The Armed meluncur dengan full album keempat, ‘ULTRAPOP’ yang memporakporandakan persepsi akan musik ‘heavy’ rock dan pop. Menggandeng tak kurang dari 19 orang musisi, ‘ULTRAPOP’ memiliki berbagai layer musikalitas dengan konsep abstrak.
Bagi sebagian besar musisi—serta penggemar musik heavy rock, pop seolah sebuah kata “kotor.” Musik pop dianggap mainstream dan tidak “layak” berada di koridor sama dengan rock. Nampak bagaimana pop-rock atau alt-pop nyaris tidak dianggap bagian dalam genre musik ini.
The Armed mengaburkan persepsi dan batas mengenai pop dan rock. Dimulai dari judul album ‘ULTRAPOP’ hingga konsep foto layaknya peragaan busana high fashion: sangat bernafaskan mainstream pop. Band yang awalnya hadir secara anonim ini pun tidak segan memasang label genre ultrapop untuk rilisannya.
Seperti diungkap oleh band tersebut sendiri, album ini merupakan, “pemberontakan terbuka atas ekspektasi kultur pada ‘heavy’ musik.”
Track pembuka, “Ultrapop” langsung menggenapkan pernyataan tersebut. The Armed menggarap track ini dengan intensitas tinggi. Sonic dissonance dari noise seolah beradu dengan nada serta irama pop nan halus. Perpaduan tidak biasa dan tidak bisa dikotakkan dalam genre pop maupun heavy rock. Bahkan tidak juga untuk genre noise musik. “Ultrapop” adalah sebuah ultra pop.
“All Futures” hadir bersama video musik memperkenalkan masing-masing member The Armed; sekaligus mengakhiri masa-masa anonim mereka. Terdapat 8 orang personil mendapat kredit atas sumbangsih musikalitas mereka—alasan bagaimana lagu-lagu The Armed terdengar masif dengan layer instrumen bertumpang tindih.
Ada Adam Valley menyanyikan tentang kapitalis melalui lirik “sacks of shit” dengan kedua gitaris “all futures—destruction”. Cara Drolshagen menghadirkan chaos tersendiri melalui “yeah yeah yeah yeah,” bersama bodybuilder sekaligus keyboardist Clark Huge menyuntikkan melodic hook. Sang drummer, Urian Hackney, menjadi centerpiece dalam gebukan menggenapkan destruksi.
Title track ini melelahkan untuk didengar. Banyaknya lapisan musikalisasi dengan instrumen saling bertindihan mudah membuat pendengarnya kehabisan energi. Sepertinya The Armed pun menyadari hal ini.
Digarap oleh total 19 orang musisi, tidak mengherankan bila album ini terdengar penuh. Abstrak yang diangkat sebagai konsep musik dan tanpa batasan instrumen memang membuat pendengar mudah kehabisan nafas saat mendengarkan. Untuk itu The Armed menawarkan beberapa bagian track sebagai penyeimbang; menawarkan kesabaran dalam meniti riff gitar atau permainan synth sebelum kembali menggebrak melalui kulikan perkusi atau pekikan kencang sang vokalis.
“A Life So Wonderful” dibuka oleh jagged dan distorted suara gitar ala METZ—menandai lahirnya gitaris Chris Slorach yang saat ini menjadi personil tetap di The Armed. Ben Koller memberi sumbangsih perkusi yang mencekik, sekaligus menjadi highlight menarik dari keseluruhan album.
Track selanjutnya “An Iteration” terdengar seakan art-school dalam bentuk musik. Lagu ini memberi emphasis pada “young white saviors” serta lirik “did it again, did it again, did it again” yang dibawakan berulang-ulang.
“Average Death” menjadi katarsis penyeimbang dengan melodi meditatif. Ketika “Big Shell” justru meraungkan tentang kesedihan dan kehancuran. The Armed mengajak pendengar meniti rangkaian irama panjang dalam slow burn track “Faith In Medication.”
Tiga track dengan keunikan melodi masing-masing namun terdengar saling berkaitan. Berkebalikan dari tempo cepat namun halus pada “Where Man Knows Want”.
Pekikan kencang membuka “Real Folk Blues”. Troy Van Leeuwen dari Queens of the Stone Age hadir sebagai lead gitar. Meski synthesizer mengisi ruang kosong di latar belakang serta pada breakdown.
Lagu penutup “The Music Becomes a Skull” memiliki dinamika sama dengan “Ultrapop.” Berpadu bersama narasi “What a brilliant show/ Now get off/ You have been dethroned.”
The Armed mencampur aduk melodi dan irama dari genre punk, electronica, indie, hardcore, black metal, noise, rock, heavy rock, sampai pop. Tidak ada batasan pada instrumen yang digunakan. Masing-masing personil pun mengerahkan kemampuan serta seluruh energi dalam setiap gebukan drum atau perkusi dan sentakan gitar.
Aransemen tanpa konsep menjadikan setiap lagu seakan tidak beraturan. Masing-masing menghadirkan chaos dalam bentuk dan suara tersendiri.
Uniknya dalam segala kekacauan yang dihadirkan, The Armed membawa ‘ULTRAPOP’ mengalir seakan tanpa hambatan. Beberapa track mungkin memiliki instrumen terlalu rapat dan tumpang tindih hingga sulit didengarkan. Sedangkan lainnya, seperti “Bad Selection” membuat bertanya-tanya apakah masih mendengarkan band yang sama. Mengingat lagu ini seolah cover dari hits The Weeknd.
Produksi maksimalis seperti yang diusung The Armed memang tidak biasa. Tidak semua musisi pun akan berhasil meramu perpaduan berbagai instrumen dan genre untuk tetap menyenangkan didengarkan layaknya ‘ULTRAPOP.’ Untuk itu saja, The Armed layak mendapatkan spotlight lebih di kancah musik mainstream.