Quantcast
Charisma Review: Di Antara Pohon, Kematian, dan Makna Eksistensi - Cultura
Connect with us
Late Spring Movie
CHARISMA Kiyoshi Kurosawa

Film

Charisma Review: Di Antara Pohon, Kematian, dan Makna Eksistensi

Kiyoshi Kurosawa menghadirkan alegori eksistensial yang menumbuhkan keheningan di antara absurditas manusia dan alam.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Disutradarai oleh Kiyoshi Kurosawa, Charisma (1999) adalah salah satu karya paling enigmatik dalam sinema Jepang modern. Film ini tidak menawarkan jawaban, melainkan serangkaian pertanyaan yang tumbuh liar seperti pohon misterius di tengah hutan yang menjadi pusat narasinya. Dalam gaya khas Kurosawa yang memadukan realisme dingin dengan atmosfer surealis, “Charisma” menantang penontonnya untuk merenung tentang batas antara kehidupan dan kematian, moralitas dan ambiguitas, manusia dan alam.

Cerita berpusat pada Yabuike Goro (Koji Yakusho), seorang detektif yang gagal menyelamatkan sandera di awal film. Ia kemudian ditugaskan ke daerah terpencil dan menemukan hutan dengan satu pohon unik bernama “Charisma.” Pohon ini menjadi sumber konflik antara kelompok yang ingin melindunginya sebagai simbol kehidupan, dan mereka yang menganggapnya racun bagi ekosistem. Goro terjebak di antara dua pandangan ekstrem ini, sementara film perlahan berubah menjadi meditasi filosofis tentang eksistensi dan kehancuran.

Script karya Kurosawa menolak pola naratif linear. Dialognya sering terasa seperti potongan teka-teki yang menyimpan lapisan makna. Pohon Charisma bukan sekadar simbol ekologi, melainkan representasi kekuasaan, spiritualitas, dan keinginan manusia untuk memberi makna pada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Film ini mengingatkan pada karya Tarkovsky dalam hal keheningan dan spiritualitas yang samar, tetapi tetap membawa keunikan khas Jepang: perpaduan antara absurditas dan kesadaran moral yang mengganggu.

Plot Charisma sengaja bergerak lambat, menolak struktur tiga babak tradisional. Setiap adegan disusun seperti mimpi yang setengah teringat, penuh jeda dan keheningan. Kurosawa menempatkan penonton sebagai saksi, bukan peserta—memaksa mereka untuk menafsirkan sendiri pesan moral di balik absurditas yang tampak. Tidak ada pahlawan, tidak ada penjahat; hanya manusia yang tersesat di antara ide dan keyakinannya sendiri.

Sinematografi adalah jantung dari film ini. Kamera statis dan komposisi simetris menciptakan rasa tenang sekaligus tekanan psikologis. Warna-warna kusam—dominan abu-abu, hijau lumut, dan biru dingin—menghidupkan kesan dunia yang nyaris mati, seperti alam yang sudah lelah menghadapi manusia. Setiap gambar tampak seperti lukisan surealis, di mana pohon menjadi ikon mistik yang menembus batas realitas. Kurosawa menggunakan ruang dan cahaya untuk memperlihatkan jarak antara manusia dan lingkungan, seolah berkata bahwa keterasingan itu sudah menjadi kodrat modernitas.

Akting Koji Yakusho menjadi titik keseimbangan film ini. Ia bermain dengan ekspresi minimalis, tapi penuh kedalaman. Karakternya seperti cermin: tenang di luar, namun penuh konflik batin. Ketidakpastiannya merepresentasikan dilema moral manusia modern yang kehilangan kompas etika di tengah dunia yang menolak kepastian. Para aktor pendukung seperti Yoriko Doguchi dan Ren Osugi juga tampil kuat, memberikan nuansa manusiawi pada atmosfer yang dingin dan nihilistik.

Screenplay-nya sendiri terasa seperti puisi filosofis yang disamarkan dalam bentuk film misteri. Kurosawa tak berusaha menjelaskan simbol-simbolnya; ia justru membiarkan ambiguitas itu hidup, tumbuh, dan menyesakkan. Charisma berbicara tentang kehancuran moral yang lahir dari obsesi manusia terhadap kontrol dan kebenaran absolut. Pohon itu menjadi metafora tentang bagaimana sesuatu yang dianggap “menyelamatkan” juga bisa “menghancurkan”—tergantung dari cara kita melihatnya.

Musik dalam film ini digunakan secara minimal, menciptakan ruang sunyi yang justru memperkuat tensi. Suara alam—angin, dedaunan, langkah kaki di tanah basah—menjadi bagian dari ritme puitis film. Kurosawa membuat keheningan berbicara lebih keras daripada dialog.

Secara keseluruhan, Charisma adalah film yang tidak berusaha menyenangkan penonton, tapi menantang mereka untuk berpikir. Ini bukan tontonan bagi yang mencari hiburan cepat, melainkan pengalaman spiritual yang mengendap lama setelah layar padam. Ia mengajukan pertanyaan paling mendasar: apa arti hidup jika semua yang kita yakini bisa hancur hanya karena sebuah pohon?

Sebuah karya eksistensial yang sunyi, kompleks, dan abadi—Charisma menumbuhkan ketenangan di tengah kekacauan batin manusia modern.

Abadi Nan Jaya Abadi Nan Jaya

Abadi Nan Jaya: Kelam, Keretakan Keluarga, dan Zombie dari Ambisi yang Mati-matian

Film

Matchstick Men: Menipu Dunia, Ditipu Kehidupan Matchstick Men: Menipu Dunia, Ditipu Kehidupan

Matchstick Men: Menipu Dunia, Ditipu Kehidupan

Film

Black Phone 2 Review: Suara Kecil di Tengah Kegelapan yang Kian Menelan

Film

House Review: Ketika Imajinasi, Ketakutan, dan Keanehan Menyatu Dalam Mimpi Buruk yang Cantik

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect