Connect with us
Pengabdi Setan 2

Film

Plus & Minus Pengabdi Setan 2

Belum bisa dibilang sempurna, ini kelebihan dan kekurangan ‘Pengabdi Setan 2: Communion’.

“Pengabdi Setan 2: Communion” masih menjadi film horor lokal yang trending hingga saat ini. Rilis pada 31 Juli di IMAX dan 4 Agustus di semua bioskop Indonesia, film arahan Joko Anwar ini tembus 3 juta penonton hanya dalam 5 hari pertama tayang.

Prestasi ini tak hanya menjadi kesuksesan Joko Anwar dan tim. Kabar ini juga menjadi berita positif untuk industri perfilman Indonesia dalam skala besar. Banyak media hiburan lokal juga memberikan ulasan positif dari film sekuel ini.

Namun, tak sedikit pula kritikan dan saran yang diberikan oleh netizen untuk melindungi penonton segmentasi yang lebih luas. Mulai dari peringatan untuk tidak membawa anak di bawah 13 tahun, hingga petisi untuk memberikan photosensitive warning.

Apakah ‘Pengabdi Setan 2’ benar-benar film horor Indonesia terbaik saat ini? Dengan segala keberhasilan dan ambisi Joko Anwar yang terlihat dalam PS 2, film ini juga tidak luput dari kekurangan. Namun juga tidak bisa dibilang sebagai film horor yang tidak berkualitas.

Mengingat film horor merupakan komoditas paling laris di Indonesia, padahal masih bisa dihitung dengan jari yang benar-benar layak tonton per bulannya. Berikut pro dan kontra “Pengabdi Setan 2: Communion”.

Plus: Desain Produksi Otentik Hidupkan Latar Jakarta Era 80-an

Banyak media utama yang memberikan rating tinggi bahkan sempurna untuk film ini. Namun lupa memberi highlight pada desain produksinya. Kalau film pertama hanya berlatar di desa dan lokasi rumah yang itu-itu saja, sekuel ini terasa lebih nyata karena latar Jakarta tempo dulu yang semakin ditonjolkan. Mulai dari obsevarium pada prolog, interior kantor zaman dulu, Halte Simpang Bioskop, jalanan, dan pastinya lokasi utama rusun terbengkalai yang disulap menjadi ‘wahana’ utama dari kisah horor ini.

Produksi yang detail dan terlihat otentik selalu dimaksimalkan oleh Joko Anwar. Bahkan sampai program televisi, siaran radio, hingga interior hunian setiap penghuni di rusun. ‘Pengabdi Setan 2’ memiliki desain produksi yang berhasil membangkitkan nuansa 80-an otentik.

Plus: Kualitas Kamera dan Sinematografi Juara

Satu lagi kualitas juara dari film ini adalah kualitas kamera dan sinematografinya. Kualitas visual seperti ini masih jarang kita temukan dalam film-film lokal. ‘Pengabdi Setan 2’ menjadi film Indonesia pertama juga yang tayang di bioskop IMAX. Perlu diketahui bahwa tidak semudah itu bagi sineas lokal untuk membuat film dengan kualitas visual yang tajam hingga bisa ditonton di layar IMAX. Film horor lokal saja terkadang masih ada yang suka pecah gambarnya meski di bioskop reguler.

Lebih dari setengah durasi ‘Pengabdi Setan 2’ berlatar di malam berbadai yang gelap. Namun, meski dalam suasana yang gelap gulita, arahan sudah tepat untuk memastikan penonton tidak ketinggalan adegan apa pun. Efek CGI untuk menciptakan penampakan luar rusun yang ominous juga sudah bagus.

Melalui akun pribadinya, sang sutradara juga mengungkap bahwa adegan banjir merupakan bagian produksi yang rumit. Mulai dari koordinasi kru, aktor, equipment, hingga pendukung keamanan yang melibatkan SAR.

Plus: Penokohan Karakter Didukung Tata Rias dan Busana

Sekuel ini juga masih memiliki deretan karakter yang ikonik. Mulai dari Rini (Tara Basro) yang masih menjadi sosok kakak perempuan berhati besar dan sangat protektif pada adik-adiknya. Bondi (Nasar Anuz) kini juga sudah punya teman baru, tiga sekawan ala “Stranger Thing”. Kemudian ada Tari (Ratu Felisha) si bunga rusun yang style-nya mantap.

Masih banyak kehadiran karakter pendukung baru lainnya yang terasa ‘ada’, tidak sekadar dummy yang cuma meramaikan latar.

(Spoiler Alert!)

Minus: Wahana Horor yang Makin Lama Makin Kehilangan Kharismanya

‘Pengabdi Setan 2’ memiliki banyak aspek untuk diapresiasi, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dari banyak kelebihan yang dikandung oleh ‘Pengabdi Setan 2’, penulisan naskah bukan keunggulan utama pada film ini.

Trian Ferianto dari Kompasiana berpendapat mengungkapkan pengalaman menontonnya yang Ia sebut sebagai ‘wahana hantu’. Berkeliling rusun dengan banyak adegan horor memang lebih terasa bagaikan wahana. Banyak adegan horor tenang, intens, hingga jumpscare yang tidak terlalu signifikan dengan benang utama plot.

Mulai dari Wisnu yang diganggu saat membuang sampah, Rini yang melihat kejanggalan pada penghuni rusun (juga saat membuang sampah), Tari yang diteror saat mendengarkan radio dan sholat, sekuen Toni menemani Ustad keliling melihat jenazah.

Eksekusi jumpscare yang disajikan semakin lama semakin terasa hambar. Meski kontennya bermacam-macam, sebetulnya formula sama saja. Hingga sampai babak terakhir ritual yang harusnya pecah, cuma ramai saja tapi sudah tidak seram lagi.

Minus: Apa Semua Jawaban Benar-Benar Sudah Terjawab?

Dengan mencantumkan ‘Communion’ pada judulnya, pasti mulai muncul ekspektasi mengulik sekte kesuburan yang lebih dalam lagi. Ada slogan selama promosi yang misleading. Pertama, ‘teror ibu sepanjang masa’, tagline poster dari pemenang sayembara yang diselenggarakan oleh Joko Anwar di Twitter. Pada akhirnya ternyata bukan ibu yang menghantui Rini dan adiknya. Melainkan Raminom yang ‘kebetulan’ cukup mirip dengan siluet Ibu. Raminom tampaknya akan menjadi makhluk horor utama dalam semesta ‘Pengabdi Setan’.

Durasi 1 jam 59 menit seharusnya bisa lebih difokuskan pada misteri keluarga Rini dan sekte kesuburan. Daripada diisi berbagai ‘wahana horor’, lebih baik fokus memuaskan penonton dengan eksplorasi sekte yang menjadi pertanyaan terbesar bagi penggemar ‘Pengabdi Setan’. Raminom screen time-nya juga masih sedikit, padahal ia primadonanya.

Dalam setiap aset promosi, terus dikumandangkan bahwa film ini akan menjawab semua pertanyaan kita dari film pertama. Nyatanya hanya makin menimbulkan banyak pertanyaan baru. Kehadiran pasangan misterius (Asmara Abigail dan Fachri Albar) setiap epilog juga masih belum terungkap. Kalau film pertama punya plot twist, ‘Pengabdi Setan 2’ tidak punya twist, karena keberadaan sekte dalam kisah ini juga sudah tidak mengejutkan lagi.

Muhammad Sabilurrosyad dari Mojok, mengakui kalau ada jawaban yang terjawab, namun banyak juga jawaban yang terasa masih ditahan. Film ini jadi terasa seperti jembatan saja menuju sekuel selanjutnya. Jadinya, janji kejelasan akan semua jawaban tidak terlalu dipenuhi dalam “Pengabdi Setan 2” ini. Tampaknya kita masih disuruh menunggu lagi sampai film berikutnya.

Plus: Adegan Terbaik

Prolog yang memperlihatkan sederet pocong menyembah foto Raminom menjadi pembuka yang sudah sangat menarik. Visual tersebut juga sudah diperlihat pada beberapa aset promosi “Pengabdi Setan”. Membuat penonton makin semangat mengeksplorasi sekte yang masih jadi misteri dalam semesta horor ini.

Adegan terbaik berikutnya adalah tragedi kecelakan lift yang monumental. Building up adegan tersebut sangat bagus. Mulai dari munculnya percikan konflik, urgensi, butterfly effect, kepanikan, hingga akhirnya teror dengan klimaks yang beneran pecah. Sekalipun beberapa dari kita mungkin sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, akhirnya tetap bikin terkejut. Setiap detail dalam adegan ingin sangat sempurna. Ini baru namanya penulisan storyboard film untuk adegan yang sinematik.

Minus: Adegan Terburuk

Adegan monumental menuju babak terakhir film kedua ini cukup sama dengan pendahulunya. Mulai dari jenazah yang kali ini dalam wujud pocong bangkit, kemudian bersamaan dengan kehadiran sosok misterius dalam balutan pakaian dan payung serba hitam. Oleh karena, seharusnya itu sudah bukan hal baru lagi bagi penonton film pertama.

Visual yang menggunakan lampu flash dan strobo dalam ‘Pengabdi Setan 2’ semakin liar dan berlebihan pada adegan terakhir. Adegan yang seharusnya sangat krusial dan penting; adegan ritual sekte.

Sayangnya, setelah melihat camera work dan berbagai angle yang bagus dari babak pertama, adegan ini justru arahan angle kameranya yang paling aneh, yaitu frog eye angle yang sangat rendah. Karena maksudnya memperlihatkan dari sudut pandang Rini yang tergeletak di lantai ketika ritual berlangsung. Belum lagi lampu flash-nya makin liar, penonton jadi kesal karena penasaran bagaimana sebetulnya ritual sekte yang dinanti-nanti.

Ada adegan bapak Rini yang diikat kaki dan tangannya kemudian ditarik dari berbagai arah hingga lepas. Adegan ini pasti lebih sinematik lagi kalau diambil dari angle pas di atas bapak. Kita cuma tahu eksekusi adegan demikian karena setidaknya sebelumnya sudah ada foreshadowing visual di babak pertama.

Contoh angle yang bagus adalah seperti ketika Dino diserang oleh Raminom kemudian terpeleset dan lehernya tertusuk garpu kebun. Itu angle-nya lebih terlihat jelas dan membuat penonton terperanjat.

Lagi-lagi juga Budiman (Egi Fedly) muncul sebagai penyelamat, layaknya solusi instan yang selalu disiapkan oleh penulis naskah. Usaha dia terlihat effortless, semudah itu menjadi bala bantuan dan sosok dengan pesan bijak. Padahal progres dari plot dia yang paling minim diperlihatkan sepanjang film.

Memang setelah menonton, kita bisa melihat postingan Joko Anwar yang mengungkapkan pusaka yang digunakan oleh Budiman untuk melawan Raminom. Namun seharusnya penjelasan itu bisa diselipkan dalam film, karena itulah tugasnya film. Memperlihatkan cerita dalam adegan, bukan penjelasan terpisah di luar film.

Kesimpulan: Pada akhirnya, “Pengabdi Setan 2: Communion” karya Joko Anwar patut mendapatkan perhatian besar yang telah mereka capai saat ini. Namun, film horor ini juga tidak luput dari ketidaksempurnaan.

Sayang sekali juga, banyak media cuma fokus menyebutkan bahwa film ini masterpiece, plotnya bagus, ceritanya bagus, padahal kekuatan film ini sebetulnya di desain produksinya yang kelihatan memakan budget besar. Dimana masih jarang di film-film lokal dan harusnya bisa jadi inspirasi bagi sineas lainnya. Ceritanya masih bikin penasaran, cuma bikin kesal saja karena masih banyak misteri utama ditahan di film kedua yang sudah dinanti cukup lama ini.

The Siege of Jadotville The Siege of Jadotville

The Siege of Jadotville Review – Kisah Heroisme yang Terlupakan

Film

The General's Daughter Review The General's Daughter Review

The General’s Daughter Review: Thriller Militer yang Menantang Moralitas

Film

12.12: The Day 12.12: The Day

12.12: The Day Review – Kudeta Militer dan Periode Tergelap Korea Selatan

Film

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect