Steve Jobs merupakan publik figur, innovator dan businessman, yang menjadi banyak panutan di dunia bisnis teknologi era modern. Setelah meninggal pada 2011 silam karena kanker pankreas, tentu saja Hollywood tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengangkat biopik CEO Apple Inc. ini.
Film biopik Steve Jobs yang pertama adalah “Jobs” pada 2013 arahan Joshua Michael Stern, dibintangi oleh Ashton Kutcher. Namun kali ini kita akan mengulas film biopik Steve Jobs terbaik, “Steve Jobs” yang disutradarai oleh Danny Boyle.
“Steve Jobs” merupakan biopik yang rilis pada 2015, dibintangi oleh Michael Fassbender. Sebelumnya Cultura sudah membahas tentang perbedaan film biopik dengan gaya potrait dan impresionisme. Naskah biopik Aaron Sorkin ini menjadi contoh sempurna dari film biopik impresionisme terbaik. “Steve Jobs” bisa di-streaming di HBO GO.
Plot Fokus pada Tiga Momen Terpenting dalam Karir Steve Jobs
“Jobs” merupakan film biopik yang tidak menyajikan hal baru, sangat standar. Dimana penulis naskah sangat terpaku pada plot yang kronologis dan akurat dengan sejarah, menceritakan perjalanan Jobs dalam membangun Apple dari 1971 hingga 2011. Sementara Sorkin menyebutkan bahwa naskahnya bukan versi dramatisir halaman Wikipedia dari Steve Jobs. “Steve Jobs” hanya fokus pada tiga moment terpenting dalam karir Jobs dan pondasi dari Apple Inc.
Pertama, peluncuran Apple Macintosh 128K di Flint Center, kemudian peluncuran perusahaan baru Jobs, NeXT pada 1986 di War Memorial Opera House, hingga akhirnya ia menjadi CEO Apple Inc. pada 1998 dan bersiap peluncuran iMac di Davies Symphony Hall. Bahkan dalam tiga momen terpenting tersebut, kita tidak melihat Michael Fassbender menjadi Steve Jobs di atas panggung, karena dunia sudah tahu apa yang terjadi di atas panggung, footage-nya bisa ditemukan di YouTube dan film dokumenter.
Film ini memiliki aplikasi plot yang selalu sama di setiap babak; Steve Jobs di belakang panggung, hanya beberapa jam sebelum peluncuran dan selalu diakhir dengan Joanna Hoffman (Kate Winslet), marketing executive setia Jobs, memastikannya naik panggung tepat waktu.
Bukannya kita selalu tertarik dengan konten behind the scene atau backstage footage? Ketika idola, aktor, publik figur terlihat lebih manusiawi. Mereka punya masalah keluarga, menghadapi masalah teknis dan bisa merasa gugup juga. Kemudian bagaimana mereka mengatasi hal-hal tersebut.
Namun dalam kasus ini Sorkin menyadari bahwa tidak mungkin membuat sesuatu yang akurat, oleh karena itu pikirnya mengapa tidak sekalian membebaskan perspektifnya untuk menulis naskah yang lebih kreatif berdasarkan kesannya pada sosok Steve Jobs.
Tidak Menyajikan Materi Biopik Umum yang Bisa Kita Temukan di Internet
Kita semua sudah tahu bahwa Apple Inc. adalah perusahaan teknologi yang sangat sukses. Semua mengenal Steve Jobs sebagai entrepreneur sekaligus CEO yang menjadi panutan bagi banyak generasi untuk drop out dari kampus dan mengejar idealisme mereka.
Kita tahu iMac, iPod dan iPhone adalah produk Apple Inc. yang sukses di pasaran. Namun “Steve Jobs” merupakan film biopik lebih dari sekadar mengangkat perjalanan Jobs menuju kesuksesan, film ini adalah perjalanan Jobs menuju kesempurnaan. Kesempurnaan sebagai seorang CEO, seorang kolega dan seorang ayah untuk anak pertamanya, Lisa.
Film biopik Steve Jobs ini tidak membahas bagaimana ia merakit berbagai produk teknologi, bagaimana ia memimpin perusahaannya atau kisah dimana pegawainya mengeluh-ngeuhkan dirinya sebagai panutan. Film ini menampilkan sisi lain dari Jobs yang banyak dilupakan oleh para leader wannabe, yaitu kemampuan Jobs di bawah tekanan. Sepanjang film, kita akan melihat Jobs mendapatkan banyak tekanan dari setiap karakter pendukung.
Mulai dari Joanna Hoffman yang terus mengingatkannya untuk tidak mengacaukan acara peluncuran, Steve Wozniak (Seth Rogen) yang mengklaim ialah yang menemukan Apple, John Sculley (Jeff Daniels) CEO Apple pertama, mantan kekasih Jobs sekaligus ayah dari putrinya, Chrisann (Katherine Waterston) yang selalu datang meminta bantuan finansial dan Andy Hertzfeld (Michael Stuhlbarg) yang mengintervensi kehidupan pribadinya karena Jobs tidak melakukan hal yang harus ia lakukan.
Kemudian melalui semua tekanan yang datang dari karakter-karakter tersebut, di situlah kita melihat perkembangan karakter Steve Jobs tak hanya sebagai CEO, namun sebagai manusia. Lalu dibuktikan dengan perubahannya sikapnya sebagai seorang ayah pada Lisa, peran paling ‘manusia’ yang bisa kita lihat dari seorang pria dengan anak.
Film biopik seperti “Steve Jobs” bukan portrait, namun lukisan impresionisme yang diciptakan oleh Aaron Sorkin dan Danny Boyle. Jika menyukai film biopik seperti ini, “Spencer” karya Pablo Larrain juga memiliki konsep yang cukup serupa. Benar-benar film biopik dengan naskah yang kreatif dan lebih artistik ketika divisualkan.
Pada titik ini, film biopik dengan konsep perjalanan hidup yang terlalu menjunjung tinggi akurasi dengan dokumentasi sumbernya sudah mulai basi. Karena pada akhirnya film biopik yang diperankan oleh aktor termasuk dalam karya fiksi. Tepatnya naskah fiksi yang terinspirasi dari kejadian nyata, film bagaimanapun juga butuh elemen dramatis untuk tampil memikat.
Oleh karena itu akan lebih seru menonton film biopik bergaya impresionisme, karena kita jadi bisa mengharapkan hal baru murni dari sutradara dan penulis naskahnya.