Connect with us
perkembangan industri genre musik
Photo by John Tekeridis from Pexels

Music

Lika-liku Genre Musik di Era Generasi Z, Serta Platform yang Mengikuti

Perkembangan apalagi yang kiranya akan dibawa generasi Z dalam industri musik?

“Label” seakan menjadi musuh besar untuk generasi Z. Intip saja bagaimana generasi ini seakan menolak dikotak-kotakan dalam kategori atau label tertentu. Bahkan untuk gender sampai seksualitas.

Menariknya, keengganan untuk dikotak-kotakan ini juga merujuk sampai ke musik. Genre seakan sudah sepenuhnya ditanggalkan oleh musisi sampai pendengar lagu generasi Z, yang merupakan kelahiran dari tahun 1996 sampai 2000. Musik generasi ini seolah tak segan mencampuraduk beberapa genre berbeda. Tidak untuk melahirkan genre campuran baru seperti di generasi sebelumya. Melainkan justru terbebas dari “kekangan” label sebuah genre.

Percampuran genre di musik memang bukan dimulai di generasi ini. Sejak puluhan tahun lalu, di era 80-an misalnya, genre punk-rock, pop-rock, metal-rock sudah bukan hal yang asing. Di tahun-tahun selanjutnya pun, percampuran genre ini masih menjadi permainan yang tak mengejutkan kalangan musisi.

Seperti pada tahun 2000-an saat pencampuran genre R&B serta pop menjadi sebuah hits tersendiri. Selain itu di tahun 2010-an, percampuran musik latin dengan pop, latin dengan dance electro, sampai latin dan R&B membanjiri tangga lagu di seluruh dunia. Memadu padan, mencampuraduk, dan mengawinkan satu genre dengan lainnya sudah bukan sesuatu yang unik lagi di industri musik.

Genre musik di Generasi Z bukan percampuran. Sebaliknya, genre musik di generasi saat ini justru seolah mendobrak, dan menghancurkan pagar pembatas satu sama lain. Menciptakan sebuah area abu-abu untuk genre musik itu tersendiri.

Ambil contoh saja, single mega hits ‘Old Town Road’ dari Lil Nas X. ‘Old Town Road’ sendiri sebenarnya lagu lawas dengan genre country yang sangat kental. Pada versinya, Lil Nas X mendobrak genre country yang ada di lagu ini. Menyisipkan elemen musik trap sampai hip-hop rap. Percampuran antara beberapa elemen dari genre musik ini juga terdengar sangat bersebrangan dan berbeda satu sama lain. Melahirkan sebuah area bias baru yang uniknya, sangat menarik dan enak didengar.

Contoh lain, Billie Eilish. Musisi kondang yang tahun ini sukses membawa pulang 5 trofi di Grammy Awards ini pun tak berpacu pada satu (atau beberapa) genre saja di musiknya. Bila memaksa untuk digolongkan, maka lagu-lagu rilisan dari Billie tergolong indie. Percampuran antara trap musik, electro, pop, sampai akustik mewarnai musik sang musisi.

Pada wawancara dengan Billboard, Billie juga mengakui bahwa musiknya tak jatuh pada satu genre tertentu. Penyanyi serta musisi muda ini bahkan dengan percaya diri menyebut ia benci dengan adanya konsep genre pada musik. “Saya kira musik tidak perlu dimasukkan ke dalam kategori tertentu.”

Baca Juga: Museum Musik Indonesia dan Dominasi Rock di Malang

Aksi mendobrak genre musik yang lebih ekstrim ditunjukan di lagu ‘R.I.P’ dari Sofia Reyes yang menggandeng Rita Ora Anitta. Lagu dari penyanyi berusia 23 tahun ini didefinisikan Pandora Music memiliki 8 genre berbeda. Masing-masing genre musik memiliki porsi tak lebih dari 16 persen lagu. Tidak itu saja, lagu di album Sofia mengusung genre dari musik khas negara berbeda. Pengaruh kuat dari genre Karibia, Afro-Latin, dan Latin menjadi warna tersendiri di album ini.

Lebih menariknya lagi, bias genre musik di generasi Z bukan hanya diperlihatkan dari rilisan-rilisan yang ada. Platform streaming musik juga seolah memberikan label-label berbeda pada lagu yang dirilis saat ini. Tak melulu berdasarkan pada genre.

Bila di tahun-tahun sebelumnya, platform streaming musik akan memberikan kategori genre seperti Rap, Hip-Hop, Pop, Rock, Alternative, Indie, dan lain-lain. Saat ini, platform streaming musik seperti Spotify, misalnya, sudah melangkah jauh dalam memberikan label dan pengelompokan. Penggolongan lagu justru berdasarkan dari mood, kegiatan yang pas untuk mendengarkan lagu tersebut, sampai juga dari suasana atau vibe yang diberikan.

Penggolongan ini pun sangat menarik. Untuk penggolongan di kategori Mood sedih misalnya, tak akan melulu berisi lagu galau dengan genre akustik yang mengiris-iris hati. Bisa saja lagu dengan irama rock atau trap akan masuk ke dalam penggolongan ini. Salah satu contoh lain bagaimana generasi Z melangkah jauh dari pengkotak-kotakan genre dari label sebuah lagu.

Keengganan akan label serta genre ini juga berpengaruh dengan media mendengarkan, sampai mempopulerkan musik itu sendiri. Perkembangan yang tentu saja paling dirasakan saat ini: platform musik.

Dulu, satu dekade lalu saja, mendengarkan dan mempopulerkan musik melalui internet belum mainstream seperti saat ini. Ketika itu resep untuk menjadi musisi besar dan dikenal tentu saja bergabung dengan label musik. Mempopulerkan lagu-lagu melalui televisi sampai radio. Saat ini? Berkembangnya platform di generasi Z juga berpengaruh dengan bagaimana seorang musisi bisa menjadi populer. Satu hal ini saja terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun.

Di tahun 2010an, Justin Bieber membobol “resep” popularitas dengan mencuri perhatian melalui YouTube. Walau saat itu, Justin masih bergantung dengan peranan label musik yang membawahinya. Shawn Mendes juga menjadi nama musisi lain yang awalnya dikenal di YouTube dengan cover lagu unggahannya. Sebelum bergabung dengan label besar hingga menjadi bintang seperti saat ini.

Dari YouTube, platform untuk musik mulai bergeser ke media sosial. Twitter, Instagram, sampai Facebook bahkan Snapchat. Musisi serta artis seperti Lil Nas X, Billie Eilish, BTS, BLACKPINK mendapatkan perhatian besar dengan marketing yang tepat di media sosial. Saat ‘Old Town Road’ booming dan menjadi viral bersamaan dengan tren meme Yeehaw, Lil Nas X bahkan dengan penuh percaya diri menyebut dirinya sebagai jenius marketing. “Aku memang jenius di bidang pemasaran,” ujarnya, yang tentu saja sangat tepat dengan popularitas dari ‘Old Town Road’.

Billie juga sempat mengucapkan terima kasih untuk media sosial. Mengaku dirinya bukan apa-apa tanpa peranan sounding dari platform ini. “Berterimakasih pada media sosial, karena aku bukan apa-apa tanpanya,” pungkasnya pada wawancara dengan majalah Harper’s Bazaar.

Saat ini, tren platform musik ini pun sepertinya masih terus berkembang. Melihat di tahun 2020, para musisi mulai menyentuh platform berikutnya untuk mempopulerkan lagu mereka: TikTok.

Doja Cat, merupakan salah satu nama musisi yang mulai bersinar setelah lagu-lagunya menjadi viral di TikTok. Kemudian ada Zico, musisi dari Korea Selatan dengan viral hits ‘Any Song’.

Lirikan para musisi untuk platform TikTok juga nampak dari bagaimana marketing di platform ini mulai berjalan. Saat Justin Bieber merilis ‘Yummy’, misalnya. Ia lantas membuat TikTok dan menjadikan platform tersebut sebagai salah satu media untuk promosi.

Perkembangan musik di generasi Z memang tak akan berakhir di sini. Genre yang berkembang dan menolak dikotak-kotakan merupakan satu hal. Selain itu dengan platform yang semakin bervariasi untuk “menaikan” popularitas sebuah rilisan. Di tahun berikutnya, perkembangan apalagi yang kiranya akan dibawa generasi Z di industri musik?

Green Day: Saviors Album Review

Music

The Smile: Wall of Eyes The Smile: Wall of Eyes

The Smile: Wall of Eyes Album Review

Music

The Last Dinner Party: Prelude to Ecstasy The Last Dinner Party: Prelude to Ecstasy

The Last Dinner Party: Prelude to Ecstasy Album Review

Music

Zara Larsson: Venus Zara Larsson: Venus

Zara Larsson: Venus Album Review

Music

Connect