Quantcast
The Last of the Mohicans: Jejak Terakhir di Lembah Hudson - Cultura
Connect with us
Late Spring Movie
The Last of the Mohicans (1992)
Photo Cr. 20th Century Fox

Film

The Last of the Mohicans: Jejak Terakhir di Lembah Hudson

Puisi layar lebar tentang kehilangan dan keteguhan.

Dari celah lembah-lembah hijau di pedalaman New York abad ke-18, layar sinema menampilkan dunia yang keras dan puitis dalam “The Last of the Mohicans” (1992). Diangkat dari novel klasik James Fenimore Cooper, film ini menjelma bukan sekadar kisah perang atau petualangan di hutan belantara, tapi elegi tentang peradaban yang surut dan cinta yang terjalin dalam badai sejarah.

Michael Mann, sutradara yang lebih dikenal lewat film noir-modern seperti “Heat” (1995) dan “Collateral” (2004), justru mengejutkan publik dengan memanggungkan drama sejarah ini dengan sensitivitas dan sinematografi yang nyaris meditatif. Di tangannya, “The Last of the Mohicans” menjadi film epik yang menggugah, menyandingkan aksi berdarah dengan keindahan alam dan bisu tragis masa lalu Amerika yang tersapu zaman.

Kisah berpusat pada Nathaniel Poe—atau “Hawkeye”—yang diperankan dengan penuh tenaga oleh Daniel Day-Lewis. Ia adalah seorang pria kulit putih yang dibesarkan oleh suku Mohican, hidup bersama ayah angkatnya Chingachgook (Russell Means) dan saudara angkatnya Uncas (Eric Schweig). Di tengah Perang Prancis dan Indian (1757), tiga pria ini terseret dalam konflik antara dua kekuatan kolonial: Inggris dan Prancis, serta pertikaian antarsuku yang dilibatkan dalam perebutan tanah dan pengaruh.

Mann tak sekadar menampilkan pertempuran dan intrik militer. Ia menyelipkan kisah cinta antara Hawkeye dan Cora Munro (Madeleine Stowe), putri seorang kolonel Inggris. Cinta yang tumbuh dalam pelarian dari pasukan pembunuh suku Huron itu, terasa seperti bara kecil di tengah hutan yang terbakar. Sunyi, tegang, dan membakar pelan-pelan.

Daya tarik film ini justru terletak pada pertemuan antara kebudayaan. Hawkeye hidup di antara dua dunia—Eropa dan pribumi. Ia tak sepenuhnya Mohican, tapi juga bukan Inggris. Dilema identitas ini menjadikannya jembatan antarperadaban. Dalam dialognya yang tenang namun tajam, kita mendengar kritik halus terhadap kolonialisme, kerakusan manusia atas tanah, dan tatanan dunia yang berubah dengan senapan dan traktat.

Kehadiran tokoh Magua (Wes Studi), pemimpin suku Huron yang menyimpan dendam mendalam terhadap Inggris, menambah kedalaman moral film ini. Magua bukan penjahat kartun. Ia penuh luka, dan kemarahannya mencerminkan trauma kolektif suku-suku asli yang dihancurkan oleh kekuatan asing. Dalam satu adegan, ia berkata bahwa anak-anaknya telah “diambil dari tubuh istrinya oleh perwira Inggris”, lalu bersumpah akan membalas dendam dengan cara yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang kehilangan segalanya.

Selain kekuatan narasi dan karakter, “The Last of the Mohicans” berdiri megah karena penggarapan visual dan audionya. Kamera Dante Spinotti menangkap alam dengan sentuhan nyaris religius. Setiap tembakan panah, derap kaki di hutan, atau teriakan perang, dirajut dalam lanskap yang membungkam. Sungai mengalir tenang, hutan lebat mengintai, dan langit senja membisikkan elegi tentang kebudayaan yang akan segera punah.

Tapi mahakarya ini tak akan lengkap tanpa menyebutkan satu aspek yang menjadikannya abadi: soundtrack-nya. Musik utama karya Trevor Jones dan Randy Edelman menjadi identitas film ini yang tak tergantikan. Komposisi “Promentory”, adaptasi dari lagu tradisional Skotlandia The Gael, menjelma jadi nyawa yang memompa emosi sepanjang film. Gubahan itu mengalir seperti arus sungai yang mengantar kita menuju klimaks.

Ketika musik itu mulai mengalun dalam adegan pelarian di tebing-tebing gunung dan pertarungan terakhir, rasanya seperti ditarik oleh kekuatan purba. Ia bukan sekadar latar suara—melainkan alunan yang menyatu dengan gerak tubuh, alam, dan takdir. Tak mengherankan jika sampai hari ini, potongan “Promentory” tetap digunakan dalam berbagai kompetisi atletik, video motivasi, hingga acara seremoni. Musik itu menandai momen ketika manusia berdiri di hadapan takdir, dan memilih bertahan.

Film ini tidak menawarkan akhir bahagia dalam pengertian konvensional. Dalam adegan terakhir, Hawkeye dan Chingachgook berdiri di tebing, menyaksikan dunia yang perlahan menghapus jejak mereka. “Aku adalah yang terakhir dari Mohican,” kata Chingachgook, dalam satu kalimat yang menyayat. Ini bukan kemenangan. Ini adalah pengakuan: bahwa zaman mereka telah berakhir.

“The Last of the Mohicans” bukan hanya film sejarah. Ia adalah puisi layar lebar tentang kehilangan dan keteguhan. Ia berbicara tentang manusia-manusia yang terjepit di antara impian kolonial dan kehancuran budaya lokal. Dalam konteks hari ini, film ini seolah mengajak kita kembali menimbang harga dari kemajuan yang melupakan akar.

Film ini juga menyiratkan ironi yang tak habis direnungi: bahwa di tengah perang untuk tanah dan kekuasaan, justru tumbuh cinta dan keberanian yang paling tulus. Dan bahwa suara genderang perang akan reda, namun musik yang jujur akan tetap tinggal di hati manusia yang tahu caranya mendengarkan.

Kini, lebih dari tiga dekade sejak perilisannya, “The Last of the Mohicans” tetap relevan. Ia mengajarkan bahwa sejarah bukan hanya perihal pemenang dan pecundang. Tapi tentang manusia, cinta, tanah, dan ingatan yang pelan-pelan digerus zaman. Dan dalam dunia yang terus berubah, barangkali suara The Gael dalam “Promentory” adalah cara kita mengingat: bahwa yang terakhir bukan berarti kalah, melainkan yang bertahan paling lama dalam ingatan.

Catatan: Film ini memenangkan Academy Award untuk Best Sound, dan soundtrack-nya secara konsisten masuk dalam daftar musik film terbaik sepanjang masa.

Late Spring (1949) Late Spring (1949)

Late Spring Review: Potret Liris Tentang Cinta, Pengorbanan, dan Tradisi Jepang

Film

“The Way We Were” dan Hasrat Menoleh ke Belakang

Music

Guru di Tengah Kekacauan

Culture

The Old Guard 2 Review: Sequel yang Kehilangan Nyawa dan Energi

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect