Awal Februari lalu, Cultura berkunjung ke sebuah toko di Kota Malang. Bukan toko biasa, tapi toko kaset yang sekarang mungkin sudah hampir punah. Kami menemui sejumlah tokoh skena musik Kota Malang, termasuk tiga inisiator pendiri Toko Rekam Jaya; Samack, Alo dan Hilman.
Bicara soal skena ternyata cukup rumit. Dalam hal musik, istilah skena lebih menitikberatkan pada suatu kondisi entitas komunitas musik tertentu yang biasanya sidestream (non-mainstream) di suatu wilayah lokal.
Sebuah skena musik di suatu wilayah bukan hanya tentang musisi dan karyanya, namun merupakan sebuah kompleksitas yang saling mendukung dan berkaitan satu sama lain. Di Toko Rekam Jaya ini lah kami memahami bagaimana skena musik di Kota Malang dari berbagai sudut pandang.
Noise-Experimental
Tahun 2012, Alo mulai membangun Malang Sub-Noise yang digelar di sebuah kafe bernama Houtenhand yang kini tinggal sejarah. Sebuah skena gigs tentang genre musik eksperimental dan noise yang dipupolerkan oleh Merzbow sejak 1979 di Jepang.
Hingga saat ini, Alo tidak dapat memahami mengapa gigs noise eksperimental saat itu yang datang menyaksikan bisa puluhan orang. “Saya sendiri justru merasa failed dengan banyaknya audiens” sesal Alo. Ia mengira mungkin saat itu audiens menganggap gigs noise dan eksperimental seperti gigs deathmetal atau grindcore yang notabene underground sudah pasti banyak orang datang untuk berjingkrak-jingkrak dan headbanging bersama. Namun yang ada malah distorsi frekuensi nada dan efek suara tertentu yang abstrak bagi masyarakat pada umumnya. Mayoritas masyarakat tidak memahaminya.
Mengapa gagal? Karena menurut idealisme Alo, semakin sedikit audiens yang datang – namun sesuai dengan niche-nya dan mengerti apa itu noise-eksperimental, jauh lebih baik daripada distrupsi kuantitas banyak orang namun tidak semua paham. “Noise dan eksperimen tidak mementingkan penonton, namun diri kami sendiri. Ini lebih idealis daripada underground sekalipun.” tutur Alo.
Malang Sub-Noise cukup dikenal di skena dalam negeri saat itu, khususnya di genre-nya, hingga musisi-musisi noise dan experimentalist dari berbagai kota seperti Trenggalek, Tulungagung, Jogja, Bandung, Jakarta hingga mancanegara datang di gelaran tersebut.
Malang Sub-Noise masih ada sampai sekarang, namun tidak sesering dahulu karena berbagai alasan, yang salah satunya adalah venue. Tidak lagi ada tempat yang dapat menampung “musik masturbasi”, dimana para musisi dan penikmatnya senang dan puas dengan idealisme mereka sendiri, tanpa menyentuh ranah komersial sama sekali. Sedangkan pada umumnya, venue-venue di Malang seperti kafe, akan memikirkan revenue ketika mengadakan sebuah gelaran musik; berapa banyak orang yang datang, bagaimana potensi orang-orang tersebut membeli produk. Idealisme vs realita kebutuhan industri.
Alo sendiri menolak jika disebut dedengkot noise experimental, karena di era sebelumnya, ia pernah mengkoordinir Malang Sub-Pop (musik pop). “Saya orang yang suka musik dan suka mengadakan event musik secara kolektif.” tandas Alo.
Baca Juga: Museum Musik Indonesia dan Dominasi Rock di Malang
Budaya Kolektif
Skena musik Malang tak lepas dari budaya kolektif, budaya gotong royong yang membangun sebuah entitas baru perlahan dirintis sejak akhir tahun 90-an.
Kolektif melibatkan beberapa orang untuk menyumbang sesuai kemampuan mereka dalam menggelar gigs. Seperti siapa yang punya sound system, siapa yang bisa mengerjakan artwork, hingga urusan publikasi. Kadang pekerja sukarela yang punya band juga ikut manggung. Semuanya bersifat sukarela, atas nama kesenangan bersama. Jauh dari kata “untung”, namun tercapai kepuasan.
Kalaupun ada keuntungan yang tidak cukup banyak untuk dibagi rata, mereka lebih memilih untuk membeli makan atau minuman beralkohol untuk dinikmati bersama, lebih kekeluargaan. Ada beberapa nama kolektif yang masih aktif di wilayah Malang Raya seperti Askara Kolektif, Heartfelt dan Titik Dua Kolektif (Kota Batu).
Saat itu beberapa venue gigs di Kota Malang punya peraturan khusus, seperti 80% peserta gigs harus memiliki karya sendiri baik single, kompilasi, atau bahkan album. Bukan musik/lagu hasil cover.
Kolektivitas Malang Sub-Pop misalnya, pernah mendatangkan Efek Rumah Kaca, Saraswati, Sore, hingga Pandai Besi yang saat itu banyak penggemarnya di Malang. Pembukanya pun band-band lokal Malang.
Alo bercerita gigs band Sore pernah diadakan secara crowdfunding pada tahun 2015. Para penyumbangnya tidak hanya dari Malang Raya, namun juga kota-kota lain seperti Jakarta. Namun pada akhirnya hasil crowdfunding itu tidak cukup untuk mendatangkan Sore, dan acara batal digelar. “Banyak juga penyumbang yang tidak mau uangnya dikembalikan”, tutur Alo.
Kabar gagalnya crowdfunding itu sampai di telinga band Sore. Akhirnya Sore memutuskan datang semi-sukarela di Malang Sub-Pop, tidak dibayar – panitia hanya perlu menanggung biaya transportasi kereta api dan hotel saja.
Berbicara soal skena musik Malang secara general, Alo berpendapat bahwa kondisi saat ini lebih terbuka. Meskipun dalam sejarah sempat berseberangan antar pihak, namun sekarang di Malang semua genre musik ada, tidak kalah dengan Jakarta, hanya saja kalah exposure. Seperti kita yang ketahui, tidak banyak media yang dapat mewadahi skena musik sidestream.
Dulu di era maskulinitas musik dan komunitas yang eksklusif, Kota Lama Hardcore memang lebih dikenal dan dinilai “sangar” (istilah bahasa Malangan untuk hebat/keren), karena saat itu dengan segala idealismenya, mereka tidak mau mendengarkan genre musik lain.
Periode sekarang sudah tidak lagi demikian. Namun tetap genre-genre yang lebih universal – katakanlah seperti folk, lebih bisa main di mana saja, sedangkan hardcore tidak bisa main di semua acara dan semua tempat. Iksan Skuter, musisi Malang yang cukup dikenal di kancah nasional, dengan berbekal gitar dan kesoloannya lebih mudah bermain di segala kondisi daripada full band dengan berbagai alat-alatnya.
Alo menuturkan cerita seorang teman sesama pegiat musik di Malang yang telah pindah kerja ke Jakarta, bahwa situasi skena musik di Malang saat ini tidak jauh beda dengan Jakarta. “Teman saya malah ingin membuat event musik di Jakarta tapi yang main band-band Malang saja”, cerita Alo. Menurut temannya yang sempat tergabung dengan skena musik Malang, ia merindukan suasana kekeluargaan yang tidak didapatkan di Jakarta. Oleh karena itu ia berencana mewujudkan rencana event tersebut.
Yang menjadikan skena musik Malang punya value tersendiri adalah faktor kekeluargaan. Hal ini menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihannya adalah guyub-nya support “keluarga” dalam kegotong royongan. Namun kekuraangnnya adalah masyarakat musik Malang tidak terbiasa dengan iklim kompetitif.
Jika di kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung ada band indie yang meluncurkan merchandise, maka fans akan berlomba-lomba memilikinya. “Kalau di Malang mereka akan berpikir; ah nanti saja, kan mereka (band tersebut) teman saya, gampang” jelas Alo. Sehingga contoh kecil tersebut dapat menjadi representasi general tentang bagaimana support terhadap musik Malang, meski tak dapat dipungkiri bisa jadi ini juga tentang faktor ekonomi lokal yang tidak sama dengan Jakarta.
Baca Juga: Aditya Martodiharjo dan Analog di Era Digital
Produk Musik Fisik
Radinang Hilman menjelaskan bahwa trend band-band Malang saat ini memproduksi karya musik fisiknya dalam aneka ragam bentuk. “Misalkan saja Antipathy, barusan ngeluarin vinyl” jelas Hilman sambil menunjukkan koleksi karya musik fisik band-band Malang di rak Toko Rekam Jaya. Ia menambahkan, bahwa bentuk fisik karya musik tidak lagi terkait dengan zaman, kaset pita, CD dan vinyl masih banyak diproduksi musisi Malang saat ini.
Umumnya memproduksi CD ada minimum order, misalnya 500 keping. Namun bila CD-R, musisi Malang cenderung memproduksi sendiri. Vinyl masih diproduksi di luar negeri. Sementara di Malang hanya dapat memproduksi kaset pita di Nada Pita, sebuah produksi rumahan di daerah Dinoyo – Kota Malang.
Kemudian Hilman membawa kami menelusuri rak demi rak di setiap sudut Toko Rekam Jaya. Toko ini mempunyai 2000 koleksi keping CD dari berbagai band di Indonesia, termasuk distribusi dari berbagai record seperti Demajors dan Barongsai Record. Sementara katalog kaset pita mencapai 500 buah serta puluhan vinyl. Koleksi lain seperti buku, zine dari berbagai kota di Indonesia, dan merchandise seperti t-shirt, poster, tote bag dan pin juga turut dijual.
Fenomena yang menarik, banyak pengunjung masih berseragam sekolah datang beramai-ramai ke Toko Rekam Jaya untuk membeli kaset. Setelah ditanya, mereka mengaku mengenal kaset atau vinyl dari generasi orang tua mereka, atau dari film-film yang mengadopsi setting waktu 80-90an.
Hilman menjelaskan, penjualan produk-produk fisik sangat tergantung dari promosi para musisinya. “Misalnya musisi Malang, Iksan Skuter, dari album pertama hingga sekarang masih banyak yang cari, karena mas Iksan rajin main dan promosi. Kami hanya bantu rekomendasi”, jelas Hilman. Selain Iksan Skuter, release produk fisik lain yang diminati rata-rata adalah para musisi yang go-nasional seperti Snickers and The Chicken Fighter (SATCF), Christabel Annora dan Write The Future.
Ditanya soal bagaimana perkembangan digital yang “membunuh” produk fisik, Hilman menjawab bahwa tidak selalu demikian, justru digital banyak membantu. “Dulu sebelum ada internet orang membeli kaset bak berjudi, membeli kucing dalam karung, entah enak atau tidak. Kadang harus beli the best-nya dulu. Namun sekarang di Spotify orang bisa mendengarkan dulu, kalau enak baru beli fisiknya.” tambah Hilman. Lebih-lebih saat ini banyak generasi muda yang menjadi kolektor musik fisik, album-album re-issue juga banyak peminatnya, sehingga produksinya – meskipun tidak masif – namun masih tetap eksis. “Perubahan zaman tidak bisa kita lawan”, sanggah Hilman optimis.
Toko Rekam Jaya yang resmi buka mulai November 2019 tidak memberlakukan perawatan khusus dalam merawat koleksinya. Lebih sering diputar/dimainkan untuk mengukur indikator debu, karena jika diputar, maka debu akan menempel head player, itu bisa dijadikan tolok ukur kapan kaset tersebut harus dibersihkan. Jika itu kaset pita maka tidak terlalu sering di-rewind untuk menghindari kusut dan menjaga kelembaban suhu.
Baca Juga: Bagaimana Industri Musik di Jepang Bertahan dengan Konservatisme?
Samack: Di Malang musisi itu tersiklus dan terproses
Samack adalah cerita tersendiri. Salah satu pendiri Toko Rekam Jaya ini dikenal sebagai pemerhati dan penulis artikel musik, terutama di skena rock dan metal. Ia merintis Mind Blast Fanzine tahun 1996 bersama Afril, pentolan band Extreme Decay, pioneer Grindcore Indonesia. Menulis newsletter pun pernah digelutinya. Isinya profil dan berita-berita band Metal lokal Malang, hingga era booming-nya internet awal 2000-an yang memudahkan mencari sumber referensi online.
Awal tahun 2000-an Samack merintis Solidrock Magazine, web apokalip.com dan aktif serta di beberapa kolektif seperti Kolektif Radiasi dan AV Productions. Tulisan-tulisannya sering dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia, Rock & Roll Magazine, Gigsplay, DCDC dan The Metal Rebel.
Pria ini juga sempat memanajeri beberapa band seperti The Morning After, Rotten Corpse dan menjadi publicist beberapa band lokal Malang. “Sampai sekarang saya masih menulis, juga aktif di distribusi record Demajors Malang”, ujar Samack.
Ditanya soal skena musik Malang, Samack menjelaskan bahwa di Malang musisi itu tersiklus dan terproses. “Genre tertentu booming, lantas genre yang sama akan booming 4 tahun lagi, cenderung demikian.” ungkapnya. Era belakangan stoner-stoner rock lebih “hidup” dibandingkan metal-metal ekstrim seperti black atau death metal yang masih sangat segmented. Hal ini lebih terkait circle musik global yang juga cenderung demikian.
Di Indonesia saat ini influence band metal papan atas masih dipegang oleh headliner seperti Burgerkill, Dead Squad dan Seringai. Sementara grass root metal ekstrim lebih banyak berkembang di daerah.
Menurut Samack, kelebihan skena musik di Malang adalah masing-masing individunya mengenal satu sama lain. Kekeluargaannya lebih kuat. Sering nongkrong bareng baik itu mahasiswa pendatang, pekerja maupun warga lokal.
“Para pendatang membawa budaya dan influence dari daerah mereka masing-masing. Itu yang membuat keberagaman skena musik Malang,” jelas Samack. Itu yang membuat era sekarang, misalkan saja musisinya, tidak bisa dibedakan antara Malang dan kota-kota lain karena sudah lebih universal. Saat ini predikat stigma lawas “Malang Kota Rock/Metal” sudah tidak lagi relevan, menurut Samack.
Monohero & Psychedelic Ambient
Sebagai salah satu band Malang yang sedang eksis saat ini, Monohero yang mengusung psychedelic ambient beranggotakan tiga orang ini awalnya adalah solo project sejak 2009 dari MF Wafy, sang composer. Masuknya dua orang lain yakni Arie W. Omen sebagai pengisi vocal dan Alfian “Beb” Roesman menjadikan band ini mantap berjalan dengan format trio sejak 2016.
Omen, sang vocalist yang khas dengan teknik vocal ethnic bernafaskan Kidungan (Ngidung – Jawa), berkesempatan bergabung bersama kami di Toko Rekam Jaya. Ia menuturkan bahwa Monohero adalah gabungan antara eksperimen auditif suara dan atmospheric visual yang merupakan manifestasi jiwa para punggawanya.
Band yang menelurkan album keduanya pada tanggal cantik 2 Februari 2020 (02022020) ini lebih banyak merepresentasikan soal keresahan hidup. “Setiap orang pasti pernah merasakan suatu permasalahan yang sama dalam hidup, namun porsinya berbeda-beda,” jelas Omen. Album bertajuk “Awake” yang bercerita tentang pengembaraan manusia menurut Omen akan lebih lebih bisa dipahami dengan mendengarkannya secara berurut dari single pertama hingga terakhir, meskipun tidak harus demikian, namun akan cukup banyak membantu.
Omen sendiri sebelumnya tergabung dalam band folk bernama Armoniora pada penghujung tahun 2012. Sebenarnya Omen yang karakter suaranya kental dengan nuansa etnik (khususnya Jawa), mengaku saat masih sekolah mengidolakan band-band pop yang hits pada masanya seperti Westlife, Celine Dion, Sheila on 7, D’Cinnamons, Dewa, Ungu hingga D’Masiv. Namun saat kuliah ia belajar lebih luas mengenai tradisi dan teater. Hal ini juga yang kuat mempengaruhi karakter bermusiknya di Monohero. “Saat kelas 2 SD saya sering menyayikan lagu Barbie Girl-nya Aqua, sambil berjoget”, tambah Omen yang mengaku saat SMP pertama kali tampil di panggung sebagai vocalist hadrah (rebana/terbangan).
Randy “Kempel” Virgiawan, publicist Monohero menambahkan, playlist Monohero di Spotify berjudul “December, Don’t Cry” adalah referensi bermusik ketiga personel Monohero yang mempengaruhi karakter bermusiknya. Beberapa lagu dari playlist tersebut antara lain; Murka – Filastine, Memories – AK, Erotika – Goodnight Electric, Enter One – Sol Seppy, Taro – alt J hingga single fenomenal Radiohead, Creep.
Omen memiliki sudut pandang tersendiri sebagai bagian dari skena musik Malang saat ini. “Malang is not Malang”, ungkapnya membuat penasaran. Ternyata maksudnya, Malang dalam Bahasa Jawa adalah menghalangi/penghalang. Jadi Malang bukan penghalang dalam dunia musik khususnya di tanah air. Malang punya siklus tersendiri yang luar biasa kuat, yang berbeda dengan kota yang lain. Banyak rintangan, namun jika ingin sukses berkarir musik di Malang harus kuat hati, mental, pikiran dan juga fisik.
“Musisi Malang gemar berkarya, entah itu diakui atau tidak yang pasti kami enjoy dan happy dalam berkarya. Kami tidak terkenal di luar Malang juga tidak masalah.” menurut Omen.
—
Thanks to narasumber:
Samack, Alo, Radinang Hilman, Arie W. Omen, Randy Virgiawan.
Lokasi Interview:
Toko Rekam Jaya
Jl. Candi Mendut No. 11, Mojolangu, Kota Malang
instagram.com/tokorekamjaya