Connect with us
The Whisperers

Film

The Whisperers: Menerima Kerentanan Sebagai Perempuan Renta dalam Masa Krisis

Alih-alih menunjukkan ketegaran, film ini mengingatkan tekanan dan diskriminasi terhadap perempuan.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Salah satu film klasik dalam genre drama hasil adaptasi novel karya Robert Nicolson yang patut ditonton adalah “The Whisperers” (1967). Film ini diarahkan oleh Bryan Forbes dan diproduksi oleh Seven Pines.

Dengan visual yang masih monokrom, film ini berlatar di Inggris pada masa krisis ekonomi di tahun yang sama. Tokoh utama dibintangi oleh Edith Evans sebagai Mrs. Margaret Ross. Kesuksesan film ini membawanya kepada beragam penghargaan, termasuk Edith sendiri sebagai best actress di BAFTA dan Golden Globe.

Mrs. Ross adalah seorang perempuan berusia lanjut yang berada dalam kondisi keuangan yang buruk sepeninggal suaminya. Ia menggunakan segala cara agar dapat bertahan dari hari ke hari, termasuk mengarang surat dari suami dan ayahnya agar mendapatkan bantuan dari pemerintah Inggris. Di tengah kesulitannya, anaknya yang bernama Charlie datang dengan lagak yang mencurigakan.

Nasib Mrs. Ross mulai berubah ketika ia menemukan beberapa uang dalam jumlah cukup banyak yang disembunyikan oleh Charlie ketika mengunjunginya. Nasibnya sempat membaik, tetapi musibah juga mengikutinya. Ia ditipu oleh teman barunya sehingga harus dirawat di rumah sakit. Suaminya, Archie Ross, sempat mendampingi kembali istrinya. Akan tetapi, ia justru memanfaatkan kekayaan istrinya dan meninggalkannya lagi. Mrs. Ross kembali menjadi sosok perempuan tua yang kesepian dan mengganggap dinding-dinding rumahnya berbisik kepadanya.

Dari sudut pandang masa kini, “The Whisperers” termasuk film klasik yang masih patut diperhitungkan. Dengan alur yang sederhana, film ini menampilkan kondisi masyarakat di Inggris pada masa krisis. Sekuen cerita yang dihadirkan dalam film klasik ini cukup rapi untuk produksi dari tahun 1960-an, tetapi terlalu detail pada adegan-adegan yang seharusnya cukup ditampilkan secara singkat. Fokus cerita juga terlalu lama beralih ke masalah sang suami sebelum akhirnya membahas konfrontasi akhir Mrs. Ross dengan pihak berwenang.

Sutradara juga memberikan perhatian khusus terhadap latar untuk mendukung suasana cerita. Lingkungan perumahan tempat Mrs. Ross tinggal yang setengah hancur dan gersang menggambarkan status sosialnya yang berada di kalangan menengah ke bawah. Rumah Mrs. Ross ikut berubah dari berantakan menjadi rapi sejak nasibnya semakin membaik.

Secara moralitas, film ini masih berpegang kepada standar masyarakat terhadap perempuan yang akan bernasib baik jika memiliki suami dan anak. Mrs. Ross menjadi simbol atas nasib buruknya sebagai janda tua. Archie mampu menghilangkan rasa sepi dalam benak Mrs. Ross, tetapi ia juga tidak terkejut karena telah mengenal kebiasaan buruk suaminya. Di sisi lain, Charlie mampu mematahkan perasaan tegar Mrs. Ross akibat kerinduannya sebagai seorang ibu. Kelebihan film ini justru terlihat dengan menunjukkan secara realistis bahwa orang-orang bisa datang dan pergi begitu saja.

Edith berhasil menyajikan sosok Mrs. Ross sebagai janda tua yang mencoba bertahan semampunya. Tidak banyak aktris yang mampu memerankan tokoh perempuan tua dengan tidak berlebihan. Edith seolah menyadari karakter Mrs. Ross yang tidak sepenuhnya lemah secara fisik, tetapi suara dan mimik wajahnya mampu dieksplorasi secara lebih maksimal untuk menggambarkan sosok janda yang putus asa karena tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki keluarga, dan dipandang rendah.

Interaksi Mrs. Ross dengan orang sekitar tidak hanya memperlihatkan diskriminasi yang dialaminya, tetapi juga memberikan petunjuk atas karakternya. Ia tidak diacuhkan oleh petugas yang seharusnya melayani keluhannya. Ia pergi ke perpustakaan untuk menghibur diri, tetapi justru diremehkan oleh pegawai di sana. Ia juga ditertawakan ketika ikut berseru di gereja. Berbagai pengalaman tersebut membentuk sikapnya yang ketakutan dan skeptis. Seluruh sekuen cerita tersebut seolah menyadarkan penyebab di balik sifatnya sebagai nenek-nenek yang mudah terusik dan penuh curiga.

Mrs. Ross baru mengalami perkembangan karakter yang signifikan ketika menemukan uang milik Charlie. Seperti halnya seseorang yang tiba-tiba menjadi kaya, ia berubah menjadi periang, histeris, memanjakan dirinya sendiri, tetapi tetap bersikap skeptis. Edith sempat menyajikannya dengan sedikit berlebihan, tetapi cukup untuk menimbulkan kesan yang dramatis.

Meskipun terdapat adegan Mrs. Ross yang rutin pergi di gereja, kehadiran agama tidak memberikan pembelaan yang berarti dalam konflik dan diskriminasi yang dialaminya. Gereja hanya berdiri sebagai formalitas. Alih-alih menunjukkan sosok yang lebih tegar setelah mengalami katarsis, Mrs. Ross justru menjadi semakin lemah dan tidak berdaya. Kisahnya berakhir sebagai sosok di awal cerita yang tenggelam dalam halusinasinya. Film ini justru menunjukkan tekanan terhadap perempuan dapat diwajarkan begitu saja pada masa tersebut, baik oleh laki-laki maupun sesama perempuan.

Kritik dalam film ini menyasar kondisi lingkungan yang tidak aman bagi masyarakat berusia lanjut, terutama perempuan. Film ini layak menjadi pengingat tentang rentannya posisi perempuan dalam diskriminasi masyarakat di masa lampau. Kinerja lembaga pemerintah juga dirasa kurang efektif dalam mendukung masyarakat untuk menghadapi krisis.

“The Whisperers” berpotensi mendapatkan remake dengan visual yang lebih baik dan cerita yang lebih kritis terhadap rentannya perempuan dalam masa krisis. Film ini juga dapat terhubung dengan mudah terhadap kondisi masyarakat saat ini, terutama ketika Inggris kembali mengalami krisis ekonomi yang hampir serupa di tahun ini.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect