Seperti halnya di Jepang, industri musik di China memiliki keunikannya sendiri. China berhasil memerangi pembajakan musik yang begitu buruk dalam kurun waktu kurang dari satu dekade. Pada 2010, 97.5% musik yang didengar adalah hasil bajakan. Angkanya berubah drastis pada 2017 dengan 70% penikmat musik menikmatinya secara legal. Ini menjadikan industri musik streaming di China mampu menangguk profit tidak sedikit. Berbeda dengan Spotify yang baru meraih profit tahun ini dan Apple Music yang memilih membangun basis komunitas pengguna layanan Apple. Bagaimana China melakukannya?
China masuk ke dalam 10 besar pasar musik dunia. Dengan populasi yang empat kali jumlah penduduk Amerika, China dianggap sebagai pasar musik yang potensial. Para penyedia jasa musik streaming tentu menelan ludah untuk memperluas pasarnya sampai ke China. Tetapi itu tak akan mudah dilakukan. Pasalnya, China telah memiliki penyedia jasa musik streaming-nya sendiri. Pemainnya pun banyak, tak hanya satu dua nama saja. Nama terbesar adalah Tencent Music.
Tencent adalah perusahaan di bidang internet terbesar keenam di dunia. Tak hanya musik, perusahaan ini juga bergerak di bidang games. Tencent Music sendiri membeli saham dari beberapa perusahaan musik streaming lainnya seperti Kuwo, KuGou, dan QQ Music. Masih ada pula nama lain seperti Xami, NetEase, Alibaba, dan Baidu. Baidu adalah mesin pencari asal China dan dulu konsumen cukup mencari musik bajakan melalui Baidu. Ketersediaan musik secara gratis itu membuat masyarakat tidak berpikir untuk membayar. Saat itu hampir tak ada industri musik digital di China.
Tencent Music lalu membuat terobosan dengan bekerja sama pada beberapa perusahaan distributor musik secara eksklusif seperti Sony, Warner, JVR, Linfair, dan Believe Digital. Lalu Tencent Music juga mendorong para seniman agar mengajak penggemar membeli karya mereka secara legal. Terakhir, Tencent Music memegang hak rilis karya eksklusif beberapa seniman selama penggemar mau membayar lebih di luar biaya berlangganan. Ketiga taktik ini berhasil. Sebagai contoh adalah album eksklusif Big Bang yang terjual enam juta kopi. Di luar itu, para subscriber juga dapat mengumpulkan poin yang digunakan untuk mendapatkan tiket konser atau hadiah lainnya.
Seluruh subscriber itu dapat memiliki tiga jenis pembayaran yaitu 8, 12, dan 15 yuan. Strategi ini penting diterapkan karena pendengar musik di China dapat diklasifikasikan berdasarkan status sosio ekonominya. Status sosial tinggi dengan penghasilan rata-rata 33 ribu dolar pertahun mendengarkan musik 19 jam per minggu. Jumlahnya menurun sesuai dengan tingkat pendapatan. Status sosial menengah mendengarkan musik 16 jam per minggu sementara status sosial rendah mendengarkan musik selama 12 jam. Hasil ini tidak mengejutkan karena tentunya masyarakat yang memiliki pendapatan rendah tidak menganggap mendengarkan musik secara streaming sebagai prioritas.
Namun, apakah para penyedia jasa musik streaming di China tidak takut bersaing dengan pemain dari luar? Vice President Tencent Music, Andy Ng, mengaku tidak. Menurutnya kekuatan Tencent ada pada lokalitas konten. Ada banyak seniman yang tidak tergabung dengan agensi tertentu. Pemain dari luar tentu tidak mengetahui mereka atau kalaupun tahu, tidak memiliki koneksi untuk mendekati para seniman itu. Sebaliknya Tencent dengan mudah dapat menawarkan kerja sama kepada para seniman lokal. Ia juga percaya kultur dari penggunaan aplikasi oleh orang China akan berbeda dengan orang luar. Tencent tentu memiliki kekuatan untuk membuat aplikasinya user-friendly khusus bagi masyarakat China.
Andy memberi contoh ketika mereka merilis Joox di luar China. Joox mungkin cukup sukses soal jumlah pengguna tetapi tidak menghasilkan cukup uang. Ini karena kondisi industri musik digital di tiap negara berbeda. Misalnya Hong Kong yang penduduknya hanya enam juta orang tetapi ada banyak sekali pilihan penyedia jasa musik streaming. Sulit bagi Joox mendapatkan “potongan” lebih banyak bila kue yang tersedia berukuran kecil. Lagi-lagi, unsur lokalitas lah yang berperan. Seperti pula di Jepang ketika penyedia jasa musik streaming tidak meraih kesuksesan karena orang-orangnya lebih suka membeli album dalam bentuk fisik.
NetEase, penyedia jasa musik streaming lain dari China, memiliki 400 juta pengguna. Salah satu kunci kesuksesannya adalah interaksi antar pengguna. Tiap pengguna dapat menuliskan komentar mereka mengenai sebuah lagu yang mereka dengar. Berbeda dengan Spotify yang bertindak seperti gate keeper dan aktif menawarkan musik hasil kurasinya, NetEase sepenuhnya user-generated. Tiap individu memiliki algoritmanya masing-masing berdasarkan lagu yang disukai. Pengguna lebih bebas dalam menentukan selera.
Kini China berpikir maju ke depan dengan tidak hanya mengembangkan jasa musik streamingnya untuk menjadi lebih kokoh. China juga berpikir untuk menawarkan musik tradisionalnya ke kancah global. Tencent Music tak hanya merilis lagu-lagu tersebut melalui aplikasinya tetapi juga melepasnya ke pasar internasional. Keputusan ini diambil karena industrik musik China yang dianggap telah bertumbuh dan berkembang pesat sehingga sudah saatnya mengambil langkah lain.
Andy mengatakan setelah industri musik benar-benar stabil, ia akan membebaskan pihak-pihak yang memiliki kontrak eksklusif dengan Tencent Music. Mereka boleh melanjutkan kerjasama atau melepas kontrak eksklusif tersebut. Menurutnya alasan kenapa Tencent Music mampu memikat banyak partner adalah keberhasilan strategi marketing mereka dalam mendukung penjualan musik para seniman. Namun kritikan masih muncul terhadap industri musik digital di China. Isunya sama dengan industri musik di negara lain yaitu kurangnya apresiasi terhadap penulis lagu.