Randall Mindy (Leonardo DiCaprio) dan Kate Dibiasky (Jennifer Lawrence) adalah peneliti level rendah dalam bidang ilmu luar angkasa. Suatu hari, Kate menemukan sebuah komet yang sedang melaju menuju planet bumi.
Bukan sesuatu yang harus dirayakan, komet yang diberi nama Dibiasky tersebut berpotensi besar menghancurkan planet bumi dalam waktu dekat. Harus menceburkan diri dalam rana politik, media, hingga melawan kapitalisme, memberikan peringatan pada masyarakat luas ternyata tidak semudah yang mereka duga.
Film bertema apocalypse sudah bukan niche baru lagi di Hollywood. Di masa pandemi yang terasa seperti akhir dunia ini, sepertinya telah menginspirasi Adam McKay untuk mewujudkan “Don’t Look Up”. Jika biasanya film serupa identik dengan genre aksi dan petualangan, “Don’t Look Up” mempresentasikan bagaimana sebuah fenomena akhir dunia mempengaruhi aspek politik dan sosial, terutama di Amerika Serikat.
Ilmu Pengetahuan, Politik, Kapitalisme, & Media Sosial
Film dimulai dengan premis yang berfokus pada fenomena luar angkasa, dengan karakter-karakter utama dalam bidang ilmu pengetahuan bersangkutan. Sudut pandang film juga lebih berpihak pada para karakter ilmuwan, Randall dan Kate. Dengan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang komet Dibiasky, mereka bisa merasakan ketakutan dan kepanikan akan akhir dunia dengan persentase tinggi.
Awalnya kita sebagai penonton mungkin juga tidak bisa memahami ketakutan yang mereka rasakan karena jujur saja, banyak dari kita yang awam tentang ilmu pengetahuan luar angkasa. Namun, setidaknya naskah berhasil membuat kita berpihak pada Randall dan Kate.
Konflik mulai muncul ketika materi ilmu pengetahuan yang kita dapatkan harus terkontaminasi dengan kepentingan politik dan kapitalisme. Cukup relevan jika disandingkan dengan fenomena Pemilu di Amerika Serikat pada 2021. Dimana ada golongan yang patuh protokol kesehatan dan sebaliknya, bagaimana tindakan tersebut berubah menjadi prevensi politik, dimana sama sekali tidak relevan dan tak peduli dengan masalah sesungguhnya. Kemudian bagaimana manusia bisa sangat bebal dan masih mengutamakan profit materi meski planet bumi sedang diambang kepunahan.
Selain politik dan kapitalisme, kita tidak bisa lepas dari peran media sosial saat akhir dunia terjadi di bumi kita yang sudah serba digital. Dimana tak ada batasan lagi dari berita darurat global dengan meme. Ditambah dengan pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk pansos hingga membuat ‘challenge’ yang membahayakan dan konyol.
Naskah Kronologis dan Punya Pesan untuk Menyadarkan Masyarakat yang Bebal
Kebebalan merupakan salah satu sifat yang muncul pada masyarakat di masa pandemi ini. Contohnya saja orang-orang yang menolak vaksin dan menggunakan masker, hingga menciptakan kerumunan yang tidak mengindahkan protokol kesehatan.
Dalam “Don’t Look Up”, banyak orang bebal dan malah bercanda ketika planet bumi sedang dalam hitungan mundur menuju kiamat. Bagaimana pemimpin dunia dan pebisnis benar-benar bebal dan sangat tidak sadar dengan bencana yang sedang terjadi. Karena kebanyakan dari kita, manusia, tidak bisa menyesal dan ketakutan jika sebuah kemalangan belum benar-benar terjadi.
Dari awal hingga akhir, setidaknya “Don’t Look Up” memiliki plot yang kronologis dan mudah diikuti. Premis macam ini juga cenderung membuat penonton bertahan hingga akhir karena rasa penasaran; apa planet bumi akan hancur atau tidak dalam kisah ini?
Ketertarikan kita didukung dengan penampilan aktor berbakat dan populer, mewarnai setiap adegan sepanjang film, ditambah dengan alur cerita yang masuk akal. Kita bisa melihat hal tersebut bisa terjadi di dunia nyata, jika benar akan ada komet menghantam planet bumi.
Editing yang Berantakan, Materi Komedi yang Tanggung
Salah satu kekurangan dari “Don’t Look Up” adalah editing-nya yang cukup berantakan. Sangat banyak adegan yang dieksekusi seakan bertabrakan menjadi satu. Dalam segi visual dan musik latar sangat kontras dan membuat penonton pusing saat menonton. Beberapa diedit dengan gaya ‘perfectly cutted scream’ yang cukup repetitif. Bukan masalah utama, namun cukup berkontribusi pada keseluruhan sinematografi “Don’t Look Up” yang seharusnya bisa lebih epic.
Premis dan konflik yang dikandung dalam naskah film ini sebetulnya sangat menarik dan patut diilhami secara serius. Namun, entah kenapa sutradara memutuskan untuk memberikan sentuhan komedi yang tanggung.
Bisa jadi lucu untuk beberapa dari kita, namun eksekusinya kurang melebur sempurna dengan sisi serius dalam kisah ini. Sekalipun ingin dikategorikan sebagai black comedy atau satir, jatuhnya tetap tidak sempurna dan membuat film ini tidak bisa dikategorikan sebagai film yang sempurna secara sinematik.
Pada akhirnya, “Don’t Look Up” bukan film terbaik yang ada di Netflix saat ini, namun cukup menghibur dan seru untuk ditonton pada momen perayaan Tahun Baru yang masih terasa.
