Disutradarai oleh Andrei Tarkovsky, Mirror (Zerkalo) bukan sekadar film—ia adalah karya seni visual yang mendekati bentuk puisi. Dirilis pada tahun 1975, film ini sering dianggap sebagai salah satu mahakarya terbesar dalam sejarah sinema dunia, meskipun pada masanya sempat dianggap terlalu rumit dan tidak konvensional.
Tarkovsky mengajak penonton menelusuri labirin ingatan seorang pria menjelang ajal, mengingat masa kecil, ibunya, cinta, perang, dan semua yang membentuk jiwanya. Hasilnya adalah film yang nyaris tanpa alur linear, namun sarat makna dan keindahan visual yang abadi.
Tidak ada struktur naratif tradisional dalam Mirror. Film ini lebih menyerupai mosaik dari potongan memori, mimpi, dan refleksi batin. Ceritanya berpusat pada sosok Alexei, seorang pria yang merenungi masa lalunya—masa kecil di pedesaan, hubungan dengan ibunya (diperankan oleh Margarita Terekhova), serta pengalaman spiritual dan emosional yang membentuk dirinya.

Tarkovsky menulis skenario bersama Aleksandr Misharin dengan gaya yang lebih menyerupai catatan pribadi ketimbang plot konvensional. Narasi berpindah antara masa lalu dan masa kini, antara realitas dan mimpi, antara dokumenter dan fiksi. Dalam dunia Tarkovsky, waktu bukanlah garis lurus, melainkan sungai yang berputar, dan “Mirror” menjadi wadah bagi refleksi itu. Dialognya sedikit, tetapi setiap kata memiliki bobot filosofis, dan setiap keheningan mengandung makna lebih dalam daripada seribu kalimat.
Kekuatan terbesar Mirror ada pada sinematografinya yang memukau, hasil kerja brilian dari Georgy Rerberg. Kamera Tarkovsky seolah tidak hanya merekam, tapi juga bermeditasi. Bergerak lambat, mengalir seperti mimpi—melintasi ladang berangin, rumah kayu tua, dan wajah-wajah penuh melankolia.
Tarkovsky menggunakan pencahayaan alami dan palet warna yang lembut, berpadu dengan teknik long take yang menciptakan pengalaman hampir hipnotik. Perpindahan dari warna ke hitam putih atau sephia tidak berfungsi sebagai gimmick visual, melainkan representasi perubahan lapisan kesadaran. Hujan, api, kaca, dan angin bukan sekadar elemen latar, melainkan simbol eksistensial—refleksi jiwa manusia yang rapuh namun abadi.

Margarita Terekhova memberikan performa yang luar biasa dengan memainkan dua peran sekaligus: sebagai ibu Alexei di masa lalu dan istri Alexei di masa kini. Dualitas ini menjadi jantung emosional film—ia bukan hanya sosok perempuan, tetapi perwujudan kasih, penyesalan, dan kehilangan. Terekhova memerankannya dengan ketenangan yang menghantui, dengan gestur kecil yang mengandung beban emosional besar.
Ignat Daniltsev sebagai Alexei kecil tampil natural, mencerminkan kepolosan sekaligus rasa ingin tahu yang menjadi fondasi memori. Sementara suara narator oleh Innokenty Smoktunovsky memberikan kedalaman spiritual, seolah membawa kita mendengar suara hati Alexei sendiri. Suara puisi yang muncul sepanjang film dibacakan oleh Arseny Tarkovsky, ayah sang sutradara, yang merupakan penyair terkenal di Rusia. Ini menambah kedalaman emosional film—seolah kenangan masa kecil dan suara ayah benar-benar hadir di layar.
Tidak ada akting teatrikal di sini; semua terasa organik, mengalir seperti kehidupan itu sendiri.

Tema & Filosofi
“Mirror” adalah film tentang memori, waktu, dan identitas—tentang bagaimana manusia berusaha memahami hidup melalui refleksi terhadap masa lalu. Tarkovsky menciptakan film ini sebagian dari kenangannya sendiri: ibunya, rumah masa kecilnya, bahkan surat-surat ayahnya, penyair Arseny Tarkovsky, yang dibacakan sepanjang film. Puisi-puisi itu menjadi jembatan antara pengalaman pribadi dan refleksi universal.
Tema perang, kehilangan ayah, dan perubahan sosial di Rusia terselip dalam detail yang lembut, tidak pernah disampaikan secara langsung tetapi terasa dalam setiap bingkai. Film ini juga menyinggung spiritualitas—pencarian Tuhan, makna penderitaan, dan hubungan manusia dengan alam. Tarkovsky seolah mengatakan bahwa hidup adalah cermin yang memantulkan bukan hanya masa lalu, tetapi juga jiwa kita yang terdalam.
Bagi sebagian penonton, Mirror bisa terasa sulit dicerna. Film ini tidak memberi petunjuk naratif yang jelas; ia menuntut kesabaran dan perhatian penuh. Namun, bagi mereka yang bersedia “menyelam” ke dalamnya, “Mirror” menawarkan pengalaman sinematik yang tak tertandingi. Setiap adegan terasa seperti lukisan hidup, setiap suara seperti doa.
Film ini mengajarkan bahwa sinema tidak harus menjelaskan, tetapi dapat merasakan. Kekurangannya hanya terletak pada eksklusivitasnya—ia bukan film untuk semua orang, tapi bagi mereka yang mencari makna di antara keheningan, “Mirror” adalah karya suci.
“Mirror” bukan sekadar film; ia adalah mediasi antara seni, ingatan, dan eksistensi. Tarkovsky berhasil menciptakan sinema yang berbicara langsung kepada jiwa, tanpa perlu struktur, tanpa perlu jawaban. Ia mengubah fragmen kehidupan menjadi puisi visual yang abadi, di mana setiap penonton bisa melihat cerminnya sendiri.
Lebih dari setengah abad sejak dirilis, “Mirror” tetap menjadi salah satu film paling berpengaruh dan paling pribadi dalam sejarah perfilman dunia—sebuah karya yang menembus batas waktu dan bahasa.
Kutipan Tarkovsky tentang Mirror
“Film ini bukan tentang hidup saya, tapi tentang bagaimana seseorang mengingat hidupnya. Tentang bagaimana kenangan, mimpi, dan rasa bersalah membentuk siapa kita sebenarnya.”
Fun Fact:
- Pemerintah Soviet menilai film ini terlalu abstrak dan “tidak mudah dimengerti”. Akibatnya, “Mirror” sempat dibatasi peredarannya di Uni Soviet dan baru mendapatkan pengakuan luas di luar negeri beberapa tahun kemudian.
- Beberapa komposisi visual Mirror terinspirasi dari lukisan klasik dan ikonografi Rusia Ortodoks. Tarkovsky percaya gambar bisa menyampaikan spiritualitas yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata.
- Banyak sutradara kontemporer seperti Terrence Malick, Lars von Trier, Béla Tarr, dan Apichatpong Weerasethakul mengaku terinspirasi oleh Mirror—terutama dalam cara menggabungkan puisi, memori, dan waktu dalam film.
- Nama sang protagonis, Aleksei, nyaris tidak pernah terlihat secara langsung di layar (hanya terdengar suaranya). Tarkovsky memang ingin agar setiap penonton merasa sedang “melihat dirinya sendiri” melalui cermin kenangan.

