Quantcast
My Girl Review: Potret Lembut Tentang Kehilangan, Persahabatan, dan Kedewasaan Dini - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea

Film

My Girl Review: Potret Lembut Tentang Kehilangan, Persahabatan, dan Kedewasaan Dini

Coming-of-age yang jujur, memilukan, dan tetap hangat setelah lebih dari tiga dekade.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“My Girl” (1991) adalah salah satu film coming-of-age paling ikonik dari era 90-an, sebuah karya yang mampu menggabungkan kesedihan dan kehangatan dengan cara yang jarang bisa dicapai film keluarga. Disutradarai oleh Howard Zieff dan ditulis oleh Laurice Elehwany, film ini menghadirkan cerita tentang tumbuh dewasa yang jujur, tanpa manipulasi emosional, serta penuh nuansa tentang duka, persahabatan, dan perubahan yang tak terhindarkan. Meski dikenal sebagai film yang membuat banyak penonton menangis, “My Girl” sebenarnya jauh lebih kaya daripada sekadar tragedi masa kecil.

Cerita berpusat pada Vada Sultenfuss (Anna Chlumsky), gadis 11 tahun yang tinggal di rumah duka milik keluarganya. Vada adalah anak yang cerdas, sensitif, dan kerap dilanda kecemasan berlebihan akibat kehidupannya yang dikelilingi kematian. Ia berteman dekat dengan Thomas J. Sennett (Macaulay Culkin), anak lelaki pemalu yang alergi hampir pada segala hal, tetapi memiliki hati yang lembut dan ketulusan tanpa syarat.

Konflik muncul ketika ayah Vada, Harry (Dan Aykroyd), menjalin hubungan dengan perias jenazah bernama Shelly (Jamie Lee Curtis). Perubahan dalam hidupnya membuat Vada semakin bingung tentang konsep cinta, kehilangan, dan apa arti keluarga.

Script film ini kuat karena mampu menyampaikan isu berat dari sudut pandang anak-anak tanpa kehilangan empati. Elehwany menulis dialog yang terasa alami dan tidak pernah meremehkan emosi karakter. Vada tidak digambarkan sebagai anak “lebih tua dari usianya,” tetapi sebagai seseorang yang mencoba memahami dunia yang jauh lebih asing dan menakutkan daripada yang seharusnya.

Kehilangan besar yang terjadi di pertengahan film menjadi turning point yang mengubah arah cerita, namun transisi emosionalnya dibangun dengan sangat halus sehingga pada saat adegan itu terjadi, penonton sudah sepenuhnya tenggelam dalam dunia Vada.

Secara sinematografi, “My Girl” mengandalkan gaya sederhana namun hangat. Nuansa akhir musim panas di kota kecil Pennsylvania dihadirkan dengan warna-warna lembut, cahaya natural, dan komposisi yang menekankan keintiman. Shot-shot statis menangkap ruang-ruang kecil yang menjadi dunia Vada—ruang kelas, halaman rumah, dan terutama kamar jenazah yang menjadi simbol ketakutan dan kedewasaannya. Estetika visual film ini tidak mencolok, tetapi justru itulah yang membuat ceritanya terasa dekat, seperti kenangan lama yang tidak ingin hilang.

Akting para pemain adalah kekuatan utama film ini. Anna Chlumsky memberikan salah satu performa anak terbaik era 90-an, memadukan kecerdasan, kebingungan, humor, dan ketakutan dengan presisi luar biasa. Wajahnya mampu berubah dari sinis menjadi rapuh hanya dalam satu scene.

Macaulay Culkin, meski dikenal karena peran komikal di “Home Alone”, tampil jauh lebih lembut dan emosional di sini. Ia memberi Thomas J. kehangatan yang sulit dilupakan. Dan Aykroyd sebagai sang ayah membawa karakter yang canggung namun penuh kasih, sementara Jamie Lee Curtis memberi kehidupan baru dalam peran yang ringan namun signifikan, menambah keseimbangan di tengah dunia Vada yang tidak stabil.

Screenplay film ini berhasil menyulam komedi ringan ke dalam drama tanpa membuatnya terasa tonal clash. Kehadiran momen-momen lucu — dari humor canggung Harry hingga kepolosan Thomas J. — justru memperkuat tragisnya film karena menggambarkan kenyataan bahwa masa kecil tidak pernah sepenuhnya bahagia atau sedih. Hidup selalu berada di antaranya.

“My Girl” juga menunjukkan bagaimana anak-anak memproses kehilangan dengan cara yang unik. Mereka tidak selalu memahami konsep kematian, tetapi mereka merasakan dampaknya pada tubuh, perilaku, dan bahasa sehari-hari. Kekuatan film ini adalah kesediaannya untuk menghadirkan emosi tersebut apa adanya, tanpa memaksakan pesan moral eksplisit. Sebaliknya, ia mengalir melalui pengalaman Vada, mengajak penonton ikut bertumbuh bersamanya.

Pesan Moral

Film ini mengingatkan bahwa kehilangan adalah bagian dari tumbuh dewasa, dan bahwa cinta serta persahabatan dapat meninggalkan bekas yang membentuk hidup seseorang jauh melampaui usia mereka. Keberanian terbesar sering kali muncul dari menerima hal-hal yang tidak bisa kita ubah, serta merawat kenangan tanpa membiarkannya menelan diri kita.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Cultura Magazine (@culturamagz)

Dampak Budaya

“My Girl” menjadi film penting dalam menggambarkan duka dari perspektif anak-anak secara sensitif dan realistis. Ia membuka ruang bagi film-film keluarga yang berani membahas isu kematian tanpa eufemisme, serta menguatkan tradisi film coming-of-age yang emosional di era 90-an.

Adegan “He can’t see without his glasses” menjadi salah satu momen paling ikonik dalam sinema populer, dikenang sebagai simbol patah hati yang murni dan tak terlupakan. Hingga kini, “My Girl” masih dibicarakan sebagai film yang tumbuh bersama generasinya, dan tetap relevan bagi penonton baru yang mencari cerita tentang kepolosan, kehilangan, dan cinta platonis yang paling murni.

zatoichi zatoichi

Zatōichi Review: Reinkarnasi Pedang, Humor, dan Kemanusiaan ala Takeshi Kitano

Film

Not One Less Review: Potret Ketabahan di Tengah Keterbatasan

Film

Bacurau Review: Perlawanan, dan Amarah yang Menyala dari Pedalaman Brasil

Film

15 Film Brasil Terbaik

Cultura Lists

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect