Sebagai satu bagian dari duo elektronik Diskoria, Merdi Simanjuntak merupakan seorang yang bekerja fulltime di bidang musik. Namun, selain sebagai seorang performer ia menggeluti profesi lain sebagai seorang Music Director. Profesi ini pertama kali ia geluti saat bekerja di salah satu group F&B di bilangan Jakarta, yang akhirnya ia teruskan di grup F&B lainnya.
Peran seorang Music Director mungkin terdengar asing bagi konsumen-konsumen tempat Merdi bekerja sebagai peran yang bekerja di belakang layar. Bagi Merdi, ia merasa profesi ini merupakan bagian penting dari branding sebuah outlet F&B. Tanpa disadari menjadi bagian dari sebuah pengalaman retail yang akan dirasakan oleh konsumen.
Bagaimana seorang Music Director bekerja memang hal yang menarik, karena secara halus musik bisa memengaruhi suasana yang menjadi identitas penting sebuah brand. Kami berbicara langsung dengan Merdi untuk lebih mengenal profesinya.
Sekarang lagi sibuk apa aja nih, Merdi?
Gue tuh ngurus musik di Union group. Jadi kesibukan gue selain Diskoria paling kayak bikin-bikin playlist buat outlet-outlet grup Union itu. Sama gue juga lagi beresin studio di rumah sih sekarang. Jadi di rumah tiap hari gue ngurusin studio, supaya beneran jadi gitu. Ini belum jadi, jadi nyicil. Itu doang sih kesibukan gue.
Bagaimana perjalanan karir Merdi sampai bisa di posisi sekarang?
Gue tuh dari dulu, dari lulus kuliah sampai sekarang apapun yang gua kerjain selalu enggak pernah melewatkan part musik. Jadi misalkan gue dulu kerja di bank, kalau weekend gue suka bikin party. Sepi, party sendiri gitu. Gue bawa alat, main sama temen gue gitu di mana, profit sharing sama bar. Terus gue kerja di Aksara, masih ngurusin musik. Ada musiknya juga. Terus gue kerja di Potato Head, awalnya ngerjain marketing tapi abis itu gue jadi ngurusin musiknya juga. Jadi gue selalu melibatkan musik di setiap jenjang pekerjaan gue. Sampai akhirnya gue jadi fulltime di musik.
Kalau tidak salah, di Potato Head dulu jadi Music Director?
Nah, awalnya gue malah marketing, music director-nya waktu itu Dipha. Cuman Dipha mulai sibuk juga jadi mulai agak ribet lah. Akhirnya gue mulai takeover kerjaan Dipha juga. Dari tadinya marketing, jadi mulai ke musik. Jadi memulai karir gue di Potato Head sebagai marketing tapi mengakhiri karir gue di situ sebagai Music Director.
Pengalaman sebagai seorang Music Director seperti apa, bagaimana day to day-nya?
Nah, kalau di Potato Head ya udah pasti setiap playlist pasti kan dari operations minta update. Jadi gue mesti nyicil setiap hari sambil kerja. Karena gue udah tau nih biasanya mereka sebulan sekali atau kadang dua bulan sekali minta diupdate. Jadi gue mulai nyicil setiap hari kalau lagi enggak ada meeting. Deal sama roster DJ atau harus nyari band, harus nyari performer, nyari sesuai kebutuhan outlet sih. Outlet bilang, “Gue mau bikin acara cocktail, gue perlu DJ yang mainnya agak-agak jazz, agak-agak broken beat.” Nah gue yang nyari DJ-nya.
Kira-kira skill yang dibutuhkan seorang Music Director apa saja sih?
As simple as lo ngebuka kuping lo untuk semuanya. Maksudnya as cheesy as it sounds emang gitu sih. Gue belajar jadi Music Director semenjak nge-DJ gitu. Ketika gue nge-DJ tadinya mungkin cuman mau dengerin ini, dengerin itu doang. Satu genre, dua genre doang. Tapi makin banyak manggung sana sini, main di acara ulang tahun, main di acara reuni jadi gue makin harus melebarkan kembali pendengaran gue. Ketika lo udah makin banyak dengerin lagu dan mau nyemplung ke pasar, lo jadi enggak akan salah milih. Lo udah punya taste sendiri, ditambah lo memperluas pengetahuan lo. Ketika lo masuk ke pasar itu lo jadi bisa ngikut arus, tapi bukan kebawa arus.
Untuk set direction yang mau dicapai, biasa metodenya bagaimana?
Tergantung sih. Kalau kayak Potato Head kasusnya begini.. Outletnya Potato Head Garage tuh kan bisa dibilang kayak event space karena gede. Walaupun Potato Head itu enggak into R&B di grup-nya cuman gue harus bisa meyakinkan mereka bahwa untuk bikin ini tempat penuh, dengan event. Ya, lo harus bikin acara yang segitu banyak orang tertarik buat datang. Jadi akhirnya kita coba masuk di R&B, dan Dipha waktu itu dengan Press Play. Press Play itu bisa dibilang kayak EDM, tapi EDM yang sama Dipha masih dicampur gaya-gaya Diplo lah. Masih ada kayak Reggaeton, Moombahton gitu. Jadi kayak enggak terlalu total EDM. Jadi masih bisa di-twist, di-design supaya enggak terlalu EDM. Jadi gue masih based on kebutuhan dan ini outletnya kayak gimana.
Gimana Merdi bisa tau musik yang diputar di tempat-tempat itu bekerja? Ada rumusnya tidak?
Kalau sekarang enggak, karena gue itu lebih kayak gini.. Ketika gue update playlist, biasanya gue akan langsung tanya sama operation-nya. Operation-nya sih sebenernya enggak ngerti musik kan, tapi mereka akan menilai sesuai dari feedback customer yang dateng. Suka ada yang muji atau enggak. Nah itu mereka akan nyampein ke gue. Kalau mereka enggak ada feedback apa-apa, gue akan dateng ke outlet. Gue akan duduk minum, pesen makanan. Terus gue mulai memposisikan diri sebagai customer. Kalau emang guee rasa kurang enak, langsung gue ganti saat itu juga. Cuman kalau enak-enak aja, yaudah gue tinggal.
Berarti sisi subjektifnya ada juga?
Ada. Gue dulu waktu ngambil thesis S2, gue lagi kerja di Aksara. Gue bikin thesisnya dengan judul “Pengaruh Store Music Terhadap Kemampuan Membeli Customer.” Jadi waktu itu gue nilai store music yang seperti apa yang akan berpengaruh terhadap orang mau beli barang atau enggak.
Penemuan Merdia apa?
Jadi semakin nyaman store music yang dipasang, kecenderungan orang untuk beli itu lebih tinggi. Saat itu di Plaza Indonesia ketika gue pasang store music yang Bossa-Jazz itu salesnya lebih tinggi. Nah itu gue taro-nya bukan di minggu yang minggu orang gajian ya. Jadi dalam tiga minggu, seminggu pertama gue Bossa-Jazz, minggu kedua tuh Electronic, minggu yang berikutnya lebih ke band-band-an. Nah sales-nya yang Bossa sama Jazz itu walaupun di minggu yang tanggal tua itu lebih tinggi dibanding dengan yang Electronic sama yang band-bandan.
Berarti secara ilmiah Merdi sudah menelusuri ini juga ya?
Iya, ketika gue menggeluti pekerjaan guaesekarang. Gue udah jadi lebih pede dengan ini. Ketika owner bilang, “Gue mau pasang yang lebih electronic.” Electronic yang seperti apa nih pak? Dia nyebut nama misalnya musiknya yang agak Minimal Techno gitu ya. Gue langsung bilang, lo mendingan pasang electronicnya yang lebih tetep nge-pop, yang ada nadanya. Techno bagus, tapi kalau buat dipasang di outlet enggak. Karena gue udah pernah bikin penelitian ini. Jadi, akhirnya mereka juga oke deh.