Connect with us
Masa Keemasan Hollywood: ‘Blessing in Disguise’ Pasca Depresi Ekonomi
Gone with the Wind (1939) | Photo: Silver Screen Collection/Getty Images

Culture

Masa Keemasan Hollywood: ‘Blessing in Disguise’ Pasca Depresi Ekonomi

Saat masyarakat kehilangan pekerjaannya, cerita-cerita yang tampil di bioskop menjadi suatu eskapisme dari kehidupan nyata.

Mimpi manusia adalah sesuatu yang sangat personal. Setiap manusia pasti mempunyai mimpi yang berbeda. Meskipun begitu, ada sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi kolektif. Artinya, sebuah mimpi bisa jadi merupakan cerminan dari keinginan kolektif banyak orang. Contohnya dapat dilihat pada hits dari John Lennon “Imagine” atau “Heal The World” oleh Michael Jackson.

Di luar interpretasi yang begitu banyaknya, kita dapat setuju bahwa lagu-lagu tersebut bermimpi tentang situasi yang lebih baik, lebih damai, dan lebih sejahtera.

Sejarah dari sinema adalah sejarah melihat manusia di masa lalu. Berhubungan dengan mimpi, film adalah bukti nyata bagaimana mimpi kolektif dapat terbentuk. Film-film di periode tertentu mencerminkan mimpi masyarakat pada saat itu.

Pada awal kemunculannya sejak awal 1900, film tidak serta merta langsung digemari banyak orang. Tapi, suatu peristiwa yang merubah dunia memberikan makna baru dalam melihat film. Film bukan saja gambar bergerak, melainkan suatu eskapisme dari realita, juga penumbuh harapan-harapan baru untuk masa depan.

Jejak pemberian makna baru ini dapat ditelusuri kembali ke Hollywood pada tahun 1930-an. Hegemoni industri Hollywood sekarang ini memang luar biasa. Di berbagai belahan dunia, film Hollywood lebih digemari dari pada film lokal. Tentu saja menjadi menarik untuk mengetahui bagaimana industri Hollywood berjalan di masa lalu.

Artikel ini akan membawa kita kembali ke masa keemasan studio Hollywood, tepatnya pada kebangkitan Amerika pasca depresi ekonomi di akhir 1929.

Dijualnya Kerinduan Akan Suatu Kemakmuran

Pasca perang dunia pertama, Amerika muncul sebagai kekuatan baru. Kondisi negara-negara Eropa yang hancur akibat perang dimanfaatkan oleh Amerika sebagai momentum untuk membuatnya menjadi negara industri nomor satu di dunia. Gebrakan ini dirasakan oleh seluruh dunia. Orang-orang yang ingin menjajal peruntungannya pergi ke Amerika. Perusahaan-perusahaan baru milik Amerika didirikan di berbagai negara, menciptakan hijrah kelas-kelas pekerja baru yang tergiur dengan iming-iming “menjadi orang kaya dalam waktu cepat”.

Semua terasa seperti sempurna, sampai titik dimana over produksi terjadi. Perusahaan, peternakan, dan berbagai sektor lainnya mulai memproduksi terlalu banyak barang yang tidak mampu dibeli oleh semua orang. Oleh sebab itu, harga pasaran turun drastis dan semua orang berbondong-bondong menjual saham mereka pada akhir 1929. Karena hal itu dilakukan secara serempak, harga saham turun drastis dan tiba-tiba saja sirkulasi uang tidak berjalan lagi secara semestinya. Perusahaan gulung tikar, penangguran dan kelaparan di mana-mana. Singkat kata, semua orang menderita.

Menariknya, Hollywood mampu tampil pada masa keemasannya di zaman yang sulit tersebut. Di saat orang-orang mulai kehilangan harapan, Hollywood menyajikan film-film yang bertemakan kesadaran sosial, screwball comedy, dan drama-drama musikal yang mampu menjadi pelarian dari realita kehidupan.

Pengangguran meroket saat The Great Depression

Pengangguran meroket saat The Great Depression (Photo: Insider.com)

Narasi yang ditampilkan dalam film-film Hollywood seakan sebagai situasi utopis yang diinginkan semua orang. Dengan cara inilah Hollywood menarik masyarakat untuk menonton film, dan menjadikannya sebagai suatu yang penting dalam pembentukan imaginasi dan inspirasi penontonnya.

Tahun 1936, muncul sebuah film komedi-romantis yang sekarang telah menjadi klasik, “My Man Godfrey”. Premis cerita nya simple, seorang perempuan kaya jatuh cinta kepada pelayannya yang misterius. Film ini menunjukkan perbedaan dua kelas yang ada dalam masyarakat, dan memberi pesan halus bahwa pekerjaan yang bermartabat dan memberikan tujuan hidup diperlukan. Tanpa itu seseorang akan kalah dari status sosial yang lebih tinggi. Tentu saja, pesan ini tidak pernah menonjol dan berada di balik komedi romantis yang menarik penonton.

My Man Godfrey (1936)

My Man Godfrey (1936)

Pesan semacam ini terlihat juga di film-film klasik selanjutnya, seperti “Gone With The Wind” dan “The Wizard of Oz” pada 1939. Meskipun masing-masing memiliki premis yang berbeda, terdapat benang merah yang menjelaskan filosofi dan motivasi hidup orang Amerika.

Dalam “Gone With The Wind” diceritakan tokoh perempuan dari keluarga kaya yang manja dan tidak pengertian bernama Scarlett O’Hara. Karena suatu kondisi yang menyulitkan ketika perang dunia terjadi, Scarlett terpaksa meninggalkan kehidupan nyamannya dan dipaksa menjadi dewasa. Hal ini ditunjukkan dengan Scarlett yang kemudian bekerja menjadi perawat para korban perang.

Setelah perang mereda, Scarlett memikirkan cara untuk mengembalikan kehidupan lamanya yang nyaman. Oleh sebab itu, dia bekerja keras mengelola bisnis sehingga pada akhirnya dia mampu mendapat apa yang ia inginkan. Dari sini, dapat dilihat bahwa menaikkan status sosial adalah sebuah mimpi, dan siapapun dapat meraih mimpi tersebut.

“The Wizard of Oz” sedikit berbeda dalam mendefinisikan mimpi kolektif tersebut, meskipun masih sama-sama menekankan pada pemberdayaan masing-masing individu untuk mencapai keinginannya. Film dengan premis cerita anak ini menampilkan Dorothy, seorang anak perempuan yang terdampar di negeri Oz dan berharap untuk bisa kembali ke rumahnya di Kansas.

Dalam perjalanan menuju penyihir agung Oz untuk mengabulkan permintaannya, dia bertemu sosok-sosok yang memiliki keinginan pula, seperti manusia jerami yang menginginkan otak, manusia timah yang menginginkan hati, dan singa yang menginginkan keberanian. Sepanjang perjalanan, mereka dihadapkan oleh berbagai masalah yang sebenarnya telah mendekatkan mereka kepada apa yang mereka inginkan.

Di akhir film, sang penyihir agung Oz memberi tahu mereka bahwa sebenarnya mereka sudah memiliki apa yang mereka inginkan. Tidak perlu seorang penyihir agung untuk mengabulkan apa yang mereka mau, karena diri mereka sendiri lah yang bisa mewujudkan impiannya sendiri.

Sabrina (1950)

Sabrina (1950)

Kesuksesan tema drama yang dipadukan dengan komedi romantis berlanjut hingga akhir masa keemasan Hollywood pada tahun 50-an, contohnya pada film “Sabrina” (1950) yang dibintangi oleh Audrey Hepburn. Meskipun telah berlalu dua dekade, tema tentang perbedaan kelas dalam asmara ini masih popular.

Seperti dalam “Gone With the Wind” dan “The Wizard of Oz”, seorang Sabrina juga memiliki keinginan untuk berada dalam situasi yang lebih baik atau kelas sosial yang lebih tinggi. Hal ini terwujud ketika Sabrina yang adalah anak supir di keluarga kaya berhasil membuat majikannya jatuh hati sejak kepulangannya dari belajar di Paris. Sebelumnya, dia bahkan tidak diperhatikan oleh sang majikan. Ternyata, perhatian dari keluarga itu bisa didapatkan oleh Sabrina ketika ia fokus kepada jalan hidupnya dan mendapatkan kepercayaan diri.

“American Dream” dan Kaitannya dengan Budaya Selebriti

Istilah American Dream pertama kali dicetuskan oleh James Truslow Adams dalam bukunya “The Epic of America”. Mr. Adams mendefiniskan American Dream sebagai tanah impian di mana hidup harus lebih baik dan lebih lengkap untuk setiap orang, dengan kesempatan yang sama untuk masing-masing orangs esuai dengan kemampuan atau prestasinya.

Singkatnya, Amerika diharapkan sebagai tempat dimana individu dapat berkembang dan bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang dia inginkan. Mimpi ini telah membentuk bagaimana perilaku bangsa Amerika, mulai dari perilaku ekonomi maupun politiknya.

Rumah berpagar putih yang diasosiasikan dengan American Dream 1940-an

Rumah berpagar putih yang diasosiasikan dengan American Dream 1940-an. (Source: thisoldhouse.com)

Karen Sternheimer dalam penelitiannya yang berjudul “Celebrity Culture and the American Dream: Stardom and Social Mobility” menjelaskan kaitan antara mimpi kolektif masyarakat Amerika dan sinema. Menurutnya, cerita film dan para aktor menjual “American Dream” itu sendiri. Itulah kenapa cerita film berputar tentang harapan menjadi kelas menengah, naik kelas secara sosial, janji masa depan yang lebih baik, dan janji akan terjadinya sebuah kemakmuran dan kesejahteraan. Mimpi-mimpi ini terpotret dalam majalah selebriti yang menjadi populer pada tahun 1930-an.

Para sosiolog yakin bahwa suksesnya budaya selebriti ini bukan hanya sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat. Ada golongan yang berpendapat bahwa budaya selebriti dan pop culture adalah suatu bentuk propaganda dari dominasi para elit.

Dengan begini, masyarakat biasa akan memandang kagum kepada selebriti dan kehidupan yang tidak bisa dimilikinya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya budaya selebriti ini memunculkan harapan bagi masyarakat. Sebab, meskipun memiliki kehidupan yang glamor, pada kehidupan nyata mereka adalah manusia biasa yang tidak memiliki kekuasaan besar.

Hal ini membuat hati kecil orang Amerika percaya bahwa kerja keras mampu mengarahkan pada kesuksesan ala budaya selebriti. Mimpi ini juga didukung oleh doktrin individualisme yang berakar dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Rata-rata orang Amerika percaya bahwa manusia lah yang menentukan takdirnya sendiri (self-made man).

Dewasa ini, definisi American Dream yang dipegang oleh generasi muda telah begitu bervariasi. Meskipun makin banyak orang-orang menyuarakan kesetaraan sebagai usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama, makin banyak pula yang menonjolkan tujuan ekstrinsik, yaitu tujuan yang dapat dilihat wujudnya seperti uang dan tempat tinggal mewah.

Bagaimanapun, intisari dari American Dream, yaitu terciptanya kehidupan yang lebih baik melalui usaha sendiri, layak untuk menjadi panutan kita semua. Karena di dunia yang bergerak semakin cepat ini, tidak ada yang bisa menggerakkan kita kepada kemakmuran selain kita sendiri.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect