The Boys in the Band merupakan pertunjukan Broadway karya Mart Crowley pada tahun 1968. Kemudian diadaptasi menjadi film layar lebar pertama kali oleh sutradara William Friedkin pada tahun 1970. Kali ini Netflix Original Movie memproduksi ulang The Boys in the dibawahan arahan sutradara Joe Mantello dan Ryan Murphy sebagai produser. Proyek remake film ini hendak dipersembahkan untuk Mart Crowley yang baru saja meninggal pada 7 Maret 2020 lalu.
The Boys in the Band berlatar pada tahun 1968 di New York, dimana sekumpulan pria homoseksual mengadakan pesta ulang tahun di apartemen Michael. Pesta yang awalnya seru dan semarak berubah menjadi canggung ketika teman lama Michael tiba-tiba datang ke apartemennya. Film ini diperankan oleh sederet aktor yang secara terbuka bahwa mereka kaum queer, mulai dari Jim Parsons, Matt Bomer, dan Zachary Quinto. The Boys in the Band sudah streaming di Netflix sejak awal Oktober 2020.
Produksi yang Lebih Modern dan Sederet Aktor yang Lebih Familiar
The Boys in the Band remake terbaru ini pastinya memiliki produksi yang lebih unggul. Film dibuka dengan footage masing-masing karakter yang melakukan rutinitas mereka di New York. Diiringi dengan lagu ‘Hold On I’m Coming’ dari Erma Franklin, mendukung nuansa gaya hidup pria modern, dinamis dan ekspresif yang hendak ditonjolkan pada setiap karakter. Menciptakan nuansa ala chick flick movie namun versi pria metroseksual yang tak kala bergaya.
Apartemen Michael menjadi lokasi utama yang mendominasi screentime. Memiliki setting yang cozy dan semarak dengan dekorasi minim sebagai venue merayakan pesta ulang tahun sederhana Harold. Disematkan juga beberapa adegan flashback dari beberapa karakter. Dieksekusi seperti memori yang dreamy dan tetap didukung latar yang maksimal meski hanya menjadi secuplik footage pelengkap dalam film ini.
Aktor-aktor yang dipilih juga lebih familiar untuk penikmat budaya pop masa kini, terutama buat kita yang tertarik dengan keartistikan film bertema queer. Membuat film The Boys in the Band versi 1970 kembali diingat dan terpublikasikan di era yang lebih ekspresif dan bebas ini.
Sederet Karakter Beragam yang Kaya Penokohan
Pria homoseksual memiliki steriotip tertentu di masyarakat kita; pria flamboyan yang memperhatikan penampilan dan berbicara dengan gaya feminin. Melalui film drama ini, kita akan melihat beragam karakter dengan penokohan yang variatif beserta latar belakang masing-masing yang menarik. Mulai dari Donald yang kalem, Emory yang lucu dan ceria, Alan yang sama sekali jauh dari steriotip pria gay, hingga Harold yang dramatis dan kharismatik, serta masih ada beberapa karakter lainnya yang berbeda satu sama lain.
Masing-masing karakter merupakan representasi dari setiap pria homoseksual yang sebenarnya, yang masih relevan hingga saat ini. Contohnya saja Hank yang memiliki istri dan menyembunyikan orientasi seksualnya, hingga Michael yang masih mengalami kesulitan mencintai diri sendiri karena jati dirinya.
Setiap aktor juga memberikan penampilan terbaiknya untuk menghidupkan masing-masing peran. Cukup dramatis namun sesuai dengan latar belakang naskah yang merupakan pertunjukan Broadway. Beberapa karakter memiliki chemistry yang cuku menarik. Tak hanya hubungan cinta sesama jenis, mereka juga memiliki hubungan persahabatan yang saling menguatkan.
Tipikal Film Berlatar di Satu Tempat Dengan Sesi Dialog Menarik
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lokasi film ini sebagian besar adalah di apartemen Michael. Meski berlokasi di satu tempat, ada berbagai babak dengan adegan menarik dan dialog yang tidak membosankan. Keberagaman karakter yang disajikan menjadi bekal dari perkembangan interkasi yang dinamis dengan pergantian mood yang tepat. Ada saatnya adegan pesta yang santai dan murni bersenang-senang saja ditampilkan dengan ceria. Menunjukan kebebasan berekspresi dan bagaimana setiap karakter bisa sejenak menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dihakimi. Ditambah sentuhan humor dari karakter Emory yang lucu.
Kemudian ada bagian pesta menjadi canggung, runyam, hingga emosional. Beberapa karakter memiliki pemahaman dan prinsip yang berbeda, hal tersebut juga menambah konten untuk dialog dan perkembangan hubungan antara beberapa karakter. Hanya saja, kita bisa merasakan sutradara berusaha menghidupkan nuansa melankolis dan kegelisahan pada babak terakhir, emosi tersebut tidak terlalu mempengaruhi emosi penonton.
Secara keseluruhan, The Boys in the Band versi Netflix merupakan film terbaru yang patut kita tonton. Terutama buat yang belum familiar dengan versi lamanya. Film ini akan sangat menghibur bagi penonton yang open minded dan tidak canggung dengan konten film queer, karena film ini mengeksplorasi kehidupan dan latar belakang setiap karakter sebagai pria homoseksual. Cocok juga buat penonton yang menikmati film padat dialog seperti The Breakfast Club (1985) atau Tape (2001).