Connect with us
finneas optimist
Photo via NME.com

Music

Finneas: Optimist Album Review

‘Optimist’ lebih terdengar sebagai portofolio untuk FINNEAS sebagai produser dan penulis lagu ketimbang menunjukan tajinya sebagai penyanyi.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Setelah sederet single sukses, delapan trofi dari Grammys Awards, dan namanya dikenal sebagai produser paling cemerlang saat ini. Finneas akhirnya merilis album debut di bawah namanya sendiri, ‘Optimist.’

Nama Finneas O’Connell melambung bersama kesuksesan sang adik. Tidak hanya dikenal sebagai kakak kandung Billie Eilish, Finneas berperan langsung dalam sederet hits demi hits hingga rangkaian album Eilish sejak debut.

Sebagai produser yang membidani kesuksesan Eilish, Finneas pun tidak sepenuhnya sembunyi dari sorotan. Ia sudah merilis single demi single yang mencapai puluhan juta streaming. Finneas juga hampir selalu hadir bersama Eilish di setiap wawancara, acara penghargaan, hingga penampilan panggung. Sehingga berada di bawah spotlight bukan hal baru lagi bagi produser berusia 24 tahun ini.

Album debut ‘Optimist’ dirilis hanya beberapa bulan setelah Finneas turut campur tangan dalam album Eilish, ‘Happier Ever After.’ Sebelumnya ia sudah merilis 23 single, yang nyaris kesemuanya meraih sukses, dalam kurun waktu beberapa tahun saja. Pencapaian menakjubkan, memang.

Di balik kesuksesan tentang awards dan trofi penghargaan, konser dan aksi panggung yang selalu banjir penonton, jutaan stream di berbagai kanal, Finneas (seperti juga Eilish) memiliki musikalitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Setidaknya, bagi Finneas sebagai produser. Eilish dikenal dengan musik pop-gothic dan indie-pop yang kental. Sedangkan Finneas lebih condong kepada pop kontemporer.

‘Optimist’ memperlihatkan kemampuan Finneas sebagai produser, penulis lagu, hingga instrumentalis. Musisi berbakat ini memang menggarap hampir semua aspek dalam album ‘Optimist’ seorang diri. Ia memproduseri, menulis lirik dan lagu, hingga menggarap instumen untuk 13 dari total 14 track. Sama sekali tidak mengherankan bila album ini sangat menunjukan sisi musikalitas seorang Finneas.

Track pertama “A Concert 6 Months From Now” dibuka dengan instrumen akustik disusul dengan permainan string nan apik. Lagunya sendiri, bukan tentang kerinduan seorang musisi akan konser dan live music di era pandemi. Namun lebih kepada hubungan romantis on-off antara dua orang, yang sepertinya tidak seimbang.

“Your favorite band is back on the road/ And this fall, they’re playin’ the Hollywood Bowl/ I’ve already purchased two seats for their show/ I guess I’m an optimist.”

Sebagai pembuka, “A Concert 6 Months From Now” cukup berhasil membuat pendengar ingin mendengar track-track berikutnya.

Penting diingat, sebelum kita berpindah ke track-track berikutnya, Finneas memiliki keterbukaan tersendiri mengenai isu sosial politik. Terutama di era pandemi saat ini. Pergolakan politik di Amerika Serikat juga tidak jarang masuk sebagai tema dalam lagu-lagunya. Begitupun untuk beberapa track di ‘Optimist.’

Tema di album ini seakan mengambil dua sisi berbeda, masing-masing menempatkan Finneas sebagai objek dan subjek. Sang produser dan penyanyi rupanya menyadari status dan keuntungan yang ia dapatkan sebagai seorang kulit putih. Tidak saja di Amerika Serikat namun juga di hampir semua belahan dunia.

Sehingga tidak heran bila beberapa lagu di album ini seakan menjadikan dirinya sebagai objek kritikan. Sedangkan sebagian lain menggambil posisi sebagai pengkritik.

“The Kids Are All Dying” memiliki bagian lirik “I’m whiter than the ivory on these keys,” yang tentu saja sekali lagi menunjukan statusnya sebagai objek kritikan. Dilanjutkan dengan dirinya mengambil peran sebagai kritikus, yang seolah membenci semua hal menyenangkan dengan alasan “the kids are all dying.” “How can you sing about love when the kids are all dying/ How can you sing about drugs, politicians are lying/ How can you sing about sex when the school is on lockdown.”

Kemampuan Finneas dalam menulis lirik dan lagu memang tidak perlu diragukan. Sekali lagi mengingat ia menjadi sosok di balik lagu-lagu hits Eilish dan mendapat 8 trofi Grammy Awards dalam tahun yang sama. “The 90s” menjadi satu lagi bukti bahwa Finneas memang layak menjadi produser dan penulis lagu du jour saat ini.

“The 90s” sekali lagi berbeda dari judulnya. Tidak ada irama retro maupun nostalgia. Sebaliknya Finneas menggunakan bombast dan elektro sound. Permainan vokal dari Finneas memang tidak terlalu memukau, sama seperti track-track lain. Namun ia cukup memberikan sentuhan berbeda untuk vokalisasi di lagu ini.

“Hate how they can find me / Just be looking up my mum’s address,” narasinya dalam lagu yang merindukan saat-saat ketika internet dan sosial media belum mendominasi.

Finneas juga menyisipkan instrumental track ke dalam album ini. Walau sayangnya, justru tidak terlalu sejalan dengan harmonisasi keseluruhan album. “Peaches Etude” menghadirkan instrumen piano cantik, yang lagi-lagi sayangnya, tidak pas dengan album ini.

“Medieval” masih membawa nafas sama dengan “90s”. Dimana Finneas menarasikan tentang era sebelum sosial media. Ia juga menyisipkan tentang berbagai “war” atau “discosure” di sosial media: “What should we fight about this time? What will you write about this time? What does it matter if you’re not fine? You should’ve kept that shit offline.”

Masih ingat tentang narasi Eilish tentang popularitas di album ‘Happier Than Ever’? Finneas rupanya juga memiliki pandangan sama tentang popularitas dan spotlight yang ia dapatkan. “Someone Else’s Star” seakan menjadi ode untuk popularitas dari kacamata Finneas: “Now all your memories feel more like films/ You put ’em on to see which ones still kill/ You wonder why the bad ones paid the bills.”

“Someone Else’s Star” bukan satu-satunya lagu dimana Finneas seolah menyesali popularitas. Pada track dengan irama balada-elektro rock, “Hurt Locker”, Finneas mempertanyakan sampai kapan ia akan berada di bawah spotlight. Sedangkan di “Happy Now?” ia kembali menempatkan diri sebagai objek kritikan: “take a drive around town in my douchebag car.”

Di penghujung album, Finneas kembali dengan lagu bertema cinta. “Around My Neck” memiliki nada seksi yang mungkin akan cocok didengarkan sembari menghabiskan malam dengan kekasih. “Nothing beats being under you / Marks on my back, I wonder who?.” Namun sekali lagi, vokal Finneas mencapai titik mengecewakan saat berubah menjadi geraman.

‘Optimist’ terbilang mengecewakan bila menisik Finneas sebagai seorang penyanyi. Tidak ada permainan vokal maupun improvisasi yang membuat pendengar ternganga mendengarkan lagu-lagu dalam album ini. Sebaliknya, ‘Optimist’ justru diproduseri dan diaransemen dengan sangat apik. Masing-masing track memiliki ciri khas sangat Finneas.

Pada akhirnya, ‘Optimist’ menjadi album tepat sebagai portofolio Finneas sebagai produser sekaligus penulis lagu. Mengingat ia menggarap seluruh track di album ini sendiri saja sudah menambah satu poin lebih. Mungkin, sophomore albumnya nanti akan lebih baik lagi. Serta lebih menonjolkan sisi Finneas sebagai seorang penyanyi.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect