Connect with us
Five Nights at Freddy's Review
Universal Pictures

Film

Five Nights at Freddy’s Review: Horor Adaptasi Video Game Diramaikan Fans Service 

Produksi totalitas namun kurang jumpscare dan naskah terlalu bertele-tele.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Five Nights at Freddy’s” merupakan seri video game populer yang pertama kali dirilis pada 2014 silam. Video game bergenre survival horror karya Scott Cawthon ini sebetulnya miliki plot sangat sederhana; pemain harus bisa bertahan selama lima malam di Freddy Fazbear’s Pizza dengan teror animatronik ‘berhantu’. Setidaknya itu plot dari instalasi pertamanya, karena kemudian ada seri-seri berikutnya yang memperluas cerita dari semesta horor ini.

Akhirnya diadaptasi menjadi film “Five Nights at Freddy’s” dibintangi oleh Josh Hutcherson, menjadi salah satu yang diantisipasi periode ini. Ia berperan sebagai Mike, seorang kakak yang berusaha menyambung hidup demi mempertahankan hak asuh adiknya, Abby (Piper Rubio).

Dalam keadaan mendesak, ia akhirnya menerima pekerjaan sebagai petugas keamanan di Freddy Fazbear’s Pizza. Film ini juga dimeriahkan oleh Matthew Lillard dan Elizabeth Lail (You).

Five Nights at Freddy's

Hidupkan Freddy Fazbear’s Pizza dengan Animatronik Memikat

Presentasi terbaik dari adaptasi “Five Nights at Freddy’s” ini adalah desain produksinya. Ini sesuai ekspektasi sebagai film horor yang diproduksi oleh standar Blumhouse Production (kemudian dipromosikan oleh Universal Pictures). Terutama dalam membawa Freddy Fazbear’s Pizza sebagai latar utama. Desain restoran pizza anak-anaknya sajikan estetika restoran sekaligus arcade terbengkalai yang menyeramkan.

Film adaptasi ini juga memberikan usaha lebih dalam membangkitkan karakter animatronik ikoniknya dengan animatronik sungguhan. Mulai dari Freddy Fazbear, Bonnie, Chica, Foxy, hingga karakter ‘Yellow Rabbit’. Meski gerakan animatorniknya cukup terbatas, namun justru itu yang membuat realistis.

Selain karakter animatronik utama, ada beberapa karakter tambahan yang muncul sebagai fans service. Dimana hanya akan berkesan buat kita yang memang mengikuti semua instalasi dari warabala video game ini. Karena tidak akan familiar buat penonton awam.

Tidak Berhasil Mereplika Ketegangan Survival Seperti dalam Video Game

Jumpscare merupakan trik dalam film horor yang belakangan mulai diremehkan. Namun, “Five Nights at Freddy’s” seharusnya bisa menjadi kesempatan terbaik untuk memasukan jumpscare yang sempurna, karena trik tersebut yang membuat video game horor ini sangat terkenal. Padahal adegan prolognya sudah menunjukan ketegangan dan jumpscare yang  cukup serupa dengan materi sumbernya. Mengecewakan film adaptasi ini melewatkan kesempatan untuk mengeksploitasi trik jumpscare.

Penampilan Freddy Fazbear dan kawan-kawan juga akhirnya sama sekali tidak menakutkan. Karena plot film ini sangat berbeda dengan aturan main dalam video game-nya. Kurang jelas sebetulnya apa yang ingin dijadikan sumber teror dan horor melihat presentasi dari animatroniknya yang sempat dijadikan “teman”. Setiap aktor dalam film ini juga tidak memberikan penampilan terbaik.

Elizabeth Lail sebagai Vanessa, tampil sebagai karakter bala bantuan untuk Mike. Entah mengapa setiap kali ia membawakan dialog, terdengar terlalu kaku dan tanpa emosi seperti dubbing karakter video game murahan. Ini juga bukan penampilan terbaik Josh Hutcherson, begitu pula Piper Rubio sebagai Abby juga masih kurang aktingnya. Semuanya tidak berhasil menampilkan ketakutan dan kegelisahan yang mampu mempengaruhi penonton.

Plot Terlalu Bertele-tele dan Membosankan

Sebetulnya film adaptasi pertama ini bisa jasa setia dengan konsep single survival untuk plotnya. Namun penulis naskah tampak berusaha terlalu keras untuk membuat video game yang sederhana untuk menjadi lebih kompleks. Ada usaha mengadaptasi teori-teori non-official yang diselipkan dalam naskah, begitu pula materi sumber yang canon. Kemudian dicampur juga dengan modifikasi orisinal dari penulisnya. Akhirnya malah tercipta skenario dengan plot bertele-tele.

Pada babak-babak pertama, “Five Nights at Freddy’s” sempat memikat dan membuat kita penasaran. Namun memasuki babak pertengahan, ada perubahan plot yang membuat penonton bingung dengan eksekusi horornya. Akhirnya, pada titik tersebut cerita mulai terasa membosankan. Adegan reveal penjahat sesungguhnya pun jadi terasa underwhelming. Buat yang sudah lihai memprediksi alur film horor, pasti sebetulnya sudah bisa menebak dari awal.

Pada akhirnya, film adaptasi “Five Nights at Freddy’s” ini berusaha terlalu keras untuk menyenangkan hati penggemarnya. Satu-satunya usaha yang berhasil dieksekusi adalah presentasi desain produksi lokasi dan animatroniknya. Begitu pula penampilan karakter-karakter game yang tidak terduga akan muncul secepat itu. Namun terlalu banyak referensi yang ingin dicangkup, serta usaha memodifikasi cerita yang terlalu rumit padahal akhirnya tidak saling mendukung dan jatuhnya membosankan. Masih kecewa mengapa tidak setia dengan trik jumpscare dan genre survival horror saja yang basic tapi dijamin lebih seru dan ramai  untuk ditonton di bioskop.

The Crow 2024 The Crow 2024

The Crow Review: Kebangkitan Baru dengan Sentuhan Gotik Modern

Film

The Babadook (2014) The Babadook (2014)

7 Rekomendasi Film Horor untuk Menemani Malam Halloween

Cultura Lists

Influencer Review Influencer Review

Influencer Review – Thriller Gelap di Era Media Sosial

Film

Irreversible/Irréversible (2002) Irreversible/Irréversible (2002)

Irreversible Review: Balas Dendam Pemerkosaan Brutal

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect