Dalam satu agama, keimanan seseorang selalu diuji dalam berbagai cara yang telah direncanakan oleh Tuhan. Terlepas dari beragam kejadian yang hadir menyelimuti kehidupan, semuanya ditujukan demi melihat ketabahan manusia dalam menghadapi cobaan di depan mata. Singkatnya, itulah muatan utama dalam ‘Hidayah’ yang saat ini dapat ditonton di bioskop Indonesia terdekat.
‘Hidayah’ merupakan film drama horor yang diproduksi oleh Pichouse Films arahan Monty Tiwa. Membawa Ajil Ditto dan Givina sebagai pemeran utamanya, film ini berkisah tentang Bahri yang diminta kembali ke desa Mekarwangi karena Ratna yang membuat desa . Akan tetapi, penduduk desa justru menyalahkan Bahri, terutama setelah meninggalnya beberapa warga lain dalam waktu singkat.
Sejatinya film ‘Hidayah’ ini merupakan adaptasi dari sinetron legendaris Indonesia berjudul sama yang sempat mengudara antara 2005 hingga 2007 silam. Dengan plot yang kurang lebih serupa dengan berbagai episode pada source material-nya, versi filmnya tampil dengan penceritaan yang terasa runtut dengan perlahan.
Intisari dari ‘Hidayah’ ini adalah tentang seseorang yang mencari jalan terang dalam setiap kegelapan di depan mata tanpa melupakan Tuhan. Secara keseluruhan, film tak melenceng akan hal itu. Akan tetapi, representasi orang beriman yang dituntut atas kesengsaraan di sekitarnya seakan membuatnya mudah sekali dibanding-bandingkan dengan ‘Qodrat’. Melalui representasinya yang dibuat se-grounded mungkin, film ini terasa generic dan tampak sangat menggurui.
Berbeda dengan materi sumbernya, ‘Hidayah’ dikemas dalam drama religi yang dibalut dalam genre horor. Seiring pemutarannya yang hanya berdurasi 92 menit, aspek horornya hanya menonjol pada paruh awal film dengan deretan cara untuk menebar ketakutan. Meski singkat, Monty Tiwa cukup berhasil dalam membuat bulu kuduk berdiri melalui karakteristik slowburn dalam permainan kamera dan scoring-nya.
Berbekal deretan bintang ternama, performa para pemerannya terlihat kurang berkesan, termasuk Ajil Ditto yang biasa-biasa saja. Satu-satunya yang tampak paling menonjol adalah Givina sebagai Ratna yang berhasil memberikan kengerian tersendiri seiring pemutaran. Menyusul Givina, ada Unique Priscilla yang cukup mampu menghidupkan karakter ibu merana dengan rangkaian raut emosi tertampil di layar.
Secara teknis, ‘Hidayah’ tampil dengan kadar yang cukup. Tak buruk, namun juga bukan yang teramat bagus. Set design bertema pedesaan berhasil ditampilkan dengan baik, didukung dengan sinematografi yang cenderung steady dan scoring bernuansa calm. Akan tetapi, production value yang disajikan masih bernuansa film untuk streaming platform, menjadikannya kurang optimal untuk dinikmati di layar lebar.
Pada akhirnya, ‘Hidayah’ berpotensi untuk membawa kembali legacy yang sempat hilang dengan representasi horor religi cukup menggugah. Akan tetapi, plot yang grounded dan deretan cast yang tak terlalu berkesan membuatnya menjadi satu tontonan generic dengan penyampaian pesan cenderung menggurui.