Connect with us
My Best Friend Anne Frank
Netflix

Film

My Best Friend Anne Frank Review

Persahabatan Hannah Goslar dan Anne Frank di tengah perundungan rezim Nazi.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Anne Frank merupakan korban dari kamp konsentrasi Nazi yang terkenal karena perilisan buku harian-nya pada 1947, “The Diary of a Young Girl”. Sayangnya, Anne meninggal karena demam tipus pada 1945, tak lama sebelum akhirnya perang berakhir. Namun, Hannah Goslar, sahabat Anne Frank berhasil bertahan dan keluar dari kamp konsentrasi setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia II. Ia mewujudkan mimpinya sebagai perawatan, membangun keluarga baru, dan masih hidup hingga saat ini (93 tahun) di Yerusalem. 

“My Best Friend Anne Frank” (Mijn beste vriendin Anne Frank) merupakan film Belanda terbaru di Netflix yang mengisahkan persahabat dua remaja tersebut dari sudut pandang Hannah Goslar. Disutradarai oleh Ben Sombogaart, film ini diadaptasi dari “Memories of Anne Frank: Reflections of a Childhood Friend” karya penulis Amerika, Alison Leslie Gold.

My Best Friend Anne Frank

Mengalami Kengerian Holocaust dari Sudut Pandang Hannah Goslar

Film ini memiliki pola plot flashback yang cukup intens, yaitu saat dimana Hannah dan Anne masih bersama, kemudian hari-hari suram Hannah di kamp konsentrasi Nazi. Perbedaan waktu dalam setiap flashback ditandai dengan visual yang kontras. Meski sudah di bawah diskriminasi Nazi, Hannah dan Anne masih bisa tampil cantik dan bersenda gurau layaknya remaja pada umumnya, sinematografi juga masih memperlihatkan warna-warna cerah yang hangat. Sementara pada setiap adegan di kamp konsentrasi, visual tampak lebih kelabu dengan penampilan setiap karakter yang kusam. 

Dua latar waktu yang berbeda tetap memperlihatkan kengerian dan kegelisahan orang Yahudi di tengah Perang Dunia II. Secara perlahan, kita akan melihat kekejaman tentara Nazi yang semakin parah dan brutal, mengintimidasi keberadaan setiap keluarga beragama Yahudi, termasuk keluarga Hannah Goslar. Di mulai dari diskriminasi secara verbal, hingga akhirnya kekerasan secara fisik. 

“My Best Friend Anne Frank” akan mengingatkan kita kembali pada film sejenis “The Pianist” (2002). Bagaimana setiap orang Yahudi pada saat itu tidak hanya sedang menghadapi diskriminasi, ada hal lain yang terjadi dalam kehidupan mereka secara personal. Jika “The Pianist” kita melihat pengalaman seorang musisi dalam pelarian, kali ini kita akan melihat kisah seorang gadis remaja biasa yang hanya ingin bermimpi bersama sahabatnya.

My Best Friend Anne Frank

Sekuen Kekejaman Nazi yang Sudah Tidak Asing Lagi

Sudah ada banyak film dengan latar cerita holocaust yang rilis sebelumnya. “The Pianist” dan “Schindler’s List” menjadi dua judul terbaik. Bagi kita yang sudah menonton kedua film tersebut maupun film bertema Perang Dunia II lainnya, pasti sudah tidak asing lagi dengan sekuen kekejaman Nazi yang akan kita lihat dalam “My Best Friend Anne Frank”. Mulai dari pelarangan berbagai aktivitas umum pada orang Yahudi, hingga akhirnya pemindahan dan penyiksaan yang harus mereka alami di kamp konsentrasi. Namun, film ini lebih minim konten kekerasan dan visual yang sadis seperti film holocaust lainnya. 

Meski memuat perkembangan cerita yang sudah bisa kita tebak, film ini tetap berhasil menghadirkan kembali suasana gelisah dari sudut pandang Hannah Goslar, yaitu seorang remaja yang merasakan ketegangan dalam situasi penindasan pada kaumnya yang semakin menjadi-jadi. Membuatnya mengkhawatirkan masa depan keluarganya, sahabatnya, dan masa depannya sendiri. 

 

Drama Persahabatan dan Ironi Mimpi Remaja yang Tergerus oleh Perang

Dengan latar cerita yang sudah diadaptasi berkali-kali seputar Perang Dunia II dan holocaust, “My Best Friend Anne Frank” memiliki tugas untuk menyajikan sesuatu yang baru dalam kisahnya. Film ini akan membuat kita melihat sebuah ironi dari sebuah persahabatan dua remaja dan mimpi mereka musnah karena kejamnya perang. Dimana para remaja pada masa itu tak bisa bergurau, tertawa, dan bermimpi hanya karena mereka lahir sebagai seorang Yahudi. 

Kita akan mengenal sosok Hannah Goslar yang lugu dan bercita-cita sebagai perawat. Ia juga merupakan sosok kakak yang sudah diberi tanggung jawab untuk merawat adiknya. Sementara Anne Frank memiliki kepribadian yang ekspresif, centil, dan ingin menjadi orang terkenal, baik sebagai penulis atau aktris Hollywood.

Melalui latar waktu sebelum holocaust, kita bisa membanyangkan bagaimana keduanya tumbuh dewasa, menjadi sosok yang mereka impikan. Namun, sayangnya masa depan tidak seindah yang mereka impikan dan kita harus melihat mereka sengsara, menghabiskan masa remaja di kamp konsentrasi, tak mengingikan hal lain selain sedikit remah roti untuk bertahan hidup.

Awalnya kita mungkin kesal melihat bagaimana Anne dan Hannah masih sempat membobol bioskop hingga melanggar peraturan dasar di tengah situasi yang genting. Namun kita lupa, mereka hanya remaja biasa yang bahkan tidak tahu kebrutalan seperti apa yang menanti mereka di kamp konsentrasi.

Ketika kita menyadari hal tersebut, kita akan mulai merasa iba, bagaimana remaja seperti Hannah Goslar dan Anne Frank kehilangan masa remajanya yang seharusnya menyenangkan dan penuh dengan optimisme mengejar mimpi. 

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect