Connect with us
Hiatus Kaiyote
Photo: Claudia Sangiorgi Dalimore

Music

Hiatus Kaiyote: Mood Valiant Album Review

Harmonisasi moody jazz dan neo-soul dengan vokal eksentrik Nai Palm.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Hiatus Kaiyote kembali menggebrak melalui album baru, ‘Mood Valiant.’ Peraih dua nominasi Grammy Awards ini mengakhiri masa “hiatus” panjang dengan meluncurkan album ketiga.

‘Mood Valiant’ hadir menyusul kesuksesan ‘Tawk Tomahawk’ di tahun 2012 dan ‘Choose Your Weapon’ pada 2015. Album ini hadir setelah para anggota Hiatus Kaiyote melalui berbagai lika dan liku kehidupan masing-masing. Dimana rupanya, memberikan suntikan dan sentuhan berbeda pada musikalitas mereka di album terbaru ini.

Berbeda dengan dua album sebelumnya pula, ‘Mood Valiant’ diproduksi secara matang di studio. Hingga memberikan ekspansi pada pandangan musik mereka yang ingin disampaikan ke pendengar. Dua album pertama band ini seakan direkam begitu saja secara live; meski hal ini justru sukses mengabulkan visi raw dan free yang ingin dicapai.

‘Mood Valiant’ juga menghadirkan inspirasi-inspirasi dari genre musik lain. Tak hanya pop, yang disisipkan pada beberapa track. Melainkan pula cyberpunk R&B dan suara musik khas Latin Amerika.

Kekayaan musikalitas memang menjadi unggulan tersendiri Hiatus Kaiyote. ‘Mood Valiant’ tidak ketinggalan menyertakan berbagai unsur dan elemen musik berbeda. Ditambah permainan bass, drum, dan keyboard dari Paul Bender, Perrin Moss, dan Simon Mavin; serta vokal apik nan eksentrik sang singer/songwriter/guitarist Naomi “Nai Palm” Saalfield.

Kuartet dari Melbourne, Australia ini menghadirkan musik yang seakan menjadi pengalaman spiritual tersendiri bagi pendengarnya.

Album dibuka dengan instrumen string dan suara indah burung di “Flight of the Tiger Lily.” Ambience dan mood music di opener ini tepat menggambarkan vibe yang ingin dihadirkan melalui ‘Mood Valiant.’ “Flight of the Tiger Lily” dengan mulus membuka ke nada-nada cantik bass dan drum di “Sip Into Something Soft”. Vokal Nai Palm menjadi garis bawah menegaskan keindahan aransemen di track ini.

Simon Mavin memainkan synth apik dengan keyboard untuk “Chivalry Is Not Dead.” Track yang dirilis beberapa waktu sebelum peluncuran resmi album ini menggambarkan genre dan identitas musik Hiatus Kaiyote: future neo soul, cyberpunk R&B, dengan vokal khas Nai Palm.

Nai Palm tidak saja mengunggulkan vokalisasi apik dengan warna suara eksentris khas. Ia menuliskan lirik lagu ini mengenai ritual persetubuhan leopard slugs dan kuda laut. “If I were a leopard slug,” nyanyinya, “I would reach out with the blue rose of ours, wrapping myself around you.”

Hiatus Kaiyote dan lirik tidak biasa memang suatu kesatuan. Lirik yang bercerita tentang cinta, nafsu, dan kesetiaan menjadi landasan lagu dari band kuartet ini.

“And We Go Gentle” memiliki struktur unik, dimana lagu ini terdengar seperti sebuah medley. Hiatus Kaiyote juga memberikan aransemen noe soul dengan hip hop. Melahirkan sebuah perpaduan melodi unik yang sepertinya jarang ditemukan di musik lain.

Bait lirik “Surface will it suffice, the clay grows dry, but you keep your borders guarded / and the heights of which you own, feed me rhinestones, bowing into the void,” pada lead single “Get Sun” menjadi daya tarik lain. Nai Palm dan kemampuannya menulis lirik menjadikan lagu-lagu terdengar memiliki makna mendalam. Terutama dengan iringan irama bossa nova dan instrumen string di latar belakang.

Lagu ini digarap bersama Arthur Verocai setelah perjalanan ke Rio de Janeiro pada 2019. Sehingga tidak heran bila ada sentuhan berbeda dari suara musik khas Hiatus Kaiyote di lagu ini.

“All The Words We Don’t Say” juga mengusung musik eksperimental yang tak biasa ada dalam diskografi Hiatus Kaiyote. Dentuman synth dan funky groove dari gitar, bass, dan drum menghadirkan kombinasi musik menarik sekaligus unik.

Track berikutnya, “Rose Water” menghadirkan outro dari Mavin dan instrumen piano nan ciamik. Sedangkan “Red Room” membawa kembali nada-nada neo soul dan vokal cantik Nai Palm mendendangkan tentang matahari terbenam dari dalam kamar: “It feels like I’m inside a flower,” nyanyinya, “it feels like I’m inside my eyelids.” Bender dan Moss memberikan sentuhan manis tersendiri dengan groove bass dan drum mereka.

Mavin kembali memukau dengan permainan pianonya di “Stone or Lavender.” Nada-nada dari dentingan piano menambah sisi sensitif serta melodramatis di vokal Nai Palm. ‘Mood Valiant’ ditutup dengan track playful “Blood and Marrow,” yang nyaris memiliki irama dan vibe dari Mario Kart.

Bagi pendengar Hiatus Kaiyote dari album sebelumnya, ‘Mood Valiant’ mungkin tak inovatif seperti ‘Tawk Tomahawk’. Tidak pula sebebas ‘Choose Your Weapon’. ‘Mood Valiant’ terdengar eksperimental namun tetap berada dalam landasan musik khas Hiatus Kaiyote. Bahkan instrumental di track-track album ini pun menggunakan teknik yang cukup eksperimental.

Di sisi lain, ‘Mood Valiant’ justru tepat untuk pendengar yang baru pertama kali berkenal dengan Hiatus Kaiyote. Musik irama pop dan neo soul-jazz dan vokal eksentris di album ini catchy, mudah dicerna tanpa terdengar terlalu radio-friendly. Bagi pendengar baru, ‘Mood Valiant’ akan menjadi perkenalan untuk jatuh cinta dengan musik Hiatus Kaiyote.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect