Connect with us
Han Kang: Human Acts
Photo via alterteguh.wordpress.com

Books

Han Kang: Human Acts Review

Kumpulan perasaan bersalah dan mimpi buruk bagi semua yang masih hidup.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Han Kang adalah seorang penulis Korea Selatan yang berhasil meraih Man Booker International Prize 2016 melalui novel fiksi “Vegetarian” yang pertama kali terbit pada 2007.

Di Tahun 2014 Han Kang kembali menghadirkan sebuah karya berjudul “Human Acts” yang menjadi salah satu perbincangan dunia karena berhasil melepas kebungkaman dari para korban tragedi Gwangju di tahun 1980, dalam sebuah fiksi yang mendengungkan suara mereka baik yang masih hidup dan sudah mati.

Mengangkat Kisah Tragedi Gwangju 1980

Jika pernah menonton Film “A Taxi Driver” (2017) pembaca mungkin akan terkoneksi dengan setting cerita dalam novel ini. “Human Acts” mengangkat tema tentang tragedi kekisruhan antara militer dan rakyat sipil yang terjadi pada tahun 1980 di Kota Gwangju, Korea Selatan.

Alur cerita “Human Acts” menampilkan lompatan rentang waktu yang saling berkelindan dengan tokoh-tokoh yang terhubung pada hari dimana seorang remaja kelas 3 SMP harus menjadi korban kekejaman para penguasa.

Cerita tragis ini diawali dengan kisah persahabatan dua anak SMP yang secara kebetulan terlibat aksi pembantaian saat perjalanan pulang menuju rumah mereka, satu orang menjadi korban dan satu lainnya terbunuh di lain waktu karena memelihara rasa bersalah.

Hang Kang

Hang Kang (Photograph: David Levene/The Guardian)

Diceritakan Melalui Narasi Para Korban, Baik yang Hidup ataupun Mati

Salah satu hal yang menarik dari presentasi yang dihadirkan dalam novel ini adalah gaya penceritaan penulis yang memakai sudut pandang dari banyak tokoh.

Pada bab pertama narator menceritakan kekalutan “Sang Pemuda” saat berusaha mencari jasad sahabatnya, di sebuah tempat pengumpulan jenazah orang-orang yang tertembak di pinggiran kota.

Kejadian saat itu, kemudian secara beruntun dikisahkan melalui penuturan para korban selamat dari berbagai aliansi, mulai dari keluarga korban, para mahasiswa, aktivis buruh, sampai beberapa tokoh yang ternyata terhubung dengan peristiwa atau korban.

Yang paling membuat sedih sekaligus dada terasa sesak adalah saat narasi dibawakan oleh “napas hitam” yang merupakan jelmaan dari arwah Jeong Dae, salah satu korban tewas.

Pembaca seolah akan dibawa menelusuri sudut-sudut gelap kematian yang tidak pernah dibayangkan, seperti melihat jasad diri sendiri yang tertumpuk di gunungan mayat dan melihatnya perlahan membusuk serta merasakan diri sendiri hilang saat acara pembakaran.

Merekam Kekejaman Penguasa dan Penderitaan Abadi Para Korban

Korea Selatan mungkin telah berdamai dengan masa lalu karena sudah berani menceritakan sisi kelam sejarahnya melalui karya buku ataupun film. “Human Acts” berhasil menampilkan tragedi pada masa itu dengan sangat detail dan memilukan.

Pembaca akan diajak merasakan kekejaman para tentara yang tanpa ampun membantai warga sipil dengan dalih perintah penguasa. Ketegangan itu selalu muncul dengan tempo yang naik turun, dari mulai gempuran ketakutan , potret keji proses pembunuhan, sampai bentuk-bentuk hukuman mengerikan yang diterima para korban.

Sepanjang buku ini adalah rekaman isak tangis yang disimpan rapat oleh para korban dan sajian kejahatan yang sangat keji, sampai-sampai bisa membuat dada pembaca sesak berhari-hari.

Ibu Dong Ho pernah menangis dan bergumam dalam hati saat melihat kakak kedua Dong Ho mengumpat di pemakaman adiknya.

“Aku akan membalas semuanya, katanya. Apa maksudmu? Tanyaku terkejut, bagaimana caramu membalas negara yang membunuh adikmu? Bisa-bisa kamu juga ikut mati”.

Perasaan Bersalah dan Mimpi Buruk Bagi Semua yang Hidup

Secara keseluruhan “Human Acts” adalah kisah dari mereka yang hidup dan meneruskan perasaan bersalah sampai kapanpun. Han Kang menempatkan para tokohnya seolah tertimpa kemalangan karena kesempatan hidup yang mereka terima.

Tokoh para korban yang berhasil lolos dari kematian digambarkan melalui hari-hari penuh penderitaan setelah mengalami kejadian mengerikan dan menghilangkan nyawa-nyawa orang terdekatnya.

Mungkin sebagian besar dari mereka berpikir bahwa kehidupan yang mereka jalani adalah sebuah nasib sial, dan seluruh masa depannya adalah pemakaman. Seperti apa yang diungkapkan oleh seorang mantan tahanan politik tragedi Gwangju.

“Aku bertarung, aku bertarung sendirian setiap hari. Bertarung dengan aib berupa kenyataan bahwa aku hidup, bahwa aku masih bertahan hidup”.

Perasaan bersalah itu tumbuh pada nyawa-nyawa yang masih ada, dan menyimpan semua penyesalan sebagai luka yang tidak bisa sembuh. Mereka tertinggal lewat sebuah kenangan atau mimpi-mimpi buruk.

Cerita “Human Acts” sudah bisa dinikmati terjemahan bahasa Indonesianya dengan judul “Mata Malam”. Novel ini diterbitkan oleh Penerbit Baca pada tahun 2017 lalu dan berhasil dialih bahasakan dengan sangat baik oleh Dwita Rizki.

Ernest Hemingway Ernest Hemingway

Ernest Hemingway: The Old Man and the Sea Review

Books

Buku Memperingati Hari Kartini Buku Memperingati Hari Kartini

Mengenal Sosok Kartini dari Sederet Bacaan yang Mengisahkan Pejuangan Hidupnya

Books

24 Jam Bersama Gaspar, Sabda Armandio 24 Jam Bersama Gaspar, Sabda Armandio

Sabda Armandio: 24 Jam Bersama Gaspar

Books

Laura Santullo: Monster  Kepala Seribu

Books

Connect