Layang-layang adalah permainan yang diakrabi secara fisik, juga secara budaya oleh masyarakat Indonesia. Benda yang terbuat dari lembaran bahan tipis yang ditopang oleh kerangka (tulang) lalu diterbangkan ke langit dengan bantuan angin ini juga terevolusi sesuai kebutuhan manusia. Benjamin Franklin misalnya, seorang tokoh asal Amerika Serikat, telah menggunakan layang-layang untuk membuktikan bahwa terdapat muatan listrik di dalam petir.
Menurut banyak narasi sejarah tentang layang-layang, China adalah tempat yang cukup sering disebut untuk menggambarkan asal-usul layang-layang itu sendiri. Konon, ini berkaitan dengan strategi perang yang digunakan oleh seorang jenderal dari Dinasti Han China bernama Han Hsin sekitar 2000 sampai 3000 tahun lalu yang mampu mengalahkan musuhnya. Semenjak saat itu, layang-layang menjadi sangat dikenal di kalangan masyarakat China dan di sepanjang jalur perdagangan China ke Korea, India, dan Jepang.
Namun pada narasi lain, layang-layang ditengarai telah jauh lebih dulu lahir di Indonesia, tepatnya di Muna, Sulawesi Tenggara. Hal ini dibuktikan oleh penemuan Wolfgang Bieck, seorang pecinta dan ahli layang-layang berkebangsaan Jerman, atas lukisan di gua Sugi Patani di Desa Liangkobori. Di dinding gua tersebut, sisi yang menggambarkan seorang pria sedang menerbangkan layang-layang lah yang membuat Bieck melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai sejarah layang-layang. Ditemukan, gambar di dinding gua tersebut telah ada sejak zaman Epi-paleolitik yaitu sekitar 9.000-9.500 SM. Hal ini berarti, gambar tersebut sekaligus menjadi bukti telah dikenalnya benda yang dikemudian disebut layang-layang oleh orang-orang Muna terdahulu, jauh sebelum masyarakat China mengenalnya.
Layang-layang ini oleh masyarakat setempat disebut Kaghati. Ia terbuat dari daun Kolope (umbi hutan) yang telah mengiring dan dimodifikasi dengan kulit bambu dan serat nanas hutan. Sebagai layang-layang tradisional, bahan-bahan dasar penyusun Kaghati ini cukup mudah untuk ditemui.
Namun meskipun merupakan layang-layang tradisional, Kaghati termasuk layang-layang yang sangat bisa diandalkan untuk terbang tinggi dan bertahan di udara dalam kurun waktu beberapa hari. Tidak perlu khawatir pada kondisi cuaca yang basah atau lembab karena pada dasarnya Kaghati telah dirancang sedemikian rupa untuk lebih tahan air dan kokoh.
Hal yang unik adalah, Kaghati memiliki dua sisi yang dinamai Kamumu. Kamumu inilah yang mampu membuat Kaghati menghasilkan bunyi saat diterbangkan. Bunyi ini dibuat sesuai dengan keinginan si pemilik atau pembuat Kaghati. Sehingga meski diterbangkan pada malam hari, dengan adanya suara yang dihasilkan dari Kaghati, ia tetap bisa dikenali oleh pemilik atau pembuatnya.
Tujuan Spiritual
Pada zaman dahulu, orang-orang Muna menerbangkan Kaghati dengan tujuan spiritual yang magis. Bagi mereka, Kaghati adalah simbol medium yang mampu mengantarkan atau menjadi penuntun mereka kepada Tuhan yang bersemayam di langit. Kaghati akan diterbangkan berhari-hari, dalam salah satu catatan, kaghati diterbangkan selama tujuh hari tanpa henti. Pada hari ketujuh, tali yang terbuat dari serat nanas hutan akan dipotong, sehingga layar induknya akan dibiarkan terbawa oleh angin. Harapannya, layang-layang yang telah terbang bebas ini akan mampu menuntun jiwa pemiliknya ke tempat dimana tuhan berada, ketika mereka telah meninggal.
Saat ini, eksistensi Kaghati tetap dipertahankan meski tidak lagi menggunakan motivasi yang sama yang dipercayai oleh leluhur orang-orang Muna terdahulu. Kaghati hari ini adalah tradisi leluhur yang masih terus dihadirkan terutama setelah panen raya. Hal ini sangat mungkin berelasi dengan perasaan suka cita dan harapan akan kebaikan tak berkesudahan setelahnya.
Untuk para pecinta layang-layang, Kaghati tentu tidaklah lagi asing. Kaghati telah cukup sering diterbangkan di kancah nasional dan internasional. Di Pulau Muna sendiri, antara bulan Juni –September adalah waktu terbaik untuk menyaksikan Kaghati di daerah asalnya. Pada periode itu, angin timur sedang berhembus kencang melewati daerah ini.