“Close” merupakan film Eropa dari sutradara Luka Dhont, tayang perdana di Cannes Film Festival 2022 dan berhasil memenangkan penghargaan Grand Prix. Film drama coming of age merupakan kolaborasi produksi antara tiga negara; Belgium, Prancis, dan Belanda.
“Close” juga masuk nominasi Best International Feature Film pada Academy Awards ke-95 kemarin. Dimana “All Quiet on the Western Front” dari Jerman yang dinobatkan sebagai pemenang Oscar. Meski tidak memenangkan piala Oscar, film ini patut diakui sebagai salah satu kandidat kuat dalam kategorinya.
Leo (Eden Dambrine) dan Remi (Gustav De Waele) adalah remaja 13 tahun, keduanya sahabat karib yang suka menghabiskan waktu bersama. Saking dekatnya, teman sekelasnya melihat keduanya sebagai sepasang kekasih. Merasa canggung dan membantah pernyataan tersebut, mulai tercipta jurang di antara Leo dan Remi. Keduanya semakin menjauh hingga akhirnya menghadapi konsekuensi yang fatal.
Angkat Isu Toxic Masculinity dan Depresi pada Remaja
Film ini sekilas terlihat mirip dengan “Little Men” (2016) yang disutradarai Ira Sachs. Sama-sama memiliki premis tentang persahabatan antara remaja laki-laki belasan tahun, namun “Close” memiliki isu yang berbeda, yaitu mengangkat isu toxic masculinity pada usia dini.
Ketika remaja perempuan bergandengan tangan dan berpelukan di ruang publik, dijamin tidak akan timbul pertanyaan macam-macam. Namun, ketika dua remaja laki-laki menunjukan interaksi serupa, banyak orang akan mempertanyakan hubungan mereka yang diasumsikan lebih dari sekadar sahabat. Ini salah satu reaksi subtle dari toxic masculinity yang diangkat menjadi konflik utama dalam “Close”.
Sangat menarik ketika isu ini diterapkan pada skenario persahabatan laki-laki di masa pubertas. Apalagi pada usia awal belasan, dimana remaja mulai mengalami berbagai hal untuk pertama kalinya. Mulai dari hal-hal emosional, fisik, hingga pemahaman akan hal yang principal. Dalam “Close”, perspektif utama lebih fokus pada Leo yang mengalami dilema lebih dibandingkan dengan Remi. Ia menunjukan rasa tidak nyaman di sekitar Remi, apalagi ketika sahabatnya tersebut masih suka tidur satu kasur dengannya atau sekadar bersandar padanya di tempat umum.
Hingga akhirnya ia mulai mencari kegiatan yang ia pikir lebih maskulin bersama teman laki-laki lainnya. Sementara Remi akhirnya merasa ditinggal dan dicampakan oleh sahabatnya sendiri. Sayangnya, kita tidak terlalu melihat banyak perspektif dari Remi yang bisa bersinggungan pada topik depresi pada remaja. Sebagai penonton yang selalu mengikuti perspektif Leo, kita jadi tidak terlalu paham bagaimana Remi akhirnya mengalami depresi berat.
Narasi Hening Pacarkan Emosi yang Lantang
“Close” menggunakan narasi visual yang terlihat sangat natural dan otentik. Aplikasinya seperti drama slice of life yang tenang, namun dalam skenarionya terkandung topik yang berat. Kita akan mengikuti Leo yang menjalani kesehariannya di rumah dan di sekolah. Mulai dari menghabiskan waktu bersama Remi, hingga secara perlahan mulai mencari kegiatan lain untuk menjauhi sahabatnya tersebut.
Sebagai remaja yang tidak terlalu banyak bicara, hampir minim kita melihat Leo mengungkapkan perasaannya dalam dialog. Sikap ini juga masih bersinggungan dengan topik toxic masculinity; laki-laki tidak bicara tentang perasaannya dan tidak menangis meski sedang bersedih.
Meskipun dalam keheningan, penonton akan tetap bisa melihat emosi yang lantang dalam setiap adegan. Kita tahu pasti Leo mati-matian menahan emosinya, membuat kita ikut sesak dan berharap ia segera meluapkan perasaannya.
Eden Dambrine menjadi aktor muda yang kualitas aktingnya patut dipuji sebagai jantung dari “Close”. Begitu pula Gustav De Waele sebagai Remi yang pada beberapa adegan akan membuat penonton patah hati. Keduanya tampilkan akting dengan arahan yang terlihat effortless, yang membuat film ini terasa real dan menghantam penontonnya meski dengan keheningannya.
Pemanfaat Sinematografi Menawan untuk Storytelling yang Brilliant
Lepas dari ceritanya yang membuat penonton sedih, patah hati, dan depresi, “Close” memiliki sinematografi yang sangat indah. Adegan pertama film dijamin akan langsung memikat penonton secara visual. Melihat Leo dan Remi berlari di padang bunga diikuti dengan kamera yang steady. Ada cukup banyak adegan Leo dan Remi berlari, berjalan, dan bersepeda berdampingan dengan eksekusi camera work yang sama. Selalu dari sisi samping Leo sebagai perspektif utama.
Sebagai film yang sangat mengandalkan narasi visual, eksekusi adegan tersebut akhirnya menjadi aspek yang khas dalam adegan-adegan “Close”. Secara bertahap memperlihat perkembangan hubungan antara Leo dan Remi secara sinematik.
Berlatar di area rural Belgia yang dikelilingi padang bunga dan alam nan hijau, perubahan musim sebagai latar waktu “Close” juga menjadi elemen yang menarik. Secara tidak langsung men-setting mood seiring berjalan plot dalam setiap adegan. Mulai dari semarak mekar bunga yang memuncak sebelum musim gugur, kesedihan di saat hujan, perasaan melankolis di musim dingin, hingga akhirnya rebirth atau awal baru pada musim semi.
“Close” merupakan film dengan presentasi sinematografi yang hangat dan indah, membuat topik yang cukup depresif tidak terlalu berat untuk ditonton dan dimaknai. Karena pada akhirnya, film ini mengangkat isu yang penting untuk dipahami, terutama seputar membimbing remaja laki-laki melalui masa pubertas di tengah stigma toxic masculinity.