Menyaksikan dokumenter, terlebih mengenai seorang superstar memang tak bisa menggunakan kacamata seperti menonton film lainnya. Antara menggunakan sisi pandang seorang fans, yang ingin menyaksikan sang idola dari sudut pandang berbeda melalui dokumenter mengenai dirinya. Atau melalui kacamata penonton yang justru berharap berkenalan dengan sisi lain seorang superstar, selain yang ditampilkan melalui image di televisi dan radio. Sayangnya, Liam Gallagher: As It Was bisa dibilang kurang memuaskan dari kedua sudut pandang dan kacamata tersebut.
Penyanyi karismatik serta frontman Oasis, Liam Gallagher tampil dalam balutan swagger serta rock and roll dalam setiap performanya di atas panggung. Begitu pun melalui sederet lagu-lagu (solo atau pun bersama band) hits yang dirilis sepanjang dekade. Liam Gallagher: As It Was berusaha menyisir dari sudut sisi “manusia” seorang Liam Gallagher. Sisi soft-heart family man dengan rasa cinta pada ibu serta anak-anaknya, serta bagaimana ia merupakan seorang pekerja keras. Sayangnya sisi yang berusaha ditampilkan ini justru jatuh pada “sekedar” profiling selama 85 menit film berjalan.
Liam Gallagher masih tampil sebagai seorang braggadocio. Film baru berjalan 5 menit saat penonton mendengar Gallagher mendeklarasikan dirinya merupakan yang terbaik, “I know how great I am”. Setengah jam berikutnya, cerita mengalir justru berkebalikan dengan deklarasi tersebut: kegagalan. Dimulai dari gagalnya reuni band Beady Eye, fashion line Pretty Green, sampai pernikahan dengan Nicole Appleton. Seperti juga banyak orang lain, Gallagher pun terpuruk. Rocker yang menjadi superstar sejak usia 20-an ini pun merasakan pahitnya kegagalan dan kehilangan penggemar. Tak itu saja, permasalahan personal yang membuatnya semakin merasa sebagai loser instead of a rocker.
Di sini, cerita transisi dan kebangkitan Gallagher pun dimulai. Proses memulai kembali dari bawah dan menggali inspirasi menulis lagu pun ditunjukkan ke depan layar. Dipermanis dengan kehadiran sang manajer, Debbie Gwyther. Klimaks dari Liam Gallagher: As It Was pun tak berbeda dengan film dokumenter mengenai superstar lain. Akses ke backstage, menunjukan sisi kebangkitan dari atas panggung. Klasik dan tak revolutionary.
85 menit film dokumenter Liam Gallagher: As It Was seakan menjadi sebuah turn off dari sisi mega-star, swagger, seorang Gallagher. Sisi humanity dengan kegagalan serta berusaha untuk kembali bangkit, di atas kertas memang menjadi sebuah konsep menarik. Sayangnya, sutradara Charlie Lightening dan Gavin Fitzgerald yang mengambil footage dengan gaya candid ini justru gagal mendapatkan sisi “menarik” dari konsep tersebut. Belum lagi hilangnya elemen rock and roll di sepanjang 80 persen film menjadi nilai minus lain.
Secara keseluruhan, Liam Gallagher: As It Was merupakan film dokumenter yang membosankan. Walaupun sisi showman dari Gallagher sendiri layak membuat film ini mendapatkan 3 dari 5 bintang.