“Everyday Life” merupakan album kedelapan dari band ternama, Coldplay yang akhirnya telah rilis pada 22 November 2019. Album ini menjadi media bagi Chris Martin dan kawan-kawan dalam menanggapi peristiwa sehari-hari yang sedang terjadi di seluruh belahan dunia.
Kita telah melihat indahnya dunia dengan segala warnanya pada album “A Head Full of Dreams” pada tahun 2015. Melalui album “Everyday Life”, Coldplay akan menunjukan kita sisi mengerikan dan dan indah dalam kehidupan melalui perpaduan simponi dan lirik pada setiap track yang bermakna. Kita akan mendengar berbagai lagu tentang kepercayaan, perang, bencana, isu ras, dan hubungan manusia dengan orang di sekitarnya.
Album ini terdiri dari dua bagian; “Sunrise” dan “Sunset”. Track “Sunrise” menjadi pembuka pada album ini dengan instrumen orkestra yang didominasi dengan penampilan violin solo dengan nada otentik ala Timur Tengah.
“Church” menjadi track selanjutnya yang akan memperdengarkan kita warna musik lama dari Coldplay dengan aransemen bassline, riff gitar, dan synth yang atmospheric. Lagu ini menjadi salah satu lagu dengan tema kepercayaan. “Broken” juga merupakan salah satu track dengan tema kepercayaan. Track satu ini memiliki warna musik blues dengan instrumen piano yang sederhana. Lagu ini terdengar seperti nyanyian choir gereja diiringi dengan paduan suara yang bernyanyi dengan Chris Martin.
“Trouble in Town” merupakan lagu dengan aransemen alternatif psychedilc tentang imigran yang tinggal di negeri Barat dan menerima perilaku diskriminatif. Kita bisa mendengarkan rekaman polisi yang berbicara dengan imigran dengan nada kasar pada bagian bridge.
Kemudian ada track “Daddy” yang menjadi salah satu single dari album ini. Lagu dengan aransemen lembut ini bercerita tentang seorang anak yang mencari dan membutuhkan ayahnya. Sementara pada lagu single “Arabesque”, Coldplay mengusung konsep lirik ‘musik sebagai penyatu dunia’.
“WOTP/ POTP” merupakan rekaman yang disematkan dalam album ini dengan kualitas rekaman yang mentah dan kasar. Kita bisa membayangkan Chris Martin bernyanyi sambil memainkan gitar di suatu tempat terbuka, menggumam dan bernyanyi secara spontan tentang dunia.
Bagian pertama dari album ini, “Sunrise”, ditutup dengan “When I Need A Friend” yang kental dengan nuansa choir gereja Katolik dengan paduan suara yang terdengar bagai sekumpulan malaikat bernyanyi dari surga.
Bagian album berikutnya, “Sunset”, dibuka dengan track “Guns”. Dengan aransemen musik gitar akustik yang teknikal dan up beat, Chris Martin menyanyikan lirik yang menggambarkan obsesi orang Amerika dengan senjata api yang telah memakan banyak korban dan menimbulkan kekacauan.
Dilanjutkan dengan track “Orphan” yang terinspirasi dari perang saudara di Suriah, khususnya pada peristiwa Damascus Bombing pada tahun 2018.
Track ‘casual’ juga terdengar kembali pada track “Cry, Cry, Cry” yang berkolaborasi dengan Jacob Collier. Begitu pula pada track “Old Friends” dengan musik gitar akustik dan lirik tentang kerinduan pada teman lama.
Mendekati akhir album, “Children of Adam” merupakan track instrumental yang dipadukan dengan puisi dengan judul yang serupa, karya pujangga asal Persia, Saadi Shirazi.
Album ditutup dengan track “Everyday Life” yang menjadi kesimpulan dari pesan yang ingin Coldplay sampaikan pada dunia melalui album mereka.
Secara keseluruhan, “Everyday Life” merupakan konsep album yang terdengar seperti kehidupan sehari-hari. Setiap track dalam album ini menyampaikan berbagai pesan seputar kepercayaan, perang, isu rasial, dan bagaimana kita seharusnya bersikap menghadapi segala perbedaan tersebut.
Melalui album ini, kita bisa mendengar kehidupan sehari-hari; dimana orang berdoa memuji Tuhan sesuai kepercayaan masing-masing, jalanan dengan anak-anak bermain dan berlarian, suara hujan, ocehan kebencian dan perdamaian, semuanya terasa hidup melalui lagu-lagu dengan aransemen yang otentik dan efek-efek suara dari kehidupan sehari-hari.