Menerima kematian seseorang kita cintai memang sulit, bahkan wajar jika rasa kecewa dan rindu yang dirasakan akan terus menghantui sampai kapanpun. Tak hanya Violet Evergarden yang masih tidak bisa melupakan Gilbert Bougainvillea, semenjak anime season pertamanya rilis, banyak penggemar dari “Violet Evergarden” yang masih tidak bisa menerima kematian Gilbert.
Kesedihan tersebut masih terus diungkit-ungkit pada film pertama, “Violet Evergarden: Eternity and the Auto Memory Doll” (2019), hingga akhirnya menjadi materi yang hendak dieksplorasi kembali, untuk terakhir kali dan selamanya, pada “Violet Evergarden the Movie” yang rilis 2019 silam.
Sekilas, film yang diindikasi sebagai film terakhir dari Violet Evergarden ini, masih dikemas dalam animasi berkualitas tinggi dari Kyoto Animation (KyoAni). Mulai dari kualitas motion animasinya, permainan highlight maupun cahaya dalam setiap framenya, setiap unsur teknikal dalam anime ini masih menyuguhkan kualitas yang sama dengan karya-karya sebelumnya; masih menakjubkan, namun tak juga menyuguhkan hal baru.
Begitu juga materi-materi humanis yang diselipkan dan masih mampu memancing air mata penonton, bagi kita yang mudah tersentuh dengan anime drama yang “mengeksploitasi” perasaan mendalam yang mampu dirasakan oleh manusia.
Meski banyak ulasan baik tentang “Violet Evergarden the Movie” di berbagai media, ulasan kali ini hendak mengekspos kekurangan krusial dalam franchise ‘Violet Evergarden’. Kita akan mencoba mengingat perjalanan Violet dari serial musim pertamanya, hingga pada titik ini, yang tampak sebagai akhir perjalanan panjang Violet Evergarden sebagai Auto Memory Doll terbaik di Leidenschaftlich.
Mengingat Kembali Esensi Perkembangan Karakter Violet Evergarden Selama Ini
Melalui serial anime pertamanya yang rilis pada 2018, Violet Evergarden muncul pertama kali sebagai karakter yang kaku dan stoik. Memiliki masa kecil yang keras sebagai “senjata” dan tumbuh di camp militer untuk berperang, Violet tumbuh besar dengan kekurangan dalam mengolah atau memiliki emosi. Ia mungkin bahkan tidak merasakan apapun, Ia hanya bertindak sesuai perintah layaknya robot yang sudah patuh sesuai “programnya”.
Ia juga mengalami kesulitan untuk memahami sisi humanisnya meski Gilbert telah mengusahkan yang terbaik untuk menjadi pembimbing Violet. Memberikannya nama layaknya ‘seseorang’, kemudian meninggalkan wasiat yang menjamin masa depan Violet setelah perang.
Bahkan setelah menjadi seorang ‘Doll’, Violet masih berjalan sesuai dengan “program”, yaitu program baru sebagai seorang ‘Doll’ yang selalui siap untuk melayani siapapun yang meminta jasanya untuk menulis surat.
Dalam serialnya, kita akan dibawa dalam sebuah perjalanan Violet untuk belajar menjadi manusia yang sesungguhnya. Melalui setiap surat yang Ia tulis, Violet mempelajari berbagai definisi ‘cinta’ yang universal. Dimulai dengan motivasi untuk menuntaskan pekerjaan, perasaan Violet semakin berkembang untuk memahami perasaan dari setiap client-nya, hingga akhirnya muncul keinginan membantu yang tulus sebagai sesama manusia.
Hingga pada akhirnya, menjadi seorang Auto Memory Doll terbaik di Leiden menjadi identitas Violet Evergarden, menjadi jati dirinya. Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa impian Gilbert Bougainvillea untuk Violet telah terpenuhi. Pada akhirnya juga, anime ini memang seharusnya berpusat pada pengembangan karakter seorang Violet Evergarden. Dari seorang mantan prajurit yang diperlakukan sebagai “senjata”, hingga seorang penulis surat terkenal yang mampu menentukan jalannya sendiri.
Bagaimana “Violet Evergarden the Movie” Meruntuhkan Penokohan Violet yang Telah Dibangun Selama ini?
(Spoiler Alert!)
Memasuki babak utama, kita akan melihat Violet Evergarden yang tampaknya semakin sukses sebagai ‘Doll’ terbaik dengan tanggung jawab besar dalam sebuah perayaan besar di Leiden. Namun, dengan segala kesuksesan yang telah mewarnai karirnya, Violet tampak masih tidak bisa sepenuhnya bahagia karena masih terus dihantui oleh berbagai kenangannya bersama Mayor Gilbert. Ia masih berharap bahwa orang yang Ia cintai tersebut masih hidup di suatu tempat. Dan benar saja, kita akan mulai diperlihatkan oleh kenyataan bahwa Mayor Gilbert masih hidup di bagian negara yang lain.
Tak semudah itu keduanya dipertemukan, “Violet Evergarden the Movie” memiliki perkembangan plot yang lambat. Kemudian ada beberapa side plot yang ditambah untuk melengkapi film secara keseluruhan. Kita akan diajak mengingat kembali salah satu client lama Violet, kemudian client terbaru (mungkin juga yang terakhir) yang tak terelakkan, berhasil menyuguhkan kisah yang mengharukan.
Namun, fakta bahwa Gilbert masih hidup, justru menarik penokohan Violet pada titik nol lagi, yaitu sebagai gadis rapuh yang hanya menuruti perintah Gilbert. Ia bahkan masih memanggil Gilbert sebagai Mayor, dan memang cukup sulit untuk melihat Violet memanggil Gilbert dengan namanya saja, apalagi sebagai pasangan dengan perasaan yang sifatnya romantis.
Bagi kita yang mengikuti kisah Violet secara lengkap, harusnya masih teringat pesan dari Gilbert untuk Violet yang paling penting;
“You have to live, Violet. You have to live, be free. From the bottom of my heart, I love you”
Itu adalah kata terakhir terindah dan sudah sangat tepat untuk mengakhiri kisah Violet dan Gilbert yang tragis, dalam medan perang. Kehilangan orang yang dicintai dalam perang seharusnya sudah semacam kematian yang “normal”. Dimana penonton harusnya mampu menikmati keindahan dalam tragedi yang meninggalkan perasaan pahit dan melankolis.
Satu lagi poin paling penting dalam pesan tersebut adalah ‘be free’, Gilbert mengharapkan Violet hidup dengan bebas, dari awal Gilbert tidak memiliki perasaan cinta yang posesif pada Violet. Bertolak belakang dengan ungkapan Gilbert pada film terakhir ini yang tiba-tiba ingin mendekap Violet Evergarden.
Maksudnya mungkin kisah ini ingin membawa pada kesimpulan akhir bahwa, dengan segala kesuksesan yang telah diraih oleh Violet, hanya Gilbert yang mampu memberikan kebahagiaan padanya. Hingga Ia akhirnya rela pensiun sebagai seorang ‘Doll’ pada usia yang sangat muda.
“Violet Evergarden” pada awalnya telah menyuguhkan materi lebih dari sekedar drama cinta yang eros, namun cinta yang universal, serta portrait penuh harapan untuk seseorang dengan masa lalu kelam juga bisa memiliki masa depan yang cerah.
Pada akhirnya, “Violet Evergarden the Movie” mungkin telah memberikan apa yang selama ini diharapkan oleh penggemarnya, akhir bahagia bagi Violet dan Gilbert.
Namun, jika kita mau menilik lagi esensi dari perkembangan karakter Violet sebagai bintang utama, film ini tak lebih dari sekedar “fanservice” yang meruntuhkan penokohan Violet yang telah dibangun selama ini.