Pada 1983, ketika dunia pop tengah dijejali dentuman disco sisa era 1970-an dan awal dominasi MTV, sebuah lagu balada meledak bak kembang api. “Making Love Out of Nothing At All” milik duo asal Australia, Air Supply, tiba-tiba melambungkan perasaan para pendengar ke awan nostalgia. Lagu itu begitu dramatis, melodius, sekaligus melankolis, seakan menyatukan kesedihan dan harapan dalam satu tarikan napas panjang.
Air Supply—yang beranggotakan Graham Russell dan Russell Hitchcock—sudah dikenal dengan balada romantis seperti All Out of Love atau Lost in Love. Namun “Making Love Out of Nothing At All” menawarkan sesuatu yang lebih teatrikal. Lagu ini ditulis oleh Jim Steinman, komposer flamboyan yang juga mencetak hit untuk Meat Loaf (Bat Out of Hell) dan Bonnie Tyler (Total Eclipse of the Heart). Steinman dikenal dengan gaya megah, penuh dramatisasi ala rock opera, dan kali ini ia memakaikan jubah itu kepada Air Supply. Hasilnya: sebuah power ballad yang tak pernah lekang oleh waktu.
Pertemuan Dua Dunia
Kolaborasi Air Supply dengan Jim Steinman terasa unik. Air Supply sebelumnya identik dengan balada lembut yang intim—lagu untuk kaset cinta di radio malam. Sementara Steinman datang dengan orkestra besar, dentuman drum raksasa, dan melodi yang mengarah ke panggung stadion.
Ketika Hitchcock mulai bernyanyi dengan suara khasnya yang tinggi, lirik Steinman mengalir dengan metafora hiperbolik: “I can make the runner stumble, I can make the final block, and I can make every tackle at the sound of the whistle’s call.” Seolah-olah cinta memiliki kekuatan magis untuk mengguncang alam semesta.
Tapi justru di situlah daya tariknya. Lagu ini menggabungkan kelembutan vokal Air Supply dengan kebesaran musikal Steinman. Hasilnya sebuah perpaduan: romantisme sehari-hari yang dibalut aura epik.
Lirik yang Megah, Rasa yang Dekat
Bila diperhatikan, liriknya sebenarnya sederhana: seorang pria mengaku bisa melakukan segala hal—menghentikan waktu, menggerakkan gunung—tetapi tak mampu “membuat cinta dari ketiadaan apa pun” bersama sang kekasih. Ada paradoks di sana: keajaiban duniawi terasa mungkin, tapi cinta, yang seharusnya alami, justru tak dapat dipaksa lahir.
Metafora Steinman yang hiperbolis membuat lagu ini terdengar seperti puisi teatrikal. Namun di balik itu, ada rasa getir yang sangat dekat dengan pengalaman manusia: kesadaran bahwa cinta butuh fondasi nyata, bukan sekadar ilusi. Lagu ini, meski terkesan bombastis, justru membicarakan kerapuhan universal.
Meledak di Era MTV
Ketika dirilis pada Agustus 1983, lagu ini segera masuk ke tangga lagu Billboard Hot 100 dan bertahan hingga posisi nomor dua. Ia hanya kalah dari “Total Eclipse of the Heart” milik Bonnie Tyler—ironisnya, lagu itu juga ditulis Jim Steinman. Bayangkan, dalam tahun yang sama, Steinman menempatkan dua power ballad di puncak dunia, dengan gaya yang sama-sama teatrikal.
Videoklip “Making Love Out of Nothing At All” pun rajin diputar di MTV, menambah aura dramatiknya. Di banyak negara, termasuk Indonesia, lagu ini cepat masuk ke kaset kompilasi cinta yang dijual di pinggir jalan. Radio-radio malam menjadikannya pengiring setia program curhat asmara. Bagi generasi 1980-an, lagu ini menjadi semacam soundtrack patah hati yang elegan.
Jejak di Indonesia
Di tanah air, “Making Love Out of Nothing At All” memiliki resonansi panjang. Lagu ini kerap hadir di pesta pernikahan, konser nostalgia, hingga acara karaoke keluarga. Pada era 1990-an, banyak band kafe di kota-kota besar menjadikannya repertoar wajib. Suara tinggi Russell Hitchcock menjadi tantangan sekaligus kebanggaan bagi vokalis lokal yang mampu menirunya.
Bahkan, sebagian besar pendengar Indonesia yang tumbuh dengan radio AM/FM akrab dengan intro gitar khasnya. Lagu ini menjadi bagian dari kolektif memori: ketika cinta terasa mustahil, ketika kata-kata habis, masih ada bait Steinman yang bisa dipinjam untuk menyalurkan rasa.
Ironi dan Keabadian
Ada ironi dalam judulnya: “Making Love Out of Nothing At All.” Secara harfiah, ia menyiratkan kemungkinan melahirkan cinta dari kehampaan. Namun dalam inti liriknya, justru dikatakan sebaliknya—bahwa meski segalanya bisa dilakukan, cinta tak bisa tercipta tanpa dasar. Inilah kekuatan lagu: ia menegaskan misteri cinta, sekaligus menghibur mereka yang gagal memilikinya.
Lebih dari tiga dekade berlalu, lagu ini tetap bertahan. Banyak penyanyi membawakan ulang, dari Bonnie Tyler hingga artis kontemporer di ajang pencarian bakat. Namun versi Air Supply tetap dianggap definitif—gabungan vokal bening Hitchcock dan sentuhan megah Steinman adalah resep yang tak bisa diulang begitu saja.
Warisan Power Ballad
“Making Love Out of Nothing At All” kini sering dipandang sebagai salah satu contoh klasik power ballad—genre yang memadukan balada romantis dengan kekuatan rock. Ia membuka jalan bagi band-band 1980-an seperti Journey, Foreigner, hingga Chicago untuk melahirkan lagu-lagu serupa.
Namun lagu ini juga melampaui genre. Ia menjadi bagian dari soundtrack kehidupan sehari-hari: pengiring perjalanan malam di bus antarkota, latar film-film televisi, hingga pengisi daftar putar nostalgia di layanan streaming modern. Air Supply, dengan segala kesederhanaannya, berhasil menorehkan satu karya yang menjembatani romantisme personal dan drama musikal berskala besar.
Pada akhirnya, “Making Love Out of Nothing At All” adalah pernyataan tentang keterbatasan manusia. Kita bisa mengendalikan banyak hal, tetapi cinta tetap misteri yang tak bisa direkayasa. Lagu ini menempatkan kegetiran itu dalam balutan musik megah, membuatnya indah untuk didengar meski berbicara tentang kegagalan.
Air Supply mungkin sudah jarang mencetak hit baru, tapi lagu ini terus berputar di hati banyak orang. Setiap kali intro gitar itu terdengar, kenangan lama kembali menyeruak. Dan di situlah kekuatan sesungguhnya: dari “ketiadaan apa pun,” lagu ini menciptakan cinta abadi dalam ingatan kolektif.
