Campursari dalam blantika musik Indonesia mengacu pada campuran beberapa genre musik kontemporer. Beberapa literatur memilih diksi hasil akulturasi musik untuk menggambarkan kehadiran campursari yang diserap dari berbagai kebudayaan bermusik. Keroncong dan gamelan Jawa adalah unsur musik yang mendominasi campursari. Instrumen lain yang diramu adalah musik barat.
Musik Campursari sebagai Produk Akulturasi
Artikel penelitian Jejak Campursari (The History of Campursari) dan Campursari: Suatu Bentuk Akulturasi Budaya Dalam Musik oleh Joko Wiyoso menelusuri jejak awal kemunculan genre musik ini dan bagaimana akulturasi budaya menghadirkan campursari.
Teridentifikasi, aktivitas musik campursari telah ada sejak tahun 1953. Kala itu, kelompok musik campursari rutin mengisi program siaran radio di RRI Semarang serta sesekali menerima undangan pentas di luar. Campursari di sini merujuk pada perpaduan secara instrumental dan musikal antara gamelan (format gending) dengan musik diatonik (langgam keroncong).
Tahun 1978, kelompok musik Campursari RRI Semarang berusaha mengembangkan pendengarnya dengan cara memasuki industri rekaman. Saat itu, kelompok musik ini dibantu oleh Ira Record yang memang telah bekerjasama dengan RRI.
Hasilnya, di rentang waktu 1978-1980, telah ada sembilan album rekaman musik campursari yang berhasil dipasarkan. Namun memang, musik campursari belum bisa dikatakan tenar pada saat itu.
Baru setelah memasuki tahun 90an, musik campursari kembali hadir dengan format kontemporer. Gamelan dipadupadankan dengan instrumen keyboard dan gitar yang tidak digunakan di format musik campursari sebelumnya. Campursari kemudian digarap dengan langgam keroncong, gending, dangdut, dan jaipong.
Menurut pada konsep akulturasi, beberapa instrumen yang sering digunakan dalam musik campursari dapat dilihat melalui aspek instrumentasi (instrumen musik diatonis dan instrumen gamelan) dan aspek garap musik (langgam keroncong, musik gamelan, jaipongan, dangdut). Beragam aspek ini berasal dari budaya yang berbeda pula. Dalam instrumen gamelan misalnya, ia didapat dari produk budaya gamelan sunda dan gamelan Jawa.
Mengacu pada konsep akulturasi, campursari mengalami proses sinkretisme. Proses ini adalah proses penggabungan dua atau lebih elemen kebudayaan berbeda.
Campursari, Musik yang Adaptif
Penelitian lain, “Perspektif Historis Campursari dan Campursari ala Manthous” yang ditulis oleh Joko Tri Laksono menerangkan bahwa tepatnya pada tahun 1994, campursari tenar menyalip kesenian tradisi lain, khususnya karawitan. Hal ini dikarenakan campursari mampu menyajikan lagu baik bertangga nada pentatonis (wilayah karawitan) dan diatonis (wilayah musik barat).
Campursari hadir sebagai ensambel musik hasil usaha musisi Jawa dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hal ini kembali pada konsep dasar tentang akulturasi musik.
Manthous, seorang musisi kelahiran Playen Gunung Kidul Yogyakarta, adalah musisi yang membuat campursari kembali mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, tidak hanya di tingkat lokal, namun juga hingga ke tingkat nasional. Aransemen musik yang dilakukan Manthous tidak lepas dari tuntutan selera masyarakat kala itu.
Untuk kalangan tua, kerap kali disajikan lagu langgam ataupun gendhing-gendhing, dan keroncong yang telah diaransemen. Sedangkan untuk kalangan muda, kerap kali disajikan jenis lagu pop maupun dangdut.
Pada tahun 1994 inilah, Manthous bersama grup campursarinya juga membuat rekaman dengan repertoar langgam Jawa dan gendhing Jawa. Proses perekaman memang bukan hal yang asing bagi Manthous karena sebelumnya ia pernah bekerja di industri rekaman. Ia pun pencipta lagu yang handal. Beberapa musisi kondang saat itu, tercatat pernah menyanyikan lagu ciptaan Manthous. Diantaranya, Hetty Koes Endang, Jamal Mirdad, juga Evi Tamala.
Untuk strategi penjualan, Manthous menciptakan lagu “Kanca Tani” yang dilantunkan Waljinah “Walangkekek”. Waljinah adalah penyanyi yang banyak digandrungi oleh para petani saat itu. Olehnya, memilih Waljinah adalah dengan harapan agar lagu campursari bisa semakin diterima oleh masyarakat, khususnya di kalangan petani.
Tahun 2012 yang lalu, Manthous berpulang. Namun sebagai produk akulturasi yang cukup adaptif pada perkembangan zaman tanpa menghilangkan kelokalan yang diusungnya, campursari terus melahirkan musisi-musisi kenamaan yang memiliki tempat tersendiri di hati para pendengarnya. Diantaranya adalah Didi Kempot dan Soimah.
Jika dulunya campursari hanya disebarkan melalui gelombang radio, lalu kemudian mulai ditampilkan di hajatan-hajatan rakyat biasa. Lewat tema yang sederhana, campursari pun menjelma musiknya rakyat kecil yang sakral. Beragam tema keseharian tentang cinta dan kesedihan, tentang rakyat jelata, tentang upaya untuk bertahan dan menikmati hidup mewarnai campursari.
Hari ini, campursari lewat sosok Didi Kempot, kembali beradaptasi pada zaman. Diterima oleh kalangan muda, diapresiasi oleh lebih banyak kalangan.