalah pemilihan truk yang dihias di bagian belakangnya. Tentu kita jadi berpikir, budaya menghias truk ini masih berlangsung sampai hari ini, bahkan beberapa menjadi viral di media sosial.

Tulisan-tulisan di belakang truk seringkali ditemani dengan lukisan artis perempuan cantik dengan pose menggoda. Berhubungan dengan pola yang sama dengan yang dipakai pada novel stensilan dan film-film panas era 80-90an, hiasan truk tersebut menunjukkan warisan dari era eksploitasi perempuan yang belum hilang sampai sekarang.

Posisi mengenai bagaimana perempuan direpresentasikan dalam media komunikasi visual (dalam hal ini di belakang truk) belum berubah. Memang, gambar ini bersifat menghibur, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa gambar tersebut juga seksis.

Di sisi lain, melalui tulisan-tulisan di belakang truk pula dapat dilihat perkembangan ke arah yang lebih positif. Keran berekspresi yang dibuka pasca runtuhnya orde baru menuai buahnya. Sekarang, tulisan-tulisan tersebut tidak hanya bertema picisan seperti era 90an, tapi kadang-kadang berisi nasehat dan renungan.

Tidak jarang juga tulisan berupa pesan pengingat yang bernada religius. Tulisan tersebut mewakili suara para sopir truk yang jujur dan lugu. Tulisan di belakang truk ini dapat disejajarkan dnegan graffiti yang biasa dijumpai di dinding-dinding kota.

Seperti halnya truk tersebut, “Seperti Dendam” mampu menangkap lokalitas dan jiwa zaman yang menarik bagi kalangan internasional. Ia menyibak sisi Indonesia yang belum pernah diceritakan dalam karya sastra sebelumnya, sehingga mereka teratrik untuk mengetahui lebih lanjut.

Tentu saja keunikan cerita ini didukung oleh kemampuan storytelling dan nilai-nilai filosofis yang dimiliki Eka dalam karya-karyanya, sehingga novel ini tidak berubah fungsi menjadi objek studi, melainkan suatu karya yang menghibur.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect