Connect with us
The Woman King
Sony Pictures

Film

The Woman King Review: Viola Davis Tampil Tangguh sebagai Jenderal Nanisca

Angkat isu pemberdayaan wanita, perbudakaan, dan ketangguhan personal.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“The Woman King” adalah film drama-adventure dengan muatan sejarah Afrika rilisan 2022 dari sutradara Gina Prince-Bythewood. Dibintangi oleh Viola Davis, Thuso Mbedu, Lashana Lynch, dan John Boyega. Berlatar pada 1823, Dahomey adalah suatu wilayah kerajaan di Afrika Barat, dipimpin oleh King Ghezo dari Kerjaan Oyo.

Kerjaannya dilindungi oleh pasukan spesial dengan perempuan-perempuan tangguh sebagai pasukan Agojie, yang dipimpin oleh Jenderal Nanisca. Kerajaan Oyo menghadapi tantangan ketika negeri barat mendukung perbudakan yang diyakini mampu menjadi jalan tengah kesejahteraan mereka.

Woman King

Kisah Jenderal Nanisca sebagai Kstaria Wanita Tangguh

Film ini hadir dengan latar yang cukup rumit dan banyak sub-plot-nya, namun dari judulnya, banyak dari kita jelas berasumsi film ini fokus pada Jenderal Nanisca, yang dibintangi oleh Viola Davis. Kisah dimulai sebelum ia merangkul gelar tersebut, jadi ini adalah kisah Nanisca dalam memperjuangkan kaumnya, menunjukan ketangguhanya, dan kemudian kita asumsikan dinobatkan sebagai The Woman King.

Naskah menjunjung Nanisca sebagai bintang utama dalam kisah ini. Penampilan akting Viola Davis juga sangat berkualitas, ia selalu dikenal oleh penikmat sinema sebagai sosok wanita Afrika-Amerika dengan aura yang kuat, berani, dan kharismatik. Oleh karena itu casting-nya sudah tepat sekali jatuh pada Davis sebagai Jenderal Nanisca.

Tak hanya Viola Davis, mayoritas aktris yang berperan sebagai pasukan Agojie memiliki penampilan yang memikat dalam setiap adegan. “The Woman King” secara keseluruhan kisah yang hendak memberikan spotlight pada Agojie dan Jenderal Nanisca. Nilai-nilai pemberdayaan wanita-nya sudah dapat, terutama bagaimana wanita di sini tampil sebagai sosok yang kuat secara fisik dan pasukan yang mampu bertarung. Ketika raja pria mereka duduk di tahta dengan nyaman dan kekuasaan yang tida menentu.

Hal ini membuat naskah “The Woman King” sedikit bias dan hanya fokus mengagungkan karakter-karakter Agojie, kemudian lupa memberikan layer penokohan yang seharusnya juga bisa memikat pada karakter-karakter pendukung lainnya.

The Woman King

Koreografi Perang dan Pertarungan yang Brutal

Sebagai film tentang pasukan wanita terkuat di Afrika, presentasi pertarungan dan perang pastinya harus dieksekusi dengan maksimal, hal tersebut berhasil dipresentasikan oleh “The Woman King”. Langsung ditunjukan pada adegan pembuka yang riuh dan brutal oleh pasukan Agojie. Didominasi dengan pertarungan menggunakan parang yang lebih sadis daripada senapan api.

Setiap aktris tampil menyakinkan dan garang dalam setiap adegan bertarung mereka. Namun jeda antara adegan laga sepanjang film memiliki jeda yang cukup panjang. Sementara adegan konspirasi, drama, dan intrik kerajaan dalam “The Woman King” terasa lemah dan masih kurang dieksplorasi. Padahal durasi film ini mencapai dua jam. Terlalu fokus pada adegan berlatih dan interaksi sisterhood antara Agojie yang tidak terlalu memikat secara emosional.

The Woman King

Banyak Sub-Plot yang Tidak Merangkai Narasi Fokus

Sebetulnya “The Woman King” menjadi film drama bermuatan sejarah yang padat dan berkualitas jika naskahnya lebih fokus. Seperti bagaimana “Gladiator” (2000) fokus pada Maximus dan “Henry V” (1989) fokus pada Pangeran Henry V. Bagaimana kedua film tersebut menggunakan protagonisnya untuk menggiring plot dari awal hingga akhir film.

Namun “The Woman King” jelas menjadikan Nanisca sebagai bintang utamanya, kisahnya sebagai jenderal wanita pemimpin Agojie. Namun terlihat bagaimana penulis naskah memiliki banyak hal untuk ditunjukan, dan tidak merangkai semuanya sebagai satu plot yang saling berkesinambungan.

Raja Ghezo memiliki masalahnya sendiri, Nawi memiliki perjuangannya sendiri, lalu ada Malik, pria berdarah campuran dari tanah penjajah. Musuh besar Nanisca bahkan tidak mendapatkan spotlight yang pantas untuk menjadi tandingan proagonis. Terlalu banyak sub-plot yang membuat “The Woman King” tidak memiliki plot yang padat, fokus, dan memikat.

Secara keseluruhan, tampaknya banyak media terlalu terpesona dengan kharisma Nanisca yang diperankan oleh Viola Davis dengan bagus. Serta presentasi pasukan Agojie yang semarak, apalagi pada era Black Pride di Hollywood beberapa tahun belakangan. “The Woman King” cukup menghibur, namun tidak luput dari banyak kekurangan dalam naskahnya. “The Woman King” sudah bisa di-streaming di netflix.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect