Bukan tantangan mudah saat ini untuk merilis album dengan genre yang tidak mainstream. Musik kontemporer masih belum menjadi pilihan pertama bagi pendengar secara luas. Sebaliknya, jenis musik seperti ini justru menjadi sebuah ladang empuk untuk mengekspresikan musik sesuai dengan keinginan sang musisi sendiri. Tanpa perlu memikirkan mengenai kritik, penjualan album, bahkan chart. Sepertinya memang ini yang diinginkan oleh Merz, Laraaji dan Ismaily.
Proyek ini dimulai dari seorang musisi dari Inggris, Conrad Lambert, AKA Merz dengan idenya mengenai industrial musik. Bukan sebuah ide yang baru sebenarnya, mengingat beberapa musisi lain juga mengangkat genre yang sama. Hanya saja dalam kemasan berbeda. Merz rupanya tak menginginkan proyek ini berakhir pada tahap “biasa-biasa” saja. Ia pun menggandeng dua musisi jenius lain, Shahzad Ismaily, yang ditemui saat ia melakukan live show di Bern, Switzerland, serta Laraaji. Ketiganya lantas bergandengan tangan dan meramu album yang disebut sebagai genre “industrial-devotional” ini.
Bila cerita dimulainya proyek album Dreams of Sleep and Wakes of Sound terdengar seperti sebuah film. Maka track di dalam album ini pun bisa disebut sebagai soundtrack. Menariknya, memang seperti itulah track di dalam Dreams of Sleep and Wakes of Sound.
Track pertama di album Dreams of Sleep and Wakes of Sound dibuka secara dramatis. Persis seperti tengah mendengar latar sebuah film yang membuat berdebar serta emosi naik turun. Permainan gitar Merz, yang mengingatkan akan Duane Eddy twangs dan Black Sabbath menjadi pusat tersendiri dari track pembuka. Laraaji memberikan sumbangan “cosmic zither”, yang menggiring track demi track ke sisi yang dramatis, melodius, sekaligus juga terdengar begitu sederhana.
Ismaily seolah mendapatkan peran penting untuk menyambung kedua ketidak sinambungan antara perpaduan industrial squalor dan holy minimalism dari Laraaji, dengan sisi emosional Merz.
Bila permainan dan harmonisasi instrumen dari ketiga “pemeran utama” Merz, Laraaji dan Ismaily belum cukup memanjakan telinga, Dreams of Sleep and Wakes of Sound juga mengusung sounds effect yang membuatnya terdengar lebih megah. Drone, efek seakan seperti suara bel dan dentingan gelas, sampai ketukan simbal menjadikan album Dreams of Sleep and Wakes of Sound benar-benar seperti namanya, “Wakes of Sound”.
Tak banyak album yang mampu menghadirkan pengalaman tersendiri untuk pendengarnya dengan cara yang begitu sederhana, namun rumit. Proyek Merz, Laraaji dan Ismaily untuk menghadirkan album kontemporer memang ambisius. Namun terbayar lunas dengan masterpiece Dreams of Sleep and Wakes of Sound yang tak hanya memanjakan telinga para pendengarnya saja, juga menghadirkan pengalaman audio yang jarang didapat dari album lainnya.