Quantcast
Riki-Oh: Kekerasan, Satire, dan Ledakan Tubuh di Dunia Dystopia - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea
Riki-Oh: The Story of Ricky

Film

Riki-Oh: Kekerasan, Satire, dan Ledakan Tubuh di Dunia Dystopia

Perpaduan brutal antara seni bela diri, komedi hitam, dan kritik sosial yang dibungkus dengan darah dan absurditas.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Dirilis pada tahun 1991, “Riki-Oh: The Story of Ricky” adalah salah satu film paling ekstrem yang pernah keluar dari Hong Kong pada era 90-an. Disutradarai oleh Lam Nai-Choi dan dibintangi oleh Fan Siu-wong, film ini diadaptasi dari manga Jepang ‘Riki-Oh’ karya Masahiko Takajo dan Saruwatari Tetsuya.

Meski saat dirilis film ini gagal secara komersial, “Riki-Oh” kemudian berkembang menjadi cult classic berkat reputasinya sebagai salah satu film paling sadis dan over-the-top dalam sejarah sinema Asia. Ia bukan sekadar tontonan penuh darah, tetapi juga sebuah parodi cerdas terhadap sistem kekuasaan dan eksploitasi manusia di balik tembok penjara fiktif.

Cerita berfokus pada Riki Ho, seorang pria muda yang dipenjara karena membalas dendam atas kematian pacarnya. Penjara yang ia masuki ternyata dikendalikan oleh para mafia dan pejabat korup yang menjadikan tahanan sebagai alat kekuasaan. Di sinilah film menampilkan perjalanan Riki melawan struktur kekuasaan brutal, dengan kekuatan fisik luar biasa dan rasa keadilan yang tak tergoyahkan.

Naskah film ini ditulis sederhana, tetapi tujuannya bukan realisme melainkan simbolisme. Lam Nai-Choi menggunakan elemen melodrama, kekerasan ekstrem, dan humor absurd untuk mengekspos ketidakadilan sosial. Dialog-dialognya klise, bahkan konyol, tetapi justru di situlah daya tariknya: film ini sadar diri sepenuhnya akan kebodohannya, dan menjadikannya sebagai alat sindiran terhadap sistem yang busuk. Dalam dunia Riki-Oh, keadilan bukan datang lewat hukum, melainkan dari tangan yang mampu menembus tubuh musuh hanya dengan satu pukulan.

riki oh

Sinematografi karya Chan Chi-ying memperkuat atmosfer distopia penjara dengan pencahayaan kasar, warna gelap, dan set yang dibuat dengan estetika low-budget khas Hong Kong awal 90-an. Namun di balik keterbatasan teknis itu, “Riki-Oh” justru menonjol karena kreativitasnya. Adegan kekerasan ekstrem—kepala yang meledak, perut robek, usus dijadikan senjata—diciptakan dengan efek praktikal yang sengaja terlihat “palsu”, menciptakan sensasi antara jijik dan tawa.

Gaya pengambilan gambar yang cepat, potongan kasar, dan penggunaan darah sintetis berlebihan menjadikan film ini terasa seperti teater gore yang estetis. Setiap adegan baku hantam disusun seperti koreografi seni bela diri klasik, tapi digabungkan dengan absurditas kartun. Itulah alasan mengapa “Riki-Oh” dianggap pelopor “splatter kung fu” yang unik.

Fan Siu-wong memberikan performa total sebagai Riki, seorang tokoh yang tampak polos tapi menyimpan kekuatan brutal. Ia memerankan karakter ini bukan dengan ekspresi berlebihan, melainkan dengan keseriusan nyaris spiritual yang ironis di tengah kekonyolan visual film. Tatapan dinginnya dan cara ia menahan rasa sakit menciptakan aura pahlawan klasik yang tragis.

Sementara para antagonis—dari kepala penjara yang sadis hingga narapidana kejam—diperankan dengan gestur teatrikal, seolah mereka semua sadar sedang bermain dalam dunia yang tidak nyata. Pendekatan akting semacam ini menjadikan “Riki-Oh” bukan sekadar film aksi, tapi juga semacam parodi terhadap film kung fu moralistik yang lazim di Hong Kong.

Di balik darah dan tawa, “Riki-Oh” memiliki lapisan sosial yang tajam. Film ini menyindir sistem kekuasaan otoriter dan birokrasi yang menindas. Penjara dalam film berfungsi sebagai metafora masyarakat modern yang dikendalikan oleh korupsi dan kekerasan. Setiap karakter berperan sebagai representasi moral—dari pejabat korup, bawahan pengecut, hingga orang baik yang dikorbankan oleh sistem.

Dengan cara ekstrem, “Riki-Oh” mempertanyakan batas antara keadilan dan kekerasan, serta menggugat absurditas dunia yang memperlakukan kekuatan fisik sebagai satu-satunya hukum yang berlaku.

Kelebihan film ini terletak pada keberaniannya. Ia tidak takut menjadi ekstrem, tidak peduli pada aturan genre, dan berani menertawakan kekerasan yang ditampilkannya. Adegan-adegan aksi yang tak masuk akal menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar film cult dan gore. Namun bagi penonton yang mencari plot logis atau sinematografi halus, “Riki-Oh” bisa terasa melelahkan dan tidak konsisten. Beberapa adegan terlalu berlebihan hingga nyaris seperti parodi tidak disengaja—meskipun bagi penggemar film grindhouse, itulah justru pesonanya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Cultura Magazine (@culturamagz)

Lebih dari tiga dekade setelah rilisnya, “Riki-Oh: The Story of Ricky” tetap menjadi salah satu film paling kultus dan dikenang karena keberaniannya melampaui batas. Ia bukan film yang dibuat untuk semua orang, tapi bagi mereka yang mencintai eksplorasi estetika ekstrem dan humor gelap, Riki-Oh adalah pengalaman sinematik yang tak terlupakan. Sebuah kombinasi aneh antara kung fu klasik, body horror, dan satire sosial yang justru semakin relevan di era penuh kekerasan simbolik ini.

Trash Review: Ketika Harapan dan Ketidakadilan Bertabrakan di Lorong-Lorong Kumuh Rio

Film

Unthinkable Review: Teror, Moralitas, dan Batas Kemanusiaan yang Diuji Sampai Titik Terakhir

Film

Bugonia Review Bugonia Review

Bugonia Review: Kekonyolan Paranoia, Ambisi, dan Kepedihan di Bawah Neon dan Lebah

Film

Taxi Driver Taxi Driver

Taxi Driver: Potret Kegelapan Kota dan Jiwa yang Tak Terselamatkan

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect