Connect with us
Billie Eilish
Photo: Kelia Anne MacCluskey

Music

Billie Eilish: Happier Than Ever Album Review

‘Happier Than Ever’ menasbihkan Billie Eilish sebagai musisi yang lebih dari sekadar pop star.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Billie Eilish meneruskan sukses ‘When We All Fall Asleep, Where Do We Go?’ dengan ‘Happier Than Ever.’ Album kedua yang masih mengikuti jejak musikalitas debut album sebelumnya, hanya saja dengan sisi emosional yang lebih politikal.

Sebagai album kedua yang dirilis tepat setelah kesuksesan album debut, ‘Happier Than Ever’ memiliki beban berat. Berbeda dengan ‘When We All Fall Asleep, Where Do We Go?’ dan sederet single sebelumnya, ‘Happier Than Ever’ melewati proses kreatif saat Billie berada di puncak popularitas. Sehingga tak mengherankan bila berbagai sisi emosional dari kehidupan pop star menjadi inspirasi album ini. Gambaran kehidupan seorang bintang dengan segala permasalahannya menjadi topik utama di ‘Happier Than Ever.’

Seperti album sebelumnya pula, hadirnya sang kakak Finneas O’Connell di kursi produser menghadirkan sisi musikalitas yang masih sangat khas Billie Eilish. ‘Happier Than Ever masih masih menggunakan rumusan instrumen minimalis dengan lonjakan synth hingga electro. Ditambah dengan pencampuran beberapa genre berbeda mulai dari jazz hingga folk. Musikalitas khas dan unik yang akhirnya dikoinkan dengan nama pop kontemporer.

Tema tentang popularitas seorang pop star langsung menyambut di track pertama album ini. “Getting Older” menjadi monolog tentang kesuksesan dan popularitas dari sudut pandang Billie Eilish.

“I’m getting older, I think I’m aging well/ I wish someone had told me I’d be doing this by myself/ There’s reasons that I’m thankful, there’s a lot I’m grateful for/ But it’s different when a stranger’s always waiting at your door.”

Pada chorus, Billie gantian mengungkap bahwa menyanyi yang dulu ia sukai hanya sekadar menjadi pekerjaan untuknya saat ini: “Things I once enjoyed just keep me employed now.”

Lirik relatable dengan pendengarnya sudah menjadi staple Billie Eilish sejak hits “Ocean Eyes.” Untuk track pertama ini pun Eilish belum beranjak dari sudut musikalitas yang membuatnya digemari. Mulai dari vokalisasi yang layaknya berbisik, permainan instrumen string minimalis hingga deployed synth yang seakan menjadi momen ‘mic drop.’

Penggunaan synth diteruskan di “I Didn’t Change My Number,” bersama irama dari nada-nada funk yang sayangnya terdengar dipaksakan. Finneas dan Eilish melanjutkan track berikutnya, “Billie Bossa Nova” dengan permainan musik samba.

Eilish memang jauh dari koridor musik pop mainstream. Walau dirinya sudah berada di kelas pop star. Selama beberapa waktu, musikalitasnya masih dikategorikan sebagai indie. Meski tentu saja, popularitasnya jauh melangkahi musisi dan artis indie lain.

“Billie Bossa Nova” membawa musik Eilish sedikit mendekati ke ranah poo. Terutama dengan melodi catchy yang diusung. Lagu easy-listening dengan lirik tentang percintaan ala pop star (“Some information’s not for sharing / Use different names at hotel check-ins”) ini akan pas diputar di cafe atau departemen store. Layaknya lagu pop mainstream lain.

“Oxytocin” pun masih mengusung sedikit sentuhan pop dari synth techno yang digunakan. Track berbalut horny hormone ala remaja ini pun menghadirkan vibe sama dengan rilisan-rilisan awal Grimes atau Crystal Castle. Terutama pada penggunaan synth abrasif di beberapa bagian lagu.

“Goldwing” menjadi salah satu track paling menarik secara musikalitas. Eilish membuka “Goldwing” dengan memainkan translasi orkestra Rig Veda dari komposer Gustav Holst. Ia melanjutkan dengan melafalkan teks Hindu, dan menutup dengan suara thumper.

‘Happier Than Ever’ tidak melulu tentang vokal bisik-bisik khas Eilish dan permainan musik techno dan synth. “Halley’s Comet” menyeruak sebagai lagu balada dengan iringan piano yang membandingkan jatuh cinta dengan fenomena astronomi.

Sisi politikal dihadirkan dalam “Not My Responsibility,” dimana Eilish menarasikan bagaimana pandangan orang-orang kepada dirinya. Tepatnya pada apa yang ia kenakan dan penampilannya.

“Some people hate what I wear. Some people praise it. Some people use it to shame others. Some people use it to shame me.” Track ini memiliki instrumen apik dengan pesan kuat di lirik.

Eilish pun seperti biasa berhasil menyuntikan emosi melalui vokalnya. Hanya saja di sisi lain lagu ini justru terdengar pretentious. Dan sebenarnya mengurangi kenikmatan dalam mendengarkan album keseluruhan.

Track-track slow tempo di album ini memang terdengar kurang memuaskan. Beberapa track seperti “Everybody Dies” dan “OverHeated” tidak meninggalkan impresi untuk pendengarnya.

“OverHeated,” ironisnya justru terdengar kurang matang. Produksi untuk lagu yang menyindir para paparazi (“Did you really think this is the right thing to do?/Is it news, news to who?/That I really look just like the rest of you) ini menggunakan beat berlapis tebal yang bahkan membuat pendengarnya ngos-ngosan.

Sisi emosional seorang pop star disampaikan pula melalui “NDA.” Di lagu ini, vokal Eilish menggambarkan rasa patah hati begitu mendalam. Selain lirik yang juga sarat tentang kisah patah hati: “30 Under 30 for another year/ I can barely go outside, I think I hate it herе/ Maybе I should think about a new career somewhere in Kaua’i where I can disappear.”

“NDA” menunjukan bahwa bagaimana pun itu, Eilish baru berumur 19 tahun. Over-popularitas yang dialami sang pop star sejak ia berumur 17an memberikan berbagai dampak buruk. Termasuk untuk urusan percintaan. Eilish menceritakan dalam gaya bernyanyi separuh rap bagaimana ia membeli rumah rahasia saat umurnya baru 17 tahun dan mengundang seorang “pretty boy.” Hingga akhirnya menendangnya keluar setelah menandatangani “non disclosure agreement.”

Sisi playful dari lagu ini menyuntikkan nyawa tersendiri di album ‘Happier Than Ever’ yang cenderung gloomy.

‘Happier Than Ever’ seakan menjadi katarsis popularitas ‘When We All Fall Asleep, Where Do We Go?’. Tak bisa disangkal album kedua ini mengemban beban berat untuk menyamai atau bahkan melampaui sukses debut sebelumnya. Untuk itu keputusan Eilish mengangkat tema sisi keterpurukan dari popularitas cukup mengejutkan.

Eilish juga tak menggandeng sederet produser papan atas atau pencipta lagu kenamaan untuk menggarap album kedua ini. Ia justru kembali ke gaya bedroom recording bersama sang kakak, Finneas dan merumuskan kembali kehidupan sebagai pop star. Lirik-lirik personal seperti pada “Your Power” dan penuh kritikan untuk media di “Not My Responsibility” dan “OverHeated” sama sekali tak bisa diduga sebelumnya.

Pada album keduanya ini, Eilish seakan tegas menasbihkan ia lebih dari sekadar pop star. Ia tidak membuat album pop untuk mengikuti arus musik mainstream. Melainkan tetap setia dengan jalur musikalitasnya. ‘Happier Than Ever’ juga sekali lagi membuktikan Billie Eilish (dan Finneas) bukan musisi biasa.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect