Sudah satu dekade berlalu sejak Andrew Hozier-Byrne pertama kali menarik perhatian penikmat musik dunia dengan hits-nya, ‘Take Me to Church’. Sebagai musisi dengan profil yang sederhana namun profound, Hozier masih menjadi salah satu yang populer dan menunggangi hati penikmat musik skena utama, terutama di dunia maya.
Kini Hozier kembali dengan “Unreal Unearth”, album ketiganya yang secara berani membawa pendengarkan dalam perjalanan mengikuti sembilan lingkaran neraka terinspirasi oleh tulisan Dante.
Ini bertepatan dengan tahun keempat setelah Hozier sempat merilis “Wasteland, Baby!” pada 2019, sebelum pandemi. Seperti musisi-musisi besar lainnya, “Unreal Unearth” menjadi giliran Hozier curhat dan menceritakan apa yang terjadi dalam kehidupannya selama masa isolasi pandemi, namun dengan pondasi inspirasi yang lebih timeless dan puitis.
The Gist:
“Unreal Unearth” adalah album perjalanan naik turun dari awal hingga akhir. Dalam mendengar setiap track, kita seperti menemukan kisah dan warna suara baru. Mulai dari track-track yang lembut kemudian track yang lebih lantang dan megah.
Hozier terdengar meracik setiap lagu dengan detail dan distinct, tak ada track yang terasa hanya sebagai filler dalam tracklist. Dikomposisi dengan ragam aransemen, elemen genre, hingga lirik-lirik puitis. Album filososif seperti ini akan mengundang kita untuk memahami dan menemukan relasinya dengan kehidupan kita.
Hozier sudah cukup lama menggodok materi dari album ini, tepatnya semenjak masa pandemi. Lagu-lagu dalam “Unreal Unearth” menceritakan masa-masa sulit dalam beberapa tahun terkahir. Baik dalam kehidupan pribadi sang musisi, maupun yang dialami oleh peradaban manusia kala pandemi. Oleh karena ini masih terasa tema kesedihan, perpisahan, perubahan, dan manifestasi dari perasaan terisolasi.
Hozier terinspirasi dengan gagasan tentang perjalanan melalui tempat yang sulit seperti yang dijelaskan dalam tulisan Dante Alighieri; dimana penulis Italia dari abad ke-14 tersebut bicara tentang perjalanan sembilan lingkaran Neraka.
Meskipun Hozier menggunakan kata-kata Dante, pemikirannya tentang cinta, kematian, dan apa yang terjadi setelah kita mati merupakan hasil dari apa yang menjadi masalah kita hadapi saat ini. Daripada sekadar terinspirasi, “Unreal Uearth” menjadi perjalanan Hozier melalui ‘neraka’ kemudian menemukan jalan menuju cahaya, outcome yang lebih positif agar lebih membumi. Ini bukan album yang sesuram kedengarnnya.
Sound Vibes:
“Unreal Unearth” terangkai dari 16 lagu yang memperdengarkan berbagai warna musik, menjadi showcase ambisius sekaligus mendalam dari Hozier, seperti album-album sebelumnya. Namun album ini memiliki eksekusi yang lebih ekspansif terutama dalam segi eksplorasi komposisi musik dan aransemen. Album ini akan membuat kita semakin tertarik dengan sense of music dari Hozier, dimana ia menunjukan usaha dalam berkembang dan membuat musik yang menandingi karya-karya sebelumnya.
Lagu-lagu dari album ini memperdengarkan musik yang bervariasi. Dimulai dengan pembukaan akustik yang kaya dan nyanyian lembut indah, disambut dengan musik orkestra, double tracks ‘De Selby’ akan langsung menarik perhatian sebagai track pembuka. Kemudian alunan piano lembut dalam ‘Butchered Tongue’, hingga folk-pop yang up beat seperti ‘Anything But’, hingga lagu dengan instrumen gitar yang powerful seperti ‘Francesca’.
Masih banyak lagi eksplorasi lintas genre dari Hozier yang bisa dialami dalam “Unreal Unearth”. Sebagai album yang terinspitasi oleh “Inferno” oleh Dante, ini memang terdengar seperti bagaimana melakukan perjalanan dalam lingkaran alam baka yang diromantisasi dalam literasi klasik tersebut. Dimana estetika dan vibes-nya cocok dengan citra Hozier sebagai musisi puitis.
Best Tracks:
Bagian pertama dari track ‘De Selby’ dimulai dengan aransemen akustik sederhana dan nada tinggi. Kemudian secara tak terduga dilanjutkan dengan bagian kedua yang berubah menjadi campuran musik funk dengan electro pop yang lebih bright dan bersemangat dibandingkan dengan bagian pertama yang melankolis. Musik Hozier selalu mencangkup banyak jenis musik, dan album ini terus menjadi showcase akan kemampuannya yang beragam dan mudah beradaptasi.
‘Eat Your Young’ menjadi single sekaligus track terbaik dari album ini. Liriknya bercerita tentang kekasih yang dalam situasi buruk mencoba untuk melarikan diri dari neraka. Meski track lebih didominasi dengan komposisi yang terdengar ceria, ini merupakan perkawinan antara materi gelap dengan musik ceria yang menarik untuk didengarkan. Memang paling cacthy dan paling cocok dijadikan single utama.
‘Sons of Nyx’ menjadi lagu yang menamilkan misteri dan kesedihan. Lagu ini juga menjadi showcase Hozier sebagai musisi yang terbuka untuk mencoba hal-hal baru serta melampuinya. Track ini memiliki aransemen yang terdengar ethereal, berpadu dengan musik orkestra yang lembut sekaligus megah dengan pesona ‘unearth‘. Track ini menjadi track instrumental 3 menit yang lebih dari sekadar filler atau interlude.
Cukup sulit menaruh hati pada satu track saja sebagai favorit dalam album ini. Ada ‘All Things End’ yang memperdengarkan blues-pop. Hingga track terakhir, namun bukan yang akan kita lupakan, ‘First Light’ dimana ini menjadi showcase vocal terbaik Hozier dalam album ini.
Antusiasmenya akan album ini benar-benar sesuai dengan kualitas “Unreal Unearth”, menambah diskografi Hozier yang selalu sajikan materi berbobot. Album ini diisi dengan kemegahan, melampaui dua album sebelumnya, menyajikan cakupan yang lebih luas namun tak lupa memeluk momen-momen introspektif, serta penuh dengan emosi yang secara indah diekspresikan.
Hozier kembali dari kesunyian pandemi, cukup “terlambat” dibandingkan dengan musisi-musisi lain yang telah merilis ‘album pendemi’ pada tahun-tahun sebelumnya. Namun kata terlambat tak berlaku untuk mahakarya seperti “Unreal Unearth”.