Connect with us
Bodies Bodies Bodies
A24

Film

Bodies Bodies Bodies Review: Jika Agatha Christie Menulis Euphoria

Satir kedangkal komentari Gen Z yang jenius dalam latar thriller horror.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Bodies Bodies Bodies” merupakan film horor komedi yang disutradarai oleh Halina Reijin. Dibintangi oleh Amandla Stenberg, Rachel Sennott, Pete Davidson, dan Maria Bakalova. Satu lagi film rilisan 2022 yang sudah masuk streaming platform, “Bodies Bodies Bodies” kini sudah bisa di-streaming di Netflix.

Sekilas, film ini tampak seperti sajian teen scream kelas B yang cringe dan mengeksploitasi kebodohan karakternya dalam skenario horor. Fakta bahwa A24 yang telah mengkurasi film ini untuk dirilis, mungkin patut dijadikan bahan pertimbangan. Melihat rilisan-rilisan film horor berkualitas A24 beberapa tahun belakangan.

“Bodie Bodies Bodies” bercerita tentang pasangan remaja lesbian yang menghadiri home party sekelompok remaja kaya di mansion mewah. Ketika menghabiskan waktu di tengah badai dengan permainan pembunuhan, terjadi pembunuhan sungguhan yang memecah bela mereka untuk mencari pembunuh sesungguhnya.

Bodies Bodies Bodies

Ketika Pesta di Tengah Badai Berubah Menjadi Mimpi Buruk

Banyak media menyebut film ini sebagai slasher horror, namun elemen slasher dalam film ini tergolong sangat minim. Lebih tepat dimasukan dalam kategori teen scream horror karena sekuen pembunuhan tidak terlalu sadis dan bukan menjadi fokus utama.

Plotnya cukup standar dan sudah sering kita temukan dalam niche ini. Mulai dari “Urban Legend” (1998), “Scream” film series, “Unfriended” (2014), dan masih banyak lagi film dalam genre ini. Dimana ada sekelompok remaja, sekuen pembunuhan, kemudian objektif untuk menemukan siapa pelakunya di antara mereka.

Begitu pula “Bodies Bodies Bodies” memiliki premis yang menimbulkan ekspektasi rendah. Namun, bagi kita yang mengizinkan diri untuk menonton film satu ini, akan dihadiahi (atau sebaliknya merasa dikhianati) oleh plot twist berbeda dari film-film dengan plot serupa.

Premis sekelompok remaja dalam skenario pembunuhan di mansion mewah terpencil hanya menjadi wahana horor. Disajikan secara kronologis dan sangat mudah untuk disimak dari awal hingga akhir. Dimulai opening klise, tampilkan adegan pasangan lesbian yang bermesraan. Kemudian musik pengiring lagu-lagu hip-hop yang nge-trend di TikTok dan pengenalan deretan karakter. Sampai akhirnya memasuki babak utama teror di tengah pesta yang berubah menjadi mimpi buruk. In a nutshell, it’s Among Us goes horribly wrong. 

Bodies Bodies Bodies

Satir Kedangkal Komentari Gen Z yang Jenius

Plot teen scream horror menjadi wadah untuk menyampaikan pesan yang sesungguhnya oleh Kristen Roupenian sebagai pencetus cerita. Fokus pada isu narsisme, keegoisan, dan komentari kasar oleh Gen Z di era internet masa kini.

Jika film teen scream murahan pada umumnya memiliki dialog yang sangat lemah dan cringe, tidak dengan “Bodies Bodies Bodies”. Ketika dipresentasikan dalam konteks per adegan, komentari yang dilontarkan oleh tiap karakter akhirnya tepat sasaran.

Memang kebanyakan dialog terdengar seperti tweet-an sok empati dan balasan kasar di group chat. Namun film ini menjadi medium yang tepat untuk mengekspos kedangkalan komentari para Gen Z, dari dunia maya ke dunia nyata. Mengingat juga bahwa film ini adalah sajian satir. Situasi thriller horror yang kacau balau dengan krisis kepercayaan menjadi momen yang tepat untuk mengeksploitasi sisi terburuk dari setiap karakter.

Penampilan Akting dan Arahan Adegan Horor yang Serius

Meski hendak menertawakan naskahnya sendiri, “Bodies Bodies Bodies” serius dalam meng-cast aktor/aktris terbaik untuk mengeksekusi film ini. Pete Davidson menjadi sosok trendy di kalangan Gen Z masa kini secara mengejutkan juga bisa tampil dengan akting meyakinkan. Begitu pula dengan Amandla Stenberg dan Maria Bakalova sebagai pasangan karakter yang mendominasi plot.

Rachel Sennott juga berhasil tampil sebagai tipikal karakter remaja murahan yang dangkal, namun dengan kualitas akting yang juara. Setiap line yang dia utarakan menjadi yang paling ikonik sepanjang film. Entah itu statement yang bersifat sensitif dan offensive akan isu tertentu, hingga roasting-an yang memang ditujukan untuk merendahkan orang.

Arahan adegan-adegan horor juga dibuat benar-benar menegangkan dan membuat penonton gelisah. Dengan latar hunian besar yang gelap, dimana serangan bisa datang dari mana saja. Sepanjang film kita akan melihat sekelompok remaja ini berusaha mempertahankan hidup masing-masing dalam kegelapan, dengan modal sinar layar handphone.

“Bodies Bodies Bodies” menjadi salah satu contoh, terkadang film horor tidak harus menyajikan materi high-class untuk menjadi brilliant. Terutama pada era kebangkitan film horor belakangan ini yang mengagungkan naskah-naskah absurd, arthousy dan budget produksi selangit. Film teen scream horror juga bisa menyenangkan, serta menjadi wadah social commentary berkualitas jik ditulis, diarahkan, dan menyajikan penampilan akting yang serius.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect