Netflix banyak merilis film komedi romantis original. Banyak yang membuang waktu penonton karena terlalu cheesy, namun “Love at First Sight” bisa jadi salah satu yang tidak ingin kita lewatkan. Disutradarai oleh Vanessa Caswill, film ini diadaptasi dari novel “The Statistical Probability of Love at First Sight” oleh Jennifer E. Smith. Dibintangi oleh Haley Lu Richardson sebagai Hadley dan Ben Hardy sebagai Oliver, serta Jameela Jamil sebagai narator yang memastikan skenario cinta ini berjalan dengan lancar.
Hadley Sullivan, perempuan 20 tahun yang ketinggalan penerbangan ke London untuk pernikahan kedua ayahnya. Bisa dibilang takdir bahwa kesialan tersebut membuatnya bertemu dengan Oliver, pemuda Inggris 22 tahun yang mengemban ilmu di Yale jurusan matematika. Ia hendak pulang kembali ke London dalam penerbangan yang sama dengan Hadley.
Ini bukan pertama kalinya Richardson tampil sebagai ‘perempuan ceroboh’ dalam roadtrip, sebelumnya ia bermain sebagai asisten orang kaya dalam serial HBO, “The White Lotus” Season 2. Namun tenang saja, kali ini perjalanan Richardson tidak akan sepelik serial komedi satir tersebut. “Love at First Sight” adalah film komedi romantis yang ringan.
Kisah Hadley dan Oliver yang Terjalin oleh Takdir dan Probabilitas
Narator menyebutkan bahwa ini bukan kisah cinta, namun kisah tentang takdir. “Love at First Sight” memang bukan film original Netflix yang fenomenal, namun bukan juga film yang buruk. Ini adalah kisah klasik cinta pada pandangan pertama yang sudah sering kita tonton sebelumnya, terutama bagi kita penikmat film komedi romantis.
Film dengan premis usang ini terlihat lebih menarik dan “baru” karena gaya narasinya yang unik. Jameela Jamil adalah satu aktris dengan pesona yang underrated. Ia merupakan salah satu aktris yang bisa tampil sebagai karakter loveable berkat reputasinya melalui serial Netflix “The Good Place”. Mulai dari ekspresi, aksen, hingga intonasinya, Jamil adalah narator yang berhasil membuat kita terus menyimak kisah Hadley dan Oliver.
Berdasarkan materi sumbernya, narasi film juga dilengkapi dengan probabilitas, statistik, dan angka. Memberikan setuhan quirky dan witty dalam presentasi kisah cinta dalam film ini. Masih bersinggungan juga dengan karakter Oliver yang terobsesi dengan statistik karena latar belakangnya sebagai mahasiswa matematika. Meski kalau bicara tentang statistik kita akan berpikir tentang logika dan sesuatu yang sangat berbobot atau berat, “Love at First Sight” tetap menunjukan kebebasan di antara persentase, data, dan angkanya. Bermain dengan takdir dan probabilitas, tak takut menyelipkan elemen fantasi subtil yang tetap seru untuk diikuti.
Latar Belakang dan Masalah Hidup Dua Karakter yang Bersambut
Plot film komedi romantis modern ini memang semakin jarang menampilkan premis, isi, dan akhir yang baru. Satu yang bisa menjadi kekuatan adalah penokohan dan latar belakang karakter yang hendak ditampilkan. Kita suka melihat romantisasi hubungan antara musisi dan penulis, ilustrator dan arsitek, hingga penikmat literasi dengan mahasiswa matematika.
Hadley sebagai perempuan 20 tahun belum memiliki banyak latar belakang selain dirinya yang sedang gelisah menjelang pernikahan kedua ayahnya. Yang pasti, Hadley tidak sesigap dan sekaku Oliver yang mendefinisikan segalanya dengan angka. Keduanya sama-sama memiliki acara untuk dihadiri di London, yang Hadley percayai sama-sama pesta pernikahan.
Baik Hadley dan Oliver memiliki masalah pribadi dalam perjalanan mereka ke London. Tanpa mengungkap salah satu “plot twist” dalam film ini, pada akhirnya masalah kedua karakter utama saling bersambut. Ini bukan kisah tentang siapa menyelematkan siapa, hanya “kebetulan” yang mempertemukan dua orang dalam situasi yang tidak biasa. Ada yang bercerai, ada yang langgeng menjelang maut. Ada yang berduka, ada yang kurang mensyukuri keadaannya. Meski hanya level permukaan dan penuh elemen bantuan klise dari narator sepanjang skenario, setidaknya ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari kisah pertemuan Hadley dan Oliver.
Komedi Romantis Ringan Berlatar di London Menjelang Natal
Ini mungkin masih terlalu awal, “Love at First Sight” bisa jadi tonton komedi romantis untuk liburan Natal mendatang. Kisahnya berlatar di London pada bulan Desember. Ketika dekorasi lampu natal mulai menghiasi kota, suasana liburan juga diangkat dalam beberapa dialog dan narasinya.
Sebagai film komedi romantis di London, sinematografi, musik, dan tata riasnya sebetulnya bukan yang spesial. Daripada kedua karakter utamanya, yang selalu tampil mencolok dan memikat secara visual justru Jameela Jamil sebagai narator (dan semacam sosok misterius yang mendukung kelancaran kisah cinta Hadley dan Oliver).
Selain menghadirkan nuansa romansa akan pertemuan pertama, skenarionya juga diisi dengan drama keluarga yang menyentuh hati. Jadi semakin melengkapi suasana liburan akhir tahun. Tidak ada karakter yang mengganggu, bahkan hampir semuanya tampil sebagai karakter yang loveable. Ini benar-benar tontonan feel-good yang santai, bahkan tidak ada adegan yang bikin geregetan.
Mungkin karena terlalu sempurna, film komedi romantis seperti ini kerap dikasih rating rendah di media kritik film utama. Namun, terkadang kita juga butuh tontonan yang ringan, santai, namun tetap menghibur, bukan? “Love at First Sight” bisa segera ditonton atau masuk watchlist sebagai tontonan liburan akhir tahun kita.