Quantcast
Taxi Driver: Potret Kegelapan Kota dan Jiwa yang Tak Terselamatkan - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea
Taxi Driver

Film

Taxi Driver: Potret Kegelapan Kota dan Jiwa yang Tak Terselamatkan

Studi karakter yang membongkar kegelisahan urban dan kekosongan moral Amerika pasca perang.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Martin Scorsese merilis “Taxi Driver” pada 1976 sebagai sebuah pukulan keras kepada wajah Amerika yang sedang berusaha merapikan diri seusai Perang Vietnam. Namun alih-alih tampil sebagai film kriminal biasa, karya ini menjelma menjadi catatan psikologis yang suram tentang keterasingan, paranoia, dan putus asa yang tumbuh di kota yang tampak hidup, tetapi sebenarnya membusuk dari dalam.

Dari naskah Paul Schrader hingga performa eksplosif Robert De Niro, “Taxi Driver” berdiri sebagai salah satu film karakter paling tajam dalam sejarah sinema modern.

Plotnya mengikuti Travis Bickle, seorang veteran Vietnam yang bekerja sebagai sopir taksi malam hari di New York. Melalui matanya, penonton melihat kota tidak sebagai ruang publik, tetapi sebagai labirin yang dipenuhi kotoran moral: pelacuran anak, kriminalitas, korupsi, politik kosong, hingga apati sosial yang luar biasa.

Paul Schrader menulis Travis bukan sebagai pahlawan atau orang jahat, melainkan sosok rapuh yang membangun dunia melalui fantasinya sendiri. Script film ini menjadi fondasi seluruh pengalaman—minim dialog tetapi penuh monolog internal yang gelap, penanda betapa dalamnya luka mental Travis yang tidak pernah diperbaiki masyarakat yang mengirimnya ke perang.

Secara struktural, plot film tidak bergerak dalam pola konvensional. Scorsese justru memberikan ruang bagi penonton untuk menyaksikan degradasi mental Travis secara perlahan, hampir tanpa disadari, sampai semua elemen runtuh pada adegan klimaks kekerasan yang brutal. Struktur ini menciptakan pengalaman naratif yang tidak linier, melainkan spiral ke bawah—semakin panjang Travis bergulat dengan kota, semakin ia terhisap ke jurang obsesinya sendiri. Pilihan ini membuat penonton merasa tidak nyaman, tetapi sangat efektif sebagai studi karakter.

Sinematografi Michael Chapman memberikan atmosfer yang tak tergantikan: neon yang menyala seperti racun, hujan yang membuat jalan terlihat seperti genangan limbah, asap yang menutupi setiap sudut kota. Kamera sering mengikuti Travis dari belakang, seolah dunia sedang mengintai, atau mungkin ia yang mengintai dunia. Setiap frame terasa lembap, penuh tekanan, dan sengaja dibiarkan “kotor” untuk mencerminkan kondisi sosial New York pada era itu. Scorsese menambahkan sentuhan personal dengan gerakan kamera halus yang tiba-tiba berubah menjadi agresif, mempertegas rasa tidak stabil yang menjadi inti film ini.

Aktor-aktor pendukung memberikan tekstur tambahan. Jodie Foster sebagai Iris, gadis muda yang terjebak prostitusi, tampil dengan kedewasaan yang mengerikan untuk seorang remaja. Harvey Keitel sebagai Sport menampilkan pesona beracun yang membuat keberadaannya terasa menyesakkan. Namun De Niro tentu menjadi pusat gravitasi film ini. Transformasinya tidak hanya fisik—rambut mohawk, sorot mata kosong, tubuh kurus—tetapi juga emosional. Ia memainkan Travis sebagai sosok yang terus mencari pembenaran moral, tetapi tidak pernah menemukannya. Setiap kalimat yang ia ucapkan, termasuk “You talkin’ to me?”, terdengar seperti bisikan seseorang yang semakin kehilangan pegangan realitas.

Screenplay Schrader dan penyutradaraan Scorsese bekerja harmonis, membangun tema-tema besar seperti alienasi urban, trauma veteran perang, dan kegagalan masyarakat modern menciptakan ruang bagi penyembuhan mental. Alih-alih menawarkan solusi, film ini menegaskan pertanyaannya: apa yang terjadi pada seseorang ketika dunia tidak memberinya kesempatan untuk kembali menjadi manusia?

“Taxi Driver” juga menyimpan komentar budaya yang kuat. Film ini merekam New York sebagai cermin Amerika: kota yang tampak glamor dari luar tetapi penuh ketidakadilan, kemiskinan, dan keputusasaan. Travis adalah produk dari sistem yang membiarkan seseorang hancur dan kemudian kaget ketika kehancuran itu meledak ke publik. Tema ini terus relevan, menjadi peringatan tentang bagaimana masyarakat sering gagal memahami atau menangani kesehatan mental, terutama pada mereka yang kembali dari perang atau trauma sosial.

Secara keseluruhan, “Taxi Driver” adalah film yang terasa seperti luka lama yang kembali terbuka. Ia tidak menawarkan hiburan ringan, melainkan pengalaman sinematik yang mengganggu, provokatif, dan sangat jujur. Film ini berdiri sebagai salah satu mahakarya era New Hollywood—sebuah karya yang mendorong sinema lebih jauh ke wilayah yang gelap dan psikologis.

Bugonia Review Bugonia Review

Bugonia Review: Kekonyolan Paranoia, Ambisi, dan Kepedihan di Bawah Neon dan Lebah

Film

Wicked: For Good Wicked: For Good

Wicked: For Good: Penutup Megah tentang Persahabatan, Kuasa, dan Harga Menjadi “Berbeda”

Film

Biopik Keras yang Menggugah: Christy dan Luka yang Tak Terlihat di Balik Sorotan

Film

Membongkar Asap Kebohongan: Mengapa The Insider Tetap Relevan Dua Dekade Lebih

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect