Abadi Nan Jaya (The Elixir) adalah film horror–thriller terbaru yang disutradarai oleh Kimo Stamboel dan ditulis bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Film ini menghadirkan premis tradisi jamu lokal yang tergerak oleh ambisi modern—ketika sebuah keluarga pembuat jamu mencoba menciptakan ramuan “jamu awet muda”, namun efek sampingnya justru membawa zombie outbreak di desa mereka. Tema ambisi, konflik internal keluarga, dan horor lokal bersatu dalam satu cerita yang penuh darah dan simbolisme.
Plot film berfokus pada keluarga Sadimin, pemilik usaha jamu tradisional di desa terpencil. Untuk menyelamatkan reputasi dan mempertahankan bisnis keluarga yang sekarat, Sadimin menciptakan elixir dengan efek eksperimental. Ia berharap ramuan itu membantu menghidupkan kembali pamor usaha jamu, tapi apa yang seharusnya menjadi kesempatan berubah menjadi kutukan—efek ramuan mengubah manusia menjadi makhluk zombie yang haus darah.
Ketika wabah merebak, anggota keluarga harus menghadapi konflik batin: loyalitas darah, rahasia lama, dan pilihan etis antara menyelamatkan orang yang mereka cintai atau menyembunyikan ambisi yang kini berbalik membunuh. Alur dibangun agak linear dengan kilas balik singkat untuk memperlihatkan hubungan antar karakter keluarga Sadimin, sekaligus memperlihatkan bagaimana keputusan ambisius dipicu oleh ketakutan kehilangan warisan.

Skrip karya Stamboel, Karim, dan Kashogi menulis dialog yang cukup sederhana tapi efektif untuk genre horor—ada unsur horor lokal, istilah jamu tradisional, konflik hak waris, dan ketegangan emosional internal dalam keluarga. Namun terkadang eksposisi terasa agak berlebihan di beberapa dialog penjelasan tentang ramuan, yang bisa terasa menggangu alur ketegangan horor. Meskipun begitu, plot tetap memberikan twist yang cukup mengejutkan di bagian tengah dan klimaks babak terakhir ketika wabah zombie tidak hanya menyerang korban tak bersalah, tetapi juga menyoroti keegoisan dan penyesalan karakter utama.
Sinematografi oleh Patrick Tashadian menghadirkan visual yang kuat dan kontras: suasana desa yang sunyi, ladang jamu tradisional, rumah tua, dan adegan darah/efek praktikal zombie yang cukup intens. Pengambilan gambar sering memakai sudut rendah dan pencahayaan remang-remang saat malam hari, sementara adegan siang memperlihatkan nuansa desa tropis yang tampaknya damai sebelum wabah.
Efek visual dan bangunan set lokal berhasil menciptakan sensasi horor “rumah sendiri terbalik”—tempat yang seharusnya akrab berubah menjadi medan ancaman. Penggunaan musik latar oleh Fajar Yuskemal memperkuat ketegangan saat wabah mulai menyebar dan memuncak, dengan campuran suara tradisional / ambient dan dentingan modern, menciptakan atmosfer lokal tapi juga universal.

Akting film ini cukup solid. Pemeran utamanya seperti Mikha Tambayong (sebagai Kenes Sadimin), Marthino Lio (sebagai Bambang Sadimin), Eva Celia (sebagai Karina), serta Donny Damara sebagai kepala keluarga Sadimin, berhasil menampilkan konflik emosional—antara kewajiban keluarga, ambisi bisnis, dan rasa takut kehilangan.
Mikha Tambayong memerankan Kenes dengan baik sebagai anak yang berada di tengah pertarungan moral; ia tampak rapuh namun tegas saat wabah mulai menyerang. Marthino Lio sebagai Bambang menyuguhkan sisi karakter yang egois namun tidak sepenuhnya jahat—konflik batin terlihat melalui tatapan dan gerak tubuh daripada dialog panjang. Peran Donny Damara sebagai patriark keluarga memberi bobot sejarah keluarga dan tekanan tradisi; kehadirannya cukup kuat walaupun karakter pendukung kadang kurang ruang berkembang.
Tema utama film ini meliputi ambisi yang tak terkendali, tanggung jawab keluarga terhadap warisan budaya, dan harga ambisi ketika dihadapkan krisis kemanusiaan. Film juga menyoroti konflik antara tradisi dan modernitas: jamu tradisional sebagai identitas budaya yang diwarisi turun-temurun versus kebutuhan bersaing di dunia modern yang terhubung pasar global. Perpaduan itu menimbulkan dilema etis ketika obat tradisional diubah menjadi ramuan luar batas—dan bila manusia mencoba “mendeksaikan keabadian”, apa yang terjadi ketika alam dan kehidupan menolak diatur oleh satu ambisi pribadi.
Kelebihan film ini terletak pada konsep lokal horor yang dibaurkan dengan isu budaya dan keluarga, efek zombie yang relatif segar dalam konteks Indonesia, dan visual yang mampu membuat desa yang familiar menjadi teater horor yang mencekam.
Sementara kekurangannya berada di pacing beberapa bagian awal yang terasa lambat dalam membangun karakter sebelum wabah, serta penceritaan latar belakang tak terlalu merata antar karakter pendukung; beberapa karakter terasa sebagai pelengkap horor tanpa latar emosional yang mendalam. Dalam beberapa momen, eksposisi tentang ramuan dan teknologi jamu terasa agak dijelaskan terlalu langsung, membuat sebagian ketegangan horor menjadi sedikit berkurang.
“Abadi Nan Jaya” adalah salah satu usaha menarik dalam horor Indonesia modern yang berani mengambil akar budaya lokal sebagai pintu masuk konflik supernatural. Film ini bercerita tentang warisan budaya, dosa ambisi, dan pertarungan batin yang diselimuti darah dan teror undead. Bagi penonton penggemar horor lokal dengan konflik emosional di balik aksi brutal, film ini layak ditonton meski tidak sempurna.
Cultural Statement – Abadi Nan Jaya / The Elixir (2025)
“Abadi Nan Jaya” adalah cermin getir dari cara masyarakat modern memperlakukan warisan budaya—antara rasa hormat dan eksploitasi. Di balik kisah zombie dan darah, film ini berbicara tentang ketegangan antara tradisi dan modernitas, antara menjaga nilai-nilai leluhur dan mengejar kemajuan tanpa batas. Ramuan jamu yang semula simbol penyembuhan dan keseimbangan alam berubah menjadi metafora dari kerakusan manusia terhadap keabadian dan kuasa.
Kimo Stamboel lewat film ini seakan menegaskan bahwa budaya bukan sekadar warisan yang bisa dimodifikasi sesuka hati. Ketika tradisi kehilangan ruh spiritualnya dan hanya diperlakukan sebagai komoditas, ia bisa berbalik menjadi kutukan. “Abadi Nan Jaya” memperlihatkan bahwa modernitas tanpa kesadaran budaya adalah bentuk lain dari kehancuran—tidak lagi dengan senjata, tapi dengan kehilangan identitas.
Dalam konteks budaya Indonesia, film ini menjadi refleksi tentang bagaimana kita memandang “jamu” bukan hanya sebagai minuman tradisional, tetapi simbol hubungan manusia dengan alam dan keseimbangan hidup. Ketika manusia mencoba menaklukkan hukum alam lewat ambisi dan teknologi, yang lahir bukan keabadian, melainkan kehancuran yang perlahan tapi pasti memakan tubuh dan jiwanya sendiri.
The Elixir dengan demikian bukan sekadar film horor, melainkan peringatan kultural: bahwa warisan budaya tak bisa diselamatkan oleh inovasi tanpa jiwa, melainkan oleh kesadaran untuk menjaga maknanya.

