Dunia perfilman Indonesia 2000an sebetulnya telah diukir dengan berbagai cult classic lokal lintas genre. Tidak cuma horor dan drama percintaan melulu, banyak film dengan genre spesifik yang cerita justru Indonesia banget.
Kita mulai bisa mengakses kembali masa kejayaan tersebut dengan masuknya film-film lama Indonesia di berbagai streaming platform. Baik di platform sebesar Netflix dan Disney+ Hotstar, hingga platform lokal seperti Vidio hingga yang terbaru, Klik Film. Jangan cuma menonton film klasik Hollywood, ada banyak juga film klasik Indonesia yang sayang banget buat dilewatkan. Salah satu film klasik Indonesia terbaik yang akan kita bahas kali ini adalah “Arisan!” (2003).
“Arisan!” merupakan film drama kehidupan yang naskahnya ditulis oleh Joko Anwar, sementara Nia Dinata duduk di kursi sutradara. Dibintangi oleh sederet aktor Indonesia berbakat pada masanya, mulai dari Tora Sudiro, Cut Mini, Aida Nurmala, Surya Saputra, dan Rachel Maryam. Bercerita tentang tiga sahabat, Sakti, Memey, dan Andien. Mereka sudah bersahabat sejak SMA dan kini telah memiliki pekerjaan dan kehidupan masing-masing di ibu kota.
Ketika masalah pribadi mereka semakin pelik, persahabat mereka pun terancam berakhir. Dengan latar kehidupan sosial menengah ke atas di Jakarta, “Arisan!” lebih dari sekadar film tentang persahabatan. Ada banyak isu pribadi yang spesifik namun sangat relevan bagi masyarakat ibu kota atau bahkan kita yang tinggal di kota besar. Menjadi film yang rilis hampir dua dekade lalu, masihkah “Arisan!” relevan dengan kehidupan masyarakat ibu kota saat ini?
Kisah Tentang Orang-orang Gundah yang Tampak Bahagia
‘A happy picture about unhappy people’, begitulah tagline dari film “Arisan!”. Kalau bicara tentang media sosial jaman sekarang, sudah jadi rahasia umum bahwa orang-orang hanya nge-post momen bahagia mereka. Kita semua mungkin juga melakukan hal tersebut. Namun, apakah benar kita semua benar-benar bahagia dengan kehidupan kita? Baik eksekutif muda sukses yang naik mobil hingga pekerja serabutan yang naik motor, tak ada yang lepas dari problematika kehidupan.
Memey mungkin terlihat seperti wanita karir yang sempurna. Kharisma sebagai wanita karir yang cerdas dan mandiri sangat kuat dipresentasikan oleh Cut Mini. Namun, pernikahannya ternyata sedang hambar karena Ia tidak kunjung dikaruniai anak. Hingga akhirnya skenario terburuk pada wanita terjadi padanya.
Andien menjadi wanita yang kelihatannya paling beruntung. Menikah dengan orang kaya, punya anak-anak yang sehat dan pintar. Ia juga mendapatkan hadiah mobil dan liburan dengan mudah dari suaminya. Sampai Ia menemukan fakta menyakitkan dari sang suami dibalik segala kemewahan yang telah Ia terima.
Sementara Satria yang terlihat paling kalem, ternyata menyimpan rahasia yang sangat besar tentang jati dirinya. Bahwa Ia gay dan berusaha sangat keras untuk ‘sembuh’ dan menjadi ‘normal’. Ia tidak bisa menerima orientasinya tersebut karena takut ditinggal sahabat-sahabatnya. Sebagai anak laki-laki Batak semata wayang, Ia juga memiliki kewajiban untuk melanjutkan garis keturunan. Ia tak ingin fakta bahwa Ia gay menyakiti hati ibunya.
Langkah Berani Joko Anwar Angkat Tema LGBT Berbuah Piala FFI
Sekarang, kalau ada sineas lokal membuat film dengan tema LGBT, dijamin bakal dikecam dan dihujat. Contohnya saja Garin Nugroho yang menyutradarai “Kucumbu Tubuh Indahku” (2018). Sayang sekali bukan, film yang bisa memenangkan Piala Citra tersebut justru tidak bisa tayang di bioskop lokal.
“Arisan!” dulu juga sempat kontroversi dan dikecam oleh masyarakat Indonesia. Tapi masih bisa tayang di bioskop dan stasiun televisi nasional beberapa tahun setelah rilis. Mungkin karena dulu tidak ada media sosial, sehingga kita tidak menemukan para anti dengan bebas menyampaikan kritikan hingga membuat petisi di dunia maya.
Joko Anwar mengambil langkah yang berani dengan mengangkat tema homoseksual dalam naskah “Arisan!”. Tora Sudiro berperan menjadi Satria, pria keturunan Batak yang menyukai sesama gender. Kita akan melihat bagaimana Satria menyembunyikan orientasi seksualnya karena takut mengecewakan ibunya dan ditinggal oleh sahabat-sahabatnya. Ia sampai pergi ke psikiater dengan harapan ‘sembuh’ dan menjadi ‘normal’. Salah satu pemahaman yang familiar di masyarakat Indonesia, bahwa homoseksual adalah penyakit dan bisa disembuhkan.
Jika penonton bisa relevan dengan Memey dan Andien, kenapa masyarakat kita masih tutup mata dengan kasus Satria? Joko Anwar tak mungkin hanya memasukan kisah Satria sebagai gimmick. Kisah Satria adalah topik tabu yang sebetulnya banyak yang mengalami namun bersembunyi di tengah-tengah masyarakat Jakarta.
Berbeda dengan film LGBT Hollywood yang vulgar dengan adegan-adegan dewasa, justru materi seperti yang diangkat dalam “Arisan!” ini yang masih ‘jinak’ dan lebih penting untuk dipahami. Bahwa homoseksual tak melulu tentang seks bebas dan hawa nafsu, namun juga ada dilema dan krisis jati diri yang dialami oleh pihak bersangkutan.
Masyarakat umum boleh gusar dan mengecam, tapi buktinya, “Arisan!” justru dinobatkan sebagai Film Bioskop Terbaik dalam Festival Film Indonesia pada 2004 silam. Hal ini menunjukan bahwa sebetulnya di panggung seni profesional, film dengan tema-tema sensitif ini tidak terlalu diambil pusing, asal memang bagus.
Sindir Gaya Hidup Hedonis dan Budaya Pamer Kekayaan
Andien sebagai istri orang kaya, bergabung dalam arisan ibu-ibu sosialita lainnya kemudian mengajak Memey untuk ikutan. Pada saat bersamaan, kebetulan Satria datang ke lokasi arisan Andien bersama Memey dan ikutan gabung.
Mengapa ‘arisan’ yang dipilih oleh Joko Anwar sebagai latar naskahnya? Daripada hangout di diskotik atau komunitas kelas atas lainnya, arisan memang paling sempurna untuk mengekspos hedonisme dan budaya pamer di ibu kota kala itu. Mengingat pada masa itu penggunaan internet belum semarak sekarang. Media sosial juga belum ada sebagai platform ngeksis pribadi.
Kalau diperhatikan lagi, arisan memang kerap menjadi ajang berkumpulnya ibu-ibu untuk eksis dan pamer aset, bukan? Dalam “Arisan!” kita akan melihat teman-teman Andien berkumpul di lokasi-lokasi elit. Datang mengenakan pakaian modis, tas branded, dan sasak rambut yang tinggi untuk menge-boost ‘personal branding’. Obrolan mereka juga seputar memamerkan aset, promosi kerja suami, hingga prestasi anak-anak mereka. Tak ketinggalan membicarakan ibu-ibu lain yang belum datang di lokasi. Ada juga yang jualan barang di arisan. Hampir mirip dengan aktivitas di media sosial masa kini, bukan?
Melalui perspektif Memey, wanita karir yang idealis, kita seperti menjadi outcast di tengah ibu-ibu hedon dalam arisan. Buat kita yang tidak relevan gaya hidup hedonisme, kita akan menjadi penonton yang menertawakan karakter ibu-ibu dalam “Arisan!”. Lucu juga ternyata sosialita jaman dulu sampai sekarang ternyata tidak banyak berubah, cuma beda platform saja.
Jadi, apakah “Arisan!” masih relevan dengan kehidupan masyarakat ibu kota saat ini? Justru mengejutkan bagaimana film seperti ini lebih populer pada era 2000an.
Mungkin banyak dari masyarakat umum yang berpikir bahwa isu LGBT baru saja marak beberapa tahun belakangan. Namun ternyata baik isu LGBT dan hedonisme sudah menjadi bagian dari masyarakat Jakarta sejak lama.