“It Was Just an Accident” (2025) adalah film drama thriller politik garapan sutradara Iran Jafar Panahi yang meraih perhatian global—termasuk Palme d’Or di Festival Film Cannes 2025 dan dipilih sebagai entri Prancis untuk penghargaan Best International Feature Film di Oscar 2026.
Film berdurasi sekitar 102–103 menit ini menyuguhkan narasi yang pada permukaannya sederhana, tetapi secara struktural dan tematik kompleks, memadukan tragedi, humor gelap, dan kritik sosial tajam dalam sebuah perjalanan moral karakter-karakternya.
“It Was Just an Accident” memposisikan dirinya sebagai film drama psikologis yang serius, nyaris asketik, tentang satu peristiwa kecil yang memicu konsekuensi besar. Film ini tidak berteriak, tidak menggurui, dan nyaris tidak memberikan ledakan emosi. Ia memilih jalur sunyi dan terkendali. Namun justru di situlah problem utamanya muncul: ketika kesunyian berubah dari strategi naratif menjadi penghindaran konflik yang lebih berani.
Film dimulai dengan momen tampak sepele: seorang pria bernama Eghbal sedang mengemudi bersama istri hamil dan anaknya ketika mereka menabrak seekor anjing di malam hari. Kejadian kecil itu menjadi pemicu serangkaian peristiwa yang jauh lebih besar ketika Eghbal mencari bantuan di bengkel milik Vahid, seorang mantan tahanan politik.
Vahid percaya bahwa suara dan cara berjalan Eghbal, termasuk bunyi prostetik kakinya, mengidentifikasinya sebagai “Peg Leg”—seorang pejagal yang pernah menyiksanya di penjara. Dari situ, Vahid menculik Eghbal dengan niat membalas dendam, tetapi ketidakpastian mengenai identitas korban menggiringnya dan beberapa mantan tahanan lain pada dilema moral serius: apakah mereka benar-benar menemukan pria yang dicari, dan apakah balas dendam adalah jawaban yang benar?

Narasi berkembang melalui perjalanan Vahid dan kelompoknya, di mana mereka bergumul dengan trauma, ingatan, dan hubungan antara keadilan pribadi versus keadilan moral. Film ini mengeksplorasi konsekuensi psikologis pengalaman kekerasan sistemik, serta bagaimana korban menghadapi pilihan antara memaafkan dan membalas.
Secara konseptual, pendekatan ini solid. Namun secara eksekusi, film kerap terasa terlalu berhati-hati. Script-nya memilih untuk menahan diri hampir di setiap titik penting. Dialog sangat minimalis, kadang terlalu minimal hingga kehilangan ketajaman dramatik. Banyak adegan berakhir tepat ketika konflik verbal atau emosional mulai terasa menarik, seolah film takut melampaui batas observasi netralnya. Akibatnya, ketegangan moral yang seharusnya menjadi jantung cerita justru terasa tumpul.
Screenplay menempatkan penonton sebagai pengamat pasif, bukan partisipan emosional. Film ini seakan ingin berkata bahwa hidup memang sering tidak memberikan resolusi, namun pernyataan tersebut disampaikan dengan cara yang terlalu literal. Alih-alih membiarkan ambiguitas berkembang secara organik, film ini kerap mengulang motif visual dan situasi serupa tanpa eskalasi berarti. Rasa bersalah hadir, tetapi jarang dipertaruhkan secara nyata.
Dari sisi sinematografi, “It Was Just an Accident” tampil konsisten namun konvensional. Kamera statis, komposisi simetris, dan palet warna dingin mendominasi hampir seluruh film. Pendekatan ini efektif dalam menciptakan jarak emosional dan rasa keterasingan, tetapi juga membuat visual terasa monoton. Beberapa adegan seharusnya menjadi titik emosional justru tenggelam dalam estetika yang terlalu terkendali. Film ini terlihat indah, namun jarang terasa hidup.

Akting para pemain cenderung internal dan tertahan. Performanya teknis rapi dan meyakinkan, namun jarang menembus permukaan. Emosi diekspresikan lewat tatapan kosong, jeda panjang, dan bahasa tubuh minimal. Pendekatan ini selaras dengan visi film, tetapi juga membatasi keterhubungan emosional dengan penonton. Karakter-karakternya terasa seperti studi kasus, bukan individu dengan denyut batin yang kompleks.
Pacing film menjadi salah satu kelemahan paling nyata. Dengan tempo lambat dan ritme yang nyaris datar, film ini menuntut kesabaran tinggi tanpa selalu memberi imbalan dramatik yang setimpal. Beberapa bagian terasa repetitif, seolah film berputar-putar di sekitar ide yang sama tanpa pengembangan signifikan. Ketika film akhirnya mencapai penutup, tidak ada klimaks emosional yang kuat, hanya kesimpulan yang terasa lebih konseptual daripada dramatis.
Secara tematik, “It Was Just an Accident” mengangkat isu penting tentang tanggung jawab moral, bahasa yang digunakan untuk menormalisasi kesalahan, dan cara masyarakat memaafkan diri sendiri. Namun film ini terlalu percaya bahwa keheningan dan pengekangan emosional sudah cukup untuk menyampaikan gagasan tersebut. Padahal, justru di situlah ia kehilangan ketajamannya. Film ini mengamati, tetapi jarang menggugat.
Secara umum film ini mendapatkan pengakuan kritis yang sangat tinggi, dengan skor Tomatometer mencapai 98% dalam ulasan kritikus dan rating positif dari banyak pengulas utama, yang memuji keberanian naratif dan kekuatan tema film. Namun, ada juga suara minor yang menilai film ini overrated, dengan beberapa penonton mengkritik ritme dan akting serta menilai beberapa aspek visual dan dialog kurang kuat.
Sebagai karya sinema, “It Was Just an Accident” adalah film yang cerdas, rapi, dan berniat serius. Namun niat tersebut tidak sepenuhnya diwujudkan dalam bentuk pengalaman emosional yang kuat. Ia lebih berhasil sebagai esai visual tentang rasa bersalah daripada drama yang benar-benar menghantam batin penontonnya.
“It Was Just an Accident” adalah film yang tidak hanya berhasil sebagai thriller moral, tetapi juga sebagai karya reflektif yang mengajak penonton memikirkan ulang konsep keadilan, ingatan, dan kemanusiaan di tengah sistem yang represif. Ini bukan sekadar hiburan sinematik, tetapi juga kontribusi penting dalam sinema dunia untuk narasi tentang trauma, politik, dan etika.

