Black Phone 2 adalah sekuel dari film horor psikologis populer yang dibintangi Ethan Hawke dan disutradarai kembali oleh Scott Derrickson. Film ini melanjutkan kisah teror dari telepon hitam yang menghubungkan antara dunia hidup dan korban yang hilang.
Cerita berfokus pada karakter baru—remaja yang tinggal di kota kecil Midwest, Stevensville, menghadapi teror berantai ketika telepon lama di rumah berhantu mulai berbicara kembali. Film mencoba menggabungkan elemen thriller, horor supernatural, dan trauma pribadi dalam satu narasi yang menegangkan dan emosional.
Screenplay karya C. Robert Cargill menulis sekuel dengan tetap mempertahankan tone gelap dari film pertama—telepon hitam sebagai penghubung roh dan suara-suara tak tampak yang meredam kesunyian. Alur dibangun dari sudut pandang korban remaja yang terisolasi, dan konflik muncul ketika ia mulai menerima panggilan suara dari masa lalu sekaligus ketakutan dari pelaku nyata di kotanya.
Meskipun premisnya mirip dengan film pertama, “Black Phone 2” berhasil menambahkan lapisan baru: efek psikologis trauma masa kecil serta implikasi moral dari rahasia keluarga yang dahulu terkubur. Namun, beberapa kritik menyebut pacing bagian awal terasa lambat dan dialog pemeran utama masih berulang-ulang pada beberapa titik, yang mengurangi sedikit ketegangan prematur.

Sinematografi oleh Barry Peterson menghadirkan estetika kota kecil khas Amerika dengan pencahayaan redup, bayangan panjang di lorong-lorong rumah, dan framing yang cenderung claustrophobic ketika adegan berfokus pada telepon tua. Warna biru tua dan abu-abu memberikan nuansa dingin, sedangkan momen-momen konfrontasi di malam hari dikelilingi pencahayaan lampu kuning remang dan bayangan siluet.
Efek suara latar dan pemakaian suara statis telepon lama memberi ketegangan yang lembut namun terus membangun perasaan bahwa seseorang selalu mendengar, walau tak terlihat. Kamera sering bergoyang perlahan saat sudut kamera berpindah dari keheningan ke serangan tiba-tiba, membangun atmosfer ketidakpastian.
Akting menjadi kekuatan film ini terutama dari pemeran utama remaja (nama karakter belum seterkenal ikon sebelumnya). Aktingnya terasa realistis: takut, bingung, malah penasaran—ia membawa rasa kewaspadaan yang wajar saat dihantui oleh suara tak dikenal. Ethan Hawke kembali tampil sebagai figur ayah atau mentor pendukung, membawa aura suram dari film pertama, meski porsi adegannya lebih sedikit. Keberadaan karakter paranormal kecil dan pertolongan ayahnya menjadi elemen emosional tambahan. Performansi pendukung seperti tetangga atau petugas polisi memberikan kedalaman cerita meski tak memberikan puncak dramatis besar.
Tema film ini meliputi trauma yang tak selesai, tanggung jawab keluarga dalam menghadapi masa lalu, kepercayaan pada kekuatan yang tak terlihat, dan pertanyaan etis tentang apakah paranormal bisa membantu atau justru memperburuk luka lama. Konflik batin karakter utama tentang apakah memercayai suara telepon tua atau melawan pelaku manusia menempatkan dilema moral yang terasa modern.
Kelebihan film ini terletak pada keberhasilan menciptakan suasana horor yang bukan hanya mengandalkan jump scare, tetapi atmosfer psikologis yang terasa menghantui setelah lampu dinyalakan. Produksi visual dan suara sangat diperhatikan, akting muda pengganti cukup jujur dan menyentuh, serta kemampuan film ini membuat penonton duduk berdiri antara rasa takut dan rasa kasihan. Namun kelemahannya muncul pada beberapa bagian plot yang terasa datar dan eksposisi rahasia keluarga terungkap terlalu lambat—ada momen di mana ketegangan bisa ditingkatkan dengan dialog yang lebih tajam dan pacing yang lebih ramping.
Secara keseluruhan “Black Phone 2” adalah sekuel yang layak—ia menjaga tone gelap dari film pertamanya, menambahkan elemen psikologis trauma dan memberikan pengalaman horor yang emosional dan menegangkan. Film ini tidak sempurna, tetapi memuaskan bagi penggemar genre supernatural dan thriller psikologis.

