Connect with us
Hikaru Utada
Credit: Sony Music Entertainment Japan

Music

Hikaru Utada: BADモードAlbum Review

Album ikonik dari sang ikon.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Hikaru Utada kembali dengan rilisan baru. Bertepatan dengan ulang tahun ke-39, Utada meluncurkan album studio berbahasa Jepang kedelapan dan rilisan kesebelas keseluruhan, ‘BADモード’. ‘BADモード’ menjadi rilisan bilingual pertama dari Utada, dimana album ini mengusung track berbahasa Inggris dan Jepang.

Perjalanan karir Hikaru Utada tidak selalu mulus. Musikalitas musisi Jepang-Amerika ini melalui berbagai lika-liku. Sampai ia bukan saja dikenal luas sebagai superstar dari Jepang, namun juga ikon musik negara tersebut. Bahkan setelah dua dekade berlalu sejak mega hits “First Love”, Utada masih menjadi ratu di industri musik Jepang.

‘BADモード’ atau ‘BAD Mode’ merupakan album terbaru sang penyanyi yang dirilis di bawah Sony Music Japan dan Epic Records Japan. Diluncurkan secara digital pertama kali pada 19 Januari, bertepatan dengan ulang tahun Utada ke-39, versi album fisik dan CD-DVD-BD eksklusif baru dirilis resmi pada 22 Februari.

Untuk album ini, Utada tidak seorang diri. Sang penyanyi sekaligus menulis lagu menggandeng beberapa orang produser untuk turut menyumbangkan di dalam album. Uniknya, masing-masing produser hadir dengan ciri khas musikalitas sendiri. Membawa ‘BADモード’ memiliki berbagai sentuhan gaya musik dengan signature sound khas Hikaru Utada sebagai benang merah.

Skrillex dan Poo Bear menjadi dua nama yang mungkin tidak terduga digandeng Utada sebagai co-producer. Selain keduanya masih ada A.G. Cook dan Sam Shepherd atau Floating Point, serta Nariaki Obukuro. Para co-producer ini tidak saja menyertakan sentuhan musikalitas mereka di dalam setiap track. Melainkan memberikan tambahan nyawa, menghidupkan ‘BADモード’ sebagai salah satu album ikonik dari sang ikon.

‘BADモード’ mengusung genre city pop. Sentuhan dance pop bersinergi dengan musik disco, R&B, dan soul-pop. Kombinasi genre, yang di atas kertas, tidak unik lagi di kancah musik J–pop. Bahkan untuk Utada sendiri, genre city pop dan dance pop sudah diusung melalui sederet rilisan. Termasuk debut yang membesarkan namanya di tahun 1999 dengan ‘First Love.’

Menyadari peran genre musik tersebut di J-pop dalam 25 tahun terakhir, Utada rupanya tidak gentar. Berbeda dengan banyak musisi veteran lain yang memilih mencoba genre dan suara-suara baru; dengan harapan menggapai generasi pendengar dan penggemar berbeda. Utada justru memilih setia dengan genre yang dianggapnya “bekerja” untuknya.

Menariknya, Utada justru berniat untuk membuat genre ini “bekerja” dengan memasukan influence dan insprasi dari musisi serta artis di genre tersebut. ‘BADモード’ jelas terdengar mengusung inspirasi dari musisi R&B seperti Aaliyah. Selain itu, Utada juga mendapat suntikan inspirasi dari musisi soul-pop dan dance pop lain seperti Jennifer Lopez, Mariah Carey, sampai Janet Jackson.

Bisa dibayangkan bagaimana influence dari musisi ternama ini dengan Utada dan deretan co-producer-nya? Hasilnya, tanpa diduga, mengagumkan.

‘BADモード’ terdengar seperti lagu disco dan dance-pop yang diambil dari era pop akhir 1990an dan awal 2000an. Masing-masing track seolah lagu hits yang dirilis oleh para diva musik di tahun tersebut dan membanjiri chat. Seakan lagu-lagu yang akan diputar selama perjalanan di mobil, dan dimainkan berulang-ulang di radio. Singkatnya, lagu dari era kejayaan Hikaru Utada. Namun dengan budget lebih baik dan musik yang lebih dewasa.

Produksi dan aransemen modern serta komposisi dewasa menjadikan ‘BADモード’ tidak terdengar ketinggalan jaman. Album ini bukan rilisan yang akan membuat pendengarnya berpikir merupakan track lama dari tahun 2000an. Bukan juga lagu-lagu yang diharapkan menghadirkan nostalgia.

Setiap track dalam ‘BADモード’ memiliki kualitas “mahal” yang membuat pendengar yakin album ini tidak dirilis di era tahun 2000, kala teknologi di industri musik belum berkembang seperti sekarang. Musik yang dewasa dan trendi (thanks to Skrillex dan Poo Bear) juga membuat ‘BADモード’ menjadi album yang memang layak dirilis di tahun ini.

Title track “Bad Mode” menjadi pembuka album ini dan langsung memberikan kesan modern. Utada menggandeng Floating Points untuk menghadirkan irama breezy dance pop dan disco beat. Lagu ini dengan mudah mengingatkan pada hits Utada di tahun 2000an. Namun dengan sentuhan jazz manis dari Floating Points.

Masih ingat dengan bagaimana Utada menyertakan para co-producer untuk menyuntikan nyawa mereka ke dalam masing-masing track? Untuk “Bad Mode”, inspirasi dan minat Floating Points kepada musik jazz jelas terdengar. Permainan instrumen horns yang begitu apik merupakan tribute untuk Jimmy Jam dan Terry Lewis. Menjadikan lagu untuk track pembuka ini terdengar sebagai dance dan disco pop yang begitu kompleks.

Sentuhan ala Jimmy Jam dan Terry Lewis juga disertakan Utada dan A.G Cook dalam “Kimi ni Muchū.” Track catchy ini dengan mudah mengingatkan pendengar kepada lagu tema ‘The X Files’; sangat relevan dengan tema dance pop 2000an yang menjadi soul album ini.

Tema lain di album ini adalah mengenai cinta, dalam beragam bentuk dan rupa. “Bad Mode” menarasikan tentang cinta platonis kepada sahabat. Sedangkan “One Last Kiss” justru menggambarkan bagaimana Utada memandang cinta yang bisa begitu dalam. Melebihi segala batasan. Track berikutnya, “Time”, yang awalnya berjudul “Temozolomide” obat kanker yang dikonsumsi salah satu teman Utada, bercerita mengenai batasan antara cinta platonis dan romantis. “We don’t fit in this mold of romantic love.”

Kesetiaan Utada kepada lirik kasual kembali dituangkan dalam ‘気分じゃないの (Not in the Mood).’ Lagu yang juga digarap bersama Floating Points ini menarasikan keseharian yang biasa saja di sebuah kafe. Ada warna-warni furnitur, anak-anak kecil yang bermain dengan lugu, sampai wanita gelandangan yang menjual puisi. Kemampuan Utada menulis lirik benar-benar nampak di track ini.

“Find Love” mungkin disengajakan sebagai filler dalam album. Mengingat lagu ini seakan menjadi seseorang yang hanya menatap dari jauh sebuah pesta dansa, yang hiruk dan pikuk dengan musik disko. Namun sebagai filler, “Find Love” justru menghadirkan vokal terbaik pada chorus. Ditambah komposisi backing vokal yang menjadikan lagu ini layak digelari sebagai filler-track terbaik.

Setelah “Find Love” yang membicarakan tentang self-love, Utada meneruskan dengan “Face My Fear”. Lagu dengan Skrillex sebagai co-producer ini memadukan EDM dengan balada. Vokal Utada memenuhi dari awal hingga akhir, dan tidak selalu terdengar baik. Namun sekali lagi, sepertinya memang disengajakan seperti itu.

“Face My Fear” is all over the place. Lagu ini ramai, hiruk, pikuk, dan sangat sibuk dengan berbagai instrumen dan synth EDM. Ditambah vokal Utada yang pada satu waktu mendayu dan saat lain dihancurkan dengan auto-tune. Kesibukan dan keramaian yang anehnya justru diterima. Layaknya pasar malam atau karnaval.

Chemistry Utada dan Floating Points sepertinya patut diberi acungan jempol. Track-track terbaik di album ini lahir dari kombinasi dua musisi dan handal ini. “Somewhere Near Marseilles” kembali menghadirkan musik disco awal 2000an dengan sentuhan harmonisasi city pop. Liriknya juga menunjukan bagaimana Utada takut dengan versi cinta yang harus berkomitmen: “Say I’m not the only one,” dengungnya.

‘BADモード’ hadir sebagai album yang memuaskan. Bila tidak bisa dikatakan sempurna. Permainan instrumen dalam masing-masing track menjadi highlight istimewa. Bahkan permainan biola di “Bad Mode” dari sang putra, yang berumur 6 tahun ketika album ini dirilis merupakan bagian yang langsung tertangkap telinga.

Kehadiran co-producer, dan kesuksesan mereka merasuk ke dalam album, menyatu dengan Utada dan menjadi jiwa baru di setiap track pun layak mendapatkan tepuk tangan. Sebuah produksi dan aransemen mengagumkan untuk menghadirkan semua sosok di balik layar sebagai tokoh utama.

Lahir dari seorang ikon, ‘BADモード’ besar menjadi sebuah album ikonik. Well done untuk rilisan setelah 2 dekade karir!

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect