“Rectoverso” bisa jadi karya hibrida paling ambisius dari Dewi “Dee” Lestari pada 2008 silam. Tak hanya menerbitkan novel kumpulan cerita pendek, Dee juga menunjukan bakat menyanyinya, dengan merilis lagu-lagu sebagai pendamping setiap cerita pendek yang Ia tulis seputar kisah cinta yang tak terungkapkan maupun bertepuk sebelah tangan.
Melihat kesuksesan dari Rectoverso sebagai novel dan album musik, Dee membawa karya hibridanya tersebut ke medium lainnya yaitu film.
“Rectoverso: Cinta yang Tak Terucapkan” (2013) merupakan film omnibus percintaan Indonesia yang disutradarai oleh lima sutradara berbeda. ‘Malaikat Juga Tahu’ disutradarai oleh Marcella Zalianty, ‘Firasat’ oleh Rachel Maryam, ‘Cicak di Dinding’ oleh Cathy Sharon, ‘Curhat buat Sahabat’ oleh Olga Lydia, dan ‘Hanya Isyarat’ oleh Happy Salma.
Film ini juga bertabur bintang film lokal pada masanya mulai dari Lukman Sardi, Asmirandah, Sophia Latjuba, Yama Carlos, Dwi Sasono, dan masih banyak lagi.
Kumpulan Kisah Tentang Cinta Tragis dan Tak Terbalas
‘Rectoverso’ hanya mengadaptasi lima dari sebelas cerita yang sebetulnya dimuat dalam novel. ‘Malaikat Juga Tahu’ bercerita tentang seorang pemuda dengan autisme yang jatuh dengan salah satu perempuan penghuni di kosan ibunya.
‘Firasat’ menjadi cerita yang berlatar di suatu klub bernama ‘firasat’, tempat berkumpulnya orang-orang membicarakan firasat sebagai bahasa semesta.
‘Cicak di Dinding’ bercerita tentang seorang seniman yang jatuh cinta dengan pasangan sahabatnya.
‘Curhat buat Sahabat’ menjadi cerita sepasang sahabat dengan salah satu yang menyimpan rasa, sementara ‘Hanya Isyarat’ merupakan cerita sederhana tentang perempuan yang jatuh cinta hanya dengan melihat punggung pria yang Ia temui saat travelling.
Semua cerita pada dasarnya memiliki vibes dan topik yang sama, yaitu tentang kisah cinta yang tak terungkap atau berbalas. Kurang lebih konsepnya cukup serupa dengan film “Love” (2008) arahan Kabir Bhatia, yang lebih mengangkat kisah-kisah cinta abadi. Berbeda dengan ‘Rectoverso’ yang lebih melankolis, moody, tragis, dan bittersweet. Meski eksekusi adegannya terpisah-pisah, transisinya cukup rapi. Mulai dari babak utama, konflik, hingga adegan klimaksnya ditata untuk berkesinambungan secara emosional bagi penontonnya.
Usaha Visualisasi Narasi Novel yang Terasa Nanggung
Sulit bagi kita yang telah membaca novel ‘Rectoverso’ untuk tidak membandingkan novel dengan filmnya. Tidak semua karya literasi memiliki keindahan yang sama ketika diadaptasi menjadi karya visual.
“Rectoverso” menjadi salah satu novel (dan album musik) yang sudah sempurna dari Dee tanpa harus dieksplorasi lagi dalam media film. Literasi yang diadaptasi menjadi naskah film ‘Rectoverso’ terasa seperti kehilangan ‘keajaiban’ yang bisa dimuat dalam novelnya. Melalui rangkaikan kata puitis yang indah oleh Dee. Karena film ini dikerjakan oleh sederet sutradara dan penulis naskah yang berbeda.
Ada banyak narasi dalam buku yang terasa lebih dramatis. Membuat pembacanya hanyut dalam setiap narasi dan perasaan yang lebih kompleks. Sementara dalam film, narasi yang memiliki berbagai makna dieksekusi sebagai suatu adegan film yang terasa generik. Kita bisa merasakan kedalam dari kisah-kisah cinta yang sebetulnya sederhana namun sentimental.
Buat yang belum membaca novelnya, mungkin tidak akan terlalu memikirkan aspek ini. Namun, bagi yang juga gemar membaca novel, lebih direkomendasikan untuk membaca novelnya sekalian sambil mendengarkan album musiknya oleh Dee.
Cerita Terbaik dalam Rectoverso
Semua pasti setuju kalau ‘Malaikat Juga Tahu’ adalah juaranya. Baik di novel dan lagunya, judul ini merupakan salah satu yang familiar di skena hiburan Indonesia. Lukman Sardi yang berperan sebagai pemuda autis memberikan penampilan akting terbaik dalam ‘Rectoverso’. Begitu pula aktris senior, Dewi Irawan sebagai ibunya. Keduanya menampilkan duo akting yang pecah pada adegan akhir kisah mereka yang benar-benar menyayat hati.
‘Firasat’ bisa jadi salah satu yang bagus karena intisari ceritanya tersampaikan dengan baik. Namun ada bagian yang diimprovisasi dan sedikit merusak nuansa misteri yang seharusnya terkandung dalam kisah ‘Firasat’.
‘Hanya Isyarat’ sebetulnya merupakan salah satu cerita terbaik dari novelnya. Cerita satu ini sangat sederhana namun memiliki berbagai emosi yang dideskripsikan dengan lebih puitis, sayangnya ‘keajaiban’ yang sama tak cukup tersampaikan dalam filmnya. Begitu pula ‘Curhat buat Sahabat’, yang di film ini hanya terlihat sebagai cerita sahabat jatuh cinta bertepuk sebelah tangan yang generik.
Pada akhirnya, ‘Rectoverso’ original Dee merupakan salah satu karya hibrida terbaik dalam sejarah literasi modern Indonesia. Sayangnya, versi filmnya kehilangan ‘keajaiban’ Dee karya diadaptasi oleh seniman-seniman baru di dalamnya. Visinya boleh ambisius, namun eksekusinya masih terasa nanggung, lebih baik langsung baca novelnya saja.
Buat yang penasaran dan tetap ingin menonton, “Rectoverso: Cinta yang Tak Terucapkan” baru saja ditambahkan dalam katalog streaming Netflix.