Tilik merupakan film pendek dari Yogyakarta yang baru-baru ini sedang viral. Disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo, film ini telah memenangkan penghargaan Maya Award of Best Short Film. Tilik diunggah di channel YouTube Ravacana Film pada 22 Agustus 2020 kemarin dan langsung mengundang banyak perhatian dari para netizen lokal, hingga trending di social media.
Sesuai dengan judulnya, ‘tilik’ yang dalam bahasa Jawa artinya ‘menjenguk’, film ini bercerita tentang sekumpulan ibu-ibu yang hendak menjenguk ibu Lurah. Sepanjang perjalanan, Bu Tejo mulai bergosip tentang seorang bunga desa yang bernama Dian. Namun Yu Ning yang masih kerabat dari Dian, mencoba untuk membela karena baginya tak cukup hanya menuduh orang melalui informasi dari internet atau media sosial.
Produksi yang Sempurna Secara Teknis
Tilik memiliki produksi film yang sangat profesional dan dieksekusi dengan baik. Mulai dari casting, sinematografi, hingga properti. Visual film ini didominasi dengan warna-warna terang yang panas, membuat kita merasakan gerah yang dialami ibu-ibu sepanjang perjalanan di atas truk. Melibatkan banyak pemeran pendukung dengan beberapa pemeran utama, setiap karakter mengenakan wardrobe warna-warni yang pas.
Film pendek ini didominasi dengan adegan yang sama; ibu-ibu berinteraksi di atas truk. Jauh dari kata bosan, sangat seru menyimak ibu-ibu ini bergosip dengan asyiknya. Terima kasih pada editing yang tepat, jadi kita tak akan selalu mendengar suara ibu-ibu dengan suara yang nyaring dan bernada tinggi. Ada transisi yang lembut dan tidak patah pada beberapa bagian. Diselingi dengan pemandangan hutan yang hijau dan belokan dengan suara para aktor yang diberi efek fade out.
Ibarat truk adalah panggung, staging setiap karakter juga berubah-ubah agar tidak monoton. Ada pula beberapa adegan seperti peran pendukung yang mabuk darat hingga menunduk ketika ada polisi sebagai aksen dalam staging di atas truk tersebut. Sound mixing-nya juga bagus dan diatur dengan profesional. Meski syuting dilakukan di jalan besar, tak ada suara mobil motor yang mengganggu, namun tetap diatur agar ambience sound-nya tetap natural.
Untuk sebuah film pendek, kita bisa melihat usaha maksimal dari produksi ini untuk memanfaatkan kesempatan mengeksekusi film yang sekalian sempurna secara teknis.
Stereotip Ibu-Ibu yang Diolah Menjadi Materi Naskah Menarik
Tilik berhasil menyajikan stereotip ibu-ibu yang sudah sangat melekat menyebalkannya pada persepsi kita; tukang gosip, judgmental hanya karena melihat internet, dan punya imajinasi yang liar. Karakter dominan dalam kisah ini Ibu Tejo yang dari awal mulutnya pandai sekali menggiring ibu-ibu lain untuk membenci Dian.
Siti Fauziah yang memerankan karakter Bu Tejo berhasil membuat jagad internet gregetan dengan peran yang Ia bawakan. Dari awal film, karakter Bu Tejo akan langsung mencuri perhatian. Meski perhatian dalam bentuk kebencian, but hey, she’s got your attention. Sebagai penikmat film yang beradab, kita seharusnya memberikan apresiasi akan kualitas akting dari Siti.
Di lain sisi juga ada karakter lain seperti Yu Ning yang membela Dian karena masih kerabatnya sendiri. Bu Tejo dan Yu Ning menjadi dua karakter utama yang memberikan interaksi dinamis dalam dialog ini. Seperti sebuah perdebatan yang “cerdas”, keduanya selalu memiliki statement untuk menyanggah dan membuat dialog terus berjalan terarah. Tidak asal menggosip tanpa juntrungan.
Semua cast dalam film ini, baik pemeran utama maupun pemeran pendukung berhasil mengeksekusi dialog dan interaksi yang otentik. Dibawakan dalam bahasa Jawa, interaksi yang terjadi semakin terasa natural. Ada sentuhan humor yang menghibur terasa dalam film Tilik, terutama buat kita yang paham Bahasa Jawa.
Afirmasi Pada Epilog yang Mengkhianati Penonton
(Warning: spoiler alert) Mulai dari awal hingga akhir film, Tilik merupakan film pendek yang sempurna. Sayangnya, ada bagian epilog yang “mengkhianati” penonton. Kita semua pasti berharap semua tuduhan yang dilontarkan Bu Tejo pada Dian tidak terbukti dan fitnah belaka. Memberikan pesan bahwa kita tidak boleh menjudge orang hanya melalui asumsi dan postingan media sosial yang tidak memberikan banyak informasi. Nyatanya, memang banyak orang-orang menyebalkan di luar sana yang hanya iri pada kecantikan atau kesuksesan orang lain kemudian menyebar fitnah dari asumsi yang dihiperbola.
Sayangnya, pada bagian epilog kita harus menerima kenyataan bahwa tuduhan Bu Tejo benar adanya. Jadi terasa mengganjal dan mematahkan setiap harapan kita akan pesan yang hendak disampaikan dalam film ini; bahwa kita tidak boleh membicarakan hal buruk di belakang orang tanpa bukti nyata. Setidaknya pesan itu yang menjadi ekspektasi kita dari awal film.