Quantcast
Anemone: Ketika Luka Menjadi Lanskap dan Sunyi Menjadi Dialog - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea
Cr. Focus Features

Film

Anemone: Ketika Luka Menjadi Lanskap dan Sunyi Menjadi Dialog

Kembalinya Daniel Day‑Lewis di antara saudara yang terpecah dan bayang-bayang masa lalu.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Anemone” adalah film drama psikologis yang menandai kembalinya Daniel Day-Lewis ke dunia akting—sekaligus debut fitur sutradara anaknya, Ronan Day‑Lewis. Film ini ditulis bersama oleh ayah dan anak melalui distribusi Focus Features. Dengan durasi sekitar 121-126 menit dan latar Inggris utara serta Wales, cerita berpusat pada Ray Stoker (Day-Lewis), seorang veteran yang memilih hidup menyendiri setelah trauma masa lalu, dan kedatangan kembali saudaranya Jem (Sean Bean) yang mencoba menghubungkan kembali ikatan keluarga yang retak.

Script yang ditulis Ronan dan Daniel Day-Lewis mencoba menggali tema berat seperti paternitas, warisan kekerasan, pengasingan, dan upaya rekonsiliasi. Dialog-dialog sering terdengar seperti monolog panjang, atau percakapan yang bergulir lambat di antara tatapan sunyi dan lanskap alam yang menonjol.

Menurut beberapa kritikus, meskipun plotnya memiliki potensi besar, narasi terasa sangat lambat dan terkadang “terjebak” dalam atmosfer tanpa banyak progresi aksi nyata atau ketegangan dramatik yang nyata.

Tema utama film—dua saudara menghadapi masa lalu traumatis dan eksil emosional—digarap secara introspektif. Namun ini juga menyebabkan sebagian penonton merasa kurang “tertarik” karena pacing yang sangat meditatif dan kurangnya resolusi yang jelas.

Secara visual “Anemone” tampil sangat kuat. Sinematografer Ben Fordesman memanfaatkan lanskap Inggris utara—hutan, tepi laut yang terpencil, kabut, dan suasana malam gulita—untuk menggambarkan kondisi batin Ray, karakter utama. Warna-biru dingin dan tone yang sunyi menjadi “karakter” tersendiri film ini, mengubah alam menjadi refleksi dari trauma dan penyesalan.

Musik oleh Bobby Krlic juga menambah kedalaman suasana: latar musik yang lirih dengan elemen ambience tebal memperkuat rasa keterasingan dan keheningan yang menekan.

Meski demikian, ada kritik bahwa visual-stylized ini kadang lebih mencolok dibandingkan narasi yang dibangun—beberapa adegan terasa seperti pameran gambar yang indah tapi kurang substansi.

Daniel Day-Lewis sendiri telah lama dikenal sebagai aktor yang mendalam dan transformasional. Di “Anemone” ia memerankan Ray dengan kompleksitas yang menonjol: seorang pria yang terlatih keras, kini rapuh di dalam, menepis dunia dengan senyap tapi menyimpan ledakan emosi. Penampilannya dinilai sebagai titik tertinggi film ini.

Sean Bean sebagai Jem menyajikan karakter saudara yang berbeda jalur hidupnya: mencoba kembali ke akar keluarga dan menghadapi rasa bersalah kolektif. Samantha Morton, Samuel Bottomley, dan Safia Oakley-Green menjadi bagian pendukung yang memperkaya dinamika keluarga namun beberapa kritik menunjukkan bahwa karakter-pendukung ini kurang waktu eksplorasi.

“Anemone” sangat berfokus pada dinamika keluarga—antara saudara, ayah dan anak, serta luka generasional yang diturunkan. Film ini menantang penonton untuk menyaksikan bagaimana trauma bisa membuat seseorang memilih isolasi, bagaimana keluarga menjadi medan pertempuran emosi, dan apakah rekonsiliasi mungkin terjadi atau hanya sebuah harapan.

Narasi film tidak menawarkan jawaban mudah, melainkan berakhir dalam keheningan yang menggantung. Ini menjadikannya karya yang lebih cocok untuk penonton yang bersedia “mendiamkan” film setelah selesai menonton. Namun, bagi yang mengharapkan alur lebih konkret atau klimaks dramatik tradisional, film ini bisa terasa mengecewakan.

Kelebihan film ini terlihat jelas dari segi akting, terutama Day-Lewis yang kembali dengan performa khasnya, dari sinematografi yang kuat dan atmosfer yang memikat, hingga keberanian tematik yang tidak mudah. Namun kelemahannya: tempo yang lambat dan struktur naratif yang tidak selalu terasa memuaskan.

Beberapa karakter kurang dikembangkan secara mendalam, sementara visual yang dominan kadang membuat narasi menjadi sekadar “gambar indah” tanpa resonansi emosional yang kuat. Beberapa peninjau menyebut bahwa film ini lebih “klinik akting” daripada drama yang benar-benar menggugah.

“Anemone” adalah film yang berani dan menonjol—terutama karena menandai kembalinya Daniel Day-Lewis dan debut sutradara Ronan Day-Lewis. Ia berhasil menciptakan dunia visual yang memikat dan karakter utama yang nyata dan membisu dalam luka mereka. Namun, film ini bukan untuk semua orang; ia menuntut kesabaran dan keterlibatan batin. Untuk penonton yang ingin menghadapi film yang lambat dan reflektif—ini adalah pengalaman yang layak. Untuk mereka yang mencari narasi yang lebih dinamis atau jelas, mungkin akan terasa agak berat.

Trash Review: Ketika Harapan dan Ketidakadilan Bertabrakan di Lorong-Lorong Kumuh Rio

Film

Unthinkable Review: Teror, Moralitas, dan Batas Kemanusiaan yang Diuji Sampai Titik Terakhir

Film

Bugonia Review Bugonia Review

Bugonia Review: Kekonyolan Paranoia, Ambisi, dan Kepedihan di Bawah Neon dan Lebah

Film

Taxi Driver Taxi Driver

Taxi Driver: Potret Kegelapan Kota dan Jiwa yang Tak Terselamatkan

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect