Melalui film horor, ditambah semakin berkembangnya genre itu dari masa ke masa, perempuan mulai ditampilkan secara kompleks. Genre ini mendobrak peran perempuan yang biasanya hanya dilihat dari satu dimensi, diseksualisasi, atau sekadar menjadi pemanis (trophy for a hero).
Meskipun genre ini juga tidak jarang menampilkan perempuan dalam lensa misoginis, mereka juga menyajikan ruang bagi perkembangan karakter yang multidimensi, yang jelas jauh dari kata ‘manis’.
Namun, seringkali pula perempuan dalam film horor masuk dalam ‘final girl trope’, yakni ketika perempuan dijadikan sebagai satu-satunya yang selamat dalam sebuah situasi mengerikan. Beberapa kritik berargumen bahwa perempuan dijadikan karakter utama dalam film-film ini sebab akan lebih mudah bagi audiens untuk bersimpati dan ngeri jika melihat protagonis yang lemah berhadapan dengan antagonis–entah itu setan, pembunuh, atau monster.
Ada pula kemungkinan yang lebih gelap bahwa para laki-laki pembuat film berkeinginan untuk menyiksa perempuan. Untuk mendalami hal ini lebih jauh, diperlukan artikel terpisah pada kesempatan yang lain. Meski begitu, akting Mia Goth baru-baru ini menumbuhkan harapan bahwa film horor masih terus berevolusi dalam menciptakan karakter multidimensi dari seorang perempuan.
Perempuan-perempuan ‘Sinting’ dalam Film Horor
The Screen Rant telah merangkum sepuluh aktris perempuan terbaik yang sukses berperan sebagai perempuan ‘sinting’ di film horor. Di antara mereka yang legendaris adalah akting Shelley Duvall dalam “The Shining” (1980), yang menjadi stress setelah tinggal di Hotel Overlook yang terpencil, demi menemani suaminya yang seorang penulis. Aksinya dalam menyelamatkan diri dari teror sang suami sendiri sangat ikonik, a.k.a adegan ketika ia berteriak histeris di kamar mandi, ketika sang suami dengan kapak secara kesetanan mendobrak pintu untuk membunuhnya.
Mia Farrow dalam “Rosemary’s Baby” (1968) juga merupakan salah satu peran sinting yang klasik. Sebagai Rosemary, ia sukses melukiskan horor di wajahnya yang polos dan waras, hingga ia mulai gila karena mengandung bayi yang ia rasa bukanlah anaknya sendiri. Selain “Carrie” (1976), “Rosemary’s Baby” adalah salah satu film horor klasik yang mengupas perasaan horor yang tak kasat mata dari seorang karakter perempuan.
Mia Goth Sebagai Perempuan ‘Sinting’ Baru
Setelah Toni Collette dalam “Hereditary” (2018), rasanya belum muncul lagi aktris-aktris yang menemukan niche nya dalam film horor Hollywood. Saya cukup terkesan setelah menonton film garapan Ti West, “Pearl” (2022), yang tayang premiere di Venice International Film Festival bulan September tahun ini.
Mulai dari movie opening credits, penonton sudah diberi tahu bahwa “Pearl” ditulis oleh dua orang, yakni oleh Ti West sendiri dan juga Mia Goth, pemeran utama film ini. Sebelumnya, kita mengenal Mia Goth sebagai model dan karakter sampingan dalam film “Emma” (2020), sehingga tidak berpikir bahwa dirinya punya bakat juga dalam menulis film horor. Namun, karakternya sebagai perempuan ‘sinting’ sebenarnya telah dimulai sejak debut aktingnya yang pertama dalam “Nymphomaniac”, salah satu dari ketiga film Lars von Trier yang secara unofficial dikenal sebagai ‘Depression Trilogy’.
Melalui wawancara dengan The Guardian, Goth menyebutkan bahwa dirinya tertarik dengan karakter-karakter yang harus berjuang atau melawan. Hal itu lebih menarik buatnya, sebab ia merasa bahwa terkadang dalam peran-peran perempuan yang lain, perasaan-perasaan karakter tersebut justru dihilangkan.
Sementara kepada Collider, ia menjelaskan betapa “Nymphomaniac” telah memberinya wawasan mengenai apa saja yang ia ingin lakukan dalam pekerjaannya, jenis sutaradara seperti apa yang ia inginkan, dan sederhanya apa yang ia ingin berikan dalam dunia film. Melalui wawancara yang lain dengan The Collider, Goth mengungkapkan ketertarikannya pada cerita yang memiliki karakter kompleks:
“Stories that are exploring people. That’s pretty much it. Not so much plot. Plot doesn’t interest me all that much. Character studies, directors that are interested in actors and bringing out the best in them and directors that are concerned with the truth, and that being at the forefront of what they do.”
X (2022) dan Pearl (2022): Horor-nya Perempuan ‘Sinting’
Dalam tahun 2022, Mia Goth telah memerankan dua karakter utama dalam film slasher garapan Ti West, yakni “X” dan prekuelnya, “Pearl”, meskipun keduanya adalah film yang sama sekali lain. Keduanya sama-sama menampilkan Mia Goth sebagai karakter perempuan ‘sinting’ yang terjebak dalam sebuah situasi yang menjadikan mereka mampu melakukan apapun untuk dapat keluar dari situasi tersebut.
Dalam film “X”, Mia Goth memerankan Maxine Minx, seorang perempuan yang bercita-cita menjadi aktris porno, sementara dalam film lainnya Goth memerankan Pearl, perempuan muda nan sadis yang begitu ingin keluar dari perkebunan yang terisolasi dan menjadi penari beken.
Menurut Ti West, “X” yang belatarkan tahun 70an merupakan “ode” nya kepada industri film porno yang pernah berjaya pada periode itu. Di sisi lain, Pearl mengambil latar jauh sebelumnya, yakni ketika pandemi flu Spanyol berlangsung pada tahun 1918. Ti West mengacu pada masa keemasan Hollywood, meskipun lebih tepat masa ini disebut sebagai ‘early age of Hollywood’.
Selain berusaha menjadi ‘film periode’–film yang berusaha mengikuti ciri-ciri periode bersejarah tertentu, kedua film ini juga menyerempet genre biopik, dengan Mia Goth sebagai pusatnya. Dalam “Pearl”, hampir setiap frame film ini diisi akting Goth. Dalam beberapa hal, film ini memiliki kesamaan dengan “Joker” (2019), namun ditambah kebrutalan adegan-adegan mutilasi yang tidak malu-malu.
Adegan-adegan sadis yang dimainkan oleh Goth mengingatkan kita kepada peran Annie Wilkes dalam adaptasi novel Stephen King, “Misery” (1990), yang dimainkan oleh Kathy Bates. Layaknya Shelley Duvall, Mia Farrow, dan Toni Collete, performa Bates pun jelas menjadi memori tersendiri di benak para pecinta film horor.
Salah satu akting ikonik yang dilakukan Mia Goth dalam “Pearl” telah membuat kita menobatkannya sebagai salah satu aktris horor yang layak dipuji pada dekade ini. Adegan ikonik ini adalah adegan improvisasi yang merupakan gagasan Ti West dan Mia Goth sendiri–tidak ada dalam skrip yang telah dibuat sebelumnya.
Adegan yang terjadi sekitar dua menit hingga kredit penutup selesai ditampilkan, adalah close-up wajah Pearl yang sedang tersenyum lebar. Senyum ini sangat mengganggu, karena di dalamnya terangkum akibat dari hal-hal mengerikan yang telah dilakukan Pearl sepanjang film, antara lain rasa frustasi, putus asa, namun juga keyakinan yang kuat bahwa apa yang telah dilakukannya merupakan sesuatu yang dapat dijustifikasi.
Sutradara kondang Martin Scorsese turut memuji “Pearl” sebagai film yang memiliki energi yang jarang ditemukan pada film-film saat ini. Energi tersebut didasari atas kecintaan yang murni terhadap sinema.
Dengan begitu, patut dikatakan Mia Goth memang perempuan yang ‘sinting’ dalam berkarya. Karir modeling yang dahulu ditempuhnya dipandang sebagai sesuatu yang dua dimensional saja. Mungkin, didasari oleh hasratnya untuk menjadi original dan tidak ‘plastic’, ia turut mewarnai sinema horor saat ini yang banyak menampilkan para perempuan sinting itu.
Melihat perkembangan-perkembangan awal dalam film horor Hollywood yang hanya melukiskan perempuan entah sebagai sosok yang polos dan baik-baik, atau benar-benar kebalikannya, semakin ‘sinting’ perempuan ditampilkan dalam film horor, akan semakin bagus. Karena sesuatu yang terus menerus dianggap sinting akan terus menjadi tabu, walaupun jika dipahami baik-baik, kesintingan itu sebetulnya begitu wajar adanya.